Tolak Omnibus Law Cipta Kerja dan Seluruh Solusi Kapitalistik!
Oleh: Agung Wisnuwardana (Indonesia Justice Monitor)
Usulan pemerintah terkait kebijakan perundang-undangan Omnibus Law sedang digodog DPR dan menuai pro-kontra. Rancangan kebijakan ini dianggap pemerintah akan menghimpun berbagai kalangan kebijakan yang akan memfasilitasi Investasi yang masuk ke Indonesia. Berbagai respon penolakan kemudian muncul ketika diskusi-diskusi dan tampilan soal omnibus law itu tersebar di publik.
Sementara sebagian publik hari ini bisa melihat hubungan cukup erat dari perjalanan upaya memaksakan kepentingan investasi di atas kepentingan rakyat merupakan sebuah kenyataan bahwa klas berpunya pemodal merupakan kolega dari kekuasaan pemerintahan yang menumbalkan klas tidak berpunya buruh, petani, dan rakyat kecil lainnya untuk dapat melanggengkan kekuasaan ekonomi dan politik di Indonesia.
Di sisi lain pemerintah sekuler hari ini dianggap belum mampu memenuhi tuntutan – tuntutan kaum buruh. Tuntutan buruh adalah tuntutan atas kesejahteraan dan kehidupan yang layak, termasuk di dalamnya berkaitan upah yang layak, jaminan sosial seperti jaminan kesehatan dan pensiun, masalah kontrak kerja, dsb. Masalah perburuhan itu muncul akibat penerapan ideologi kapitalisme dengan doktrinnya tentang peran negara, kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan standar penentuan upah.
Ideologi kapitalisme menetapkan agar peran dan campur tangan negara dalam mengatur urusan masyarakat seminimal mungkin. Kapitalisme mengajarkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok individu masyarakat baik pangan, papan dan sandang menjadi tanggungjawab individu itu sendiri, begitu pula pemenuhan kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Sementara problem yang langsung terkait dengan buruh muncul akibat digunakannya kebutuhan hidup minimum sebagai standar penetapan gaji. Pekerja tidak mendapatkan gaji mereka yang seharusnya. Mereka hanya mendapatkan sesuatu yang cukup sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Karena itu, terjadilah ketidakadilan dan eksploitasi para kapitalis terhadap kaum buruh.
Di situlah kemudian muncul gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dsb. Kaum Kapitalis akhirnya terpaksa memasukkan sejumlah revisi ke dalam konsepnya. Namun karena negara tidak boleh atau harus seminimal mungkin mengurusi urusan rakyat, maka berbagai hal yang menjadi tuntutan itu pun dikaitkan dengan kontrak kerja. Kontrak kerja akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan aturan yang diklaim melindungi kaum buruh dan memberikan hak mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berkumpul dan berserikat, hak mogok, pemberian pensiun, dan pesangon. Juga hak peningkatan gaji, libur dan cuti, jaminan berobat, tunjangan pendidikan dan sebagainya.
Hanya saja, sistem ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan membuat aturan dan ketentuan yang dibuat harus tetap memberikan iklim kondusif bagi investasi. Diantara penarik investasi itu adalah upah buruh harus rendah. Namun tentu saja harus tetap bisa dipersuasikan tidak mengorbankan kepentingan buruh. Disitulah akhirnya aturan tetap lebih menguntungkan investor (kapitalis). Disisi lain kepada buruh cukuplah diberikan hak dan kepentingan mereka pada tingkat minimal.
Jadi problem perburuhan terjadi akibat penerapan kapitalisme untuk mengatur masalah perburuhan secara khusus dan mengelola urusan masyarakat secara umum. Maka problem perburuhan itu akan terus ada selama masalah tersebut masih diatur dengan kapitalisme.
Masalah perburuhan yang ada sebenarnya bisa dikategorikan menjadi dua jenis: pertama, masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan dan kehidupan yang layak, antara lain terkait pemenuhan kebutuhan pokok, jaminan kesehatan, akses pendidikan, jaminan hari tua, masalah pekerja anak-anak dan wanita, dsb. Kedua, adalah masalah yang langsung berhubungan dengan kontrak kerja pengusaha-pekerja, diantaranya masalah PHK, penyelesaian sengketa perburuhan, dan sebagainya
Islam memberikan solusi untuk semua problem perburuhan itu. Problem jenis pertama, lebih dipengaruhi oleh kebijakan sistem dan politik ekonomi. Dan itu tentu saja adalah ranahnya negara. Karena itu masalah jenis pertama, Islam membebankan penyelesaiannya langsung kepada negara.
Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu (pangan, papan, sandang) secara layak; dan pemenuhan kebutuhan pokok umat (pendidikan, kesehatan, keamanan). Pemenuhan kebutuhan pokok individu (pangan, papan, sandang) Islam menetapkan agar dijamin oleh negara melalui mekanisme tak langsung dengan sejumlah langkah.
