Mediaumat.id- Tokoh Melayu asal Riau Hj. Azlaini Agus, S.H , M.H. mengungkap sejarah Pulau Rempang yang sudah ditempati penduduknya sejak 300 tahun yang lalu.
“Jauh sebelum