Tolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja
![Tolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja](https://media-umat.info/wp-content/uploads/2020/03/buruh-tolak-omnibus-law.jpg)
Oleh: Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD)
Pemerintah telah menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja ke DPR. Namun Draft RUU omnibus law Cipta Kerja yang salah ketik yang mengejutkan publik masih bergulir. Ramai-ramai sejumlah masyarakat melempar kritik ke RUU kontroversial tersebut. Sebelumnya ada kesalahan ketik pada Pasal 170 dimana Peraturan Pemerintah (PP) disebut bisa mengubah Undang-Undang (UU). Staf khusus Presiden, Dini Purwono menyatakan Pasal 170 RUU Cipta Kerja salah konsep atau misunderstood instruction.
Merugikan Buruh
Draf RUU ini bicara investasi, dianggap mereduksi kesejahteraan buruh, bukan perlindungan kepada kaum buruh. Omnibus Law akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas. Sebelumnya, dalam aturan UU tentang Ketenagakerjaan penggunaan outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok (core business).
Sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar dihapuskan. Omnibus law menggunakan basis hukum administratif, sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda. Sekarang sanksi pidana bagi pelanggar pesangon dan PHK dihapus. Padahal kalau dulu ada sanksi pidana. Masuk pidana kejahatan.
Selanjutnya aturan mengenai jam kerja yang dianggap eksploitatif. Rancangan aturan itu ditengarai akan dimanfaatkan perusahaan untuk memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis pekerjaan atau sektor tertentu. Meski, ketentuan mengenai jenis pekerjaan itu masih akan diatur melalui peraturan turunan, yakni Peraturan Pemerintah. Pada pasal 89 RUU Cipta Lapangan Kerja poin 22 berisi perubahan dari pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Isinya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Waktu istirahat wajib diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama 4 jam, dan Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, sedangkan, waktu kerja paling lama 8 jam perhari, dan 40 jam dalam satu minggu.
Selain itu, omnibus law cipta lapangan kerja dianggap akan membuat karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap. Kemudian, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk buruh kasar yang bebas, PHK yang dipermudah dan terakhir, hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.
Sorotan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil pernah melontarkan tentang konsep omnibus law. Konsep ini juga dikenal dengan omnibus bill yang sering digunakan di Negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus.
Pernyataan tersebut muncul karena tumpang tindihnya regulasi, khususnya menyoal investasi. Sofyan mencontohkan, ketika ada usulan memperbaiki regulasi di bidang kehutanan maka yang harus direvisi adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Namun, masih ada ganjalan dalam beleid lain, semisal UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) atau UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ya, negara ini sedang menghadapi masalah krusial. Sistem yang ada tidak dapat menopang permasalahan kehidupan yang kian kompleks. Sementara rezim hanya memikirkan diri dan kelompoknya dan abai terhadap nasib rakyat. Tanda-tanda otoritarianisme muncul lagi, terlihat nyata. Rezim kuasai parlemen dan parlemen pun tak mampu mengontrol pemerintah. Yang tampak, parlemen sedang berselingkuh dengan penguasa untuk menghasilkan berbagai peraturan yang menguntungkan kedua belah pihak.
T idak aneh di sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi, terjadi perselingkuhan antar unsur-unsurnya. Idealnya, lembaga legislatif bertugas membuat peraturan untuk diterapkan oleh eksekutif. Kenyataannya, keduanya bisa berkolaborasi guna menyusun peraturan yang menguntungkan kedua belah pihak. Semua bisa terjadi karena politik transaksional atau orang menyebut politik dagang sapi. UU disusun tidak semata-mata demi kepentingan rakyat, tapi juga kepentingan pihak-pihak yang ingin meraup untung dari keberadaan UU tersebut.
Di satu sisi ajaran Islam semakin diberangus, di sisi lain liberalisme semakin disuburkan. Di bidang ekonomi, misalnya, kembali ‘si ratu utang renten dan tukang menaikkan pajak’ Sri Mulyani dipilih sebagai Menteri Keuangan sebagai salah satu indikasinya. Dapat diprediksikan utang riba negara semakin membesar, pajak semakin membengkak. Sudah pasti itu akan semakin mencekik rakyat.
Dengan kembali Luhut Binsar Panjaitan dipilih sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dapat diprediksikan investasi asing semakin terbuka terutama dari Cina. Pasalnya, ketika nomenklatur kementeriannya sebelum ditambah kata “dan Investasi” saja, Luhut sudah penuh semangat mendukung masuknya investasi Cina.
Investasi tersebut sebenarnya sangat merugikan Indonesia. Bukan hanya keharaman pinjaman uangnya yang berbunga, investasi Cina juga mensyaratkan material pembangunan dan tenaga kerja dari Cina. Selain berdampak dosa besar, minimnya penyerapan tenaga kerja dalam negeri karena sebagian besar tenaga kerja diambil dari Cina, juga akan membangkrutkan pabrik-pabrik material pembangunan infrastruktur dalam negeri yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran rakyat Indonesia sendiri.
Kebijakan rezim yang membebani rakyat juga semakin meningkat. Salah satunya dengan kenaikan seratus persen premi BPJS serta kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya.
Sektor pendidikan juga diprediksikan semakin liberal dan disorientasi keimanan dan ketakwaan. Selain pemisahan mata pelajaran dari keimanan (sekularisasi) yang selama ini terjadi, pelajaran agama Islam pun semakin dikebiri dengan dihapusnya berbagai materi pelajaran yang diklaim rezim sebagai radikal.
Orientasi pendidikan lebih diarahkan pada keterampilan agar bisa bekerja di perusahaan-perusahaan para kapitalis, juga memberikan jalan lebar kepada asing untuk menguasai pendidikan, salah satunya dengan semakin bertambahnya rektor asing.
Walhasil
Sesungguhnya kisruh UU/RUU kontroversial tersebut bisa diselesaikan apabila berbagai kalangan memahami akar permasalahannya. Ketidakjelasan landasan filosofis dan ideologis merupakan akar permasalahan suatu produk hukum sehingga menjadi kontroversial. Selama ini pembentukan suatu produk hukum masih berpusat pada kemampuan berpikir manusia yang lemah dan terbatas. Seharusnya pembentukan suatu produk hukum berpusat pada syariah Islam, aturan yang berasal dari Allah SWT. Apabila pembentukan suatu produk hukum berlandaskan filosofi dan ideologi Islam, maka tidak sulit untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan manusia. []