Pertama, mewajibkan setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya. Untuk itu Islam mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan kerja. Dalam hal ini negara bisa secara langsung membuat proyek-proyek pembangunan yang bisa menyerap tenaga kerja. Dengan penerapan hukum syariah terkait pengelolaan kekayaan -diantaranya hukum tentang harta milik umum- maka negara akan memiliki dana yang lebih dari cukup untuk melakukan hal ini. Disamping itu, lapangan kerja itu bisa terbuka luas jika kesempatan berusaha juga terbuka dan kondusif. Disinilah negara harus menjamin berlakunya hukum-hukum syariah terkait dengan ekonomi yang akan memberikan iklim usaha yang kondusif. Contohnya, Islam mengharuskan birokrasi yang menggunakan prinsip sederhana, mudah dan tidak berbelit; segala pungutan ilegal harus dibabat habis; ekonomi biaya tinggi dihilangkan misalnya dengan menghapus pungutan pajak dan cukai kepada warga negara (kecuali pajak dalam kondisi khusus yang dibenarkan oleh syariah). Disamping itu, negara harus menjamin berjalannya mekanisme pasar syariah yang sehat terkait dengan barang dan jasa, tanah, perdagangan dan tenaga kerja.
Kedua, jika masih ada orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka Islam mewajibkan kepada kerabatnya, mulai yang terdekat, untuk menanggung nafkahnya. Ketiga, jika tidak ada kerabat yang bisa menanggung nafkah atau ada tetapi tidak mampu, maka nafkah orang tersebut akan menjadi kewajiban baitul mal negara.
Sementara untuk kebutuhan pokok umat (kesehatan, pendidikan, keamanan) maka Islam menetapkan pemenuhannya menjadi kewajiban negara secara langsung. Negara wajib menyediakan layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan yang berkualitas dan layak secara gratis untuk seluruh rakyatnya.
Dengan semua itu, jaminan kesehatan, tunjangan pendidikan termasuk jaminan hari tua terkait pemenuhan kebutuhan pokok yaitu jaminan kesejahteraan bagi rakyat termasuk buruh, tidak lagi menjadi beban pengusaha (majikan). Dengan begitu pengusaha juga bisa lebih mengembangkan usahanya, disamping dengan berkurangnya beban itu maka pengusaha itu juga akan memiliki kemampuan untuk membayar upah yang lebih baik bagi pekerja. Semua itu akan menyelesaikan problem kesejahteraan yang menjadi persoalan utama perburuhan selama ini.
Sedangkan problem perburuhan jenis kedua yang berkaitan dengan hubungan pekerja – majikan (pengusaha), maka Islam menyelesaikannya dengan memberikan ketentuan hukum ijarah al-ajîr (kontrak kerja). Beberapa ketentuan pentingnya, dalam akad kontrak kerja itu harus jelas jenis dan bentuk pekerjaan, batasan kerja dan curahan tenaga yang bisa ditentukan menggunakan batasan jam kerja sehari, dsb. Disamping juga harus jelas jangka waktu ijarah.
Dalam kontrak kerja ini juga harus dijelaskan besaran upahnya. Dalam Islam negara tidak boleh mematok tingkat upah minimum sebab hal itu adalah haram. Besaran upah itu ditentukan berpatokan pada nilai manfaat yang diberikan oleh pekerja, bukan berpatokan pada kebutuhan hidup minimum seperti dalam kapitalisme. Jika terjadi perselisihan tentang besaran upah antara pekerja dan majikan maka pakar (khubara’) lah yang menentukan besaran upah yang sepadan (ajrul mitsli). Pakar ini dipilih oleh kedua pihak. Jika keduanya tidak sepakat dalam hal menentukan pakar ini, maka negara (qadhi) lah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka. Selanjutnya negara (qadhi) yang akan memaksa kedua pihak untuk mengikuti keputusan pakar itu.
Islam menetapkan bahwa akad ijarah termasuk akad yang mengikat (lazim) yaitu hanya bisa dibatalkan atas dasar persetujuan dan kerelaan kedua pihak. Akad ijarah bukanlah akad yang secara syar’i bisa dibatalkan secara sepihak baik oleh majikan (pengusaha) ataupun pekerja (buruh). Karena itu, dalam majikan tidak boleh memutuskan akad ijarah secara sepihak atau melakukan PHK. Jika itu terjadi maka pekerja menuntut haknya melalui pengadilan. Begitu pula, pekerja tidak boleh mangkir dari menunaikan pekerjaannya. Jika itu terjadi maka qadhi akan memaksa pekerja itu untuk memenuhi kewajibannya.[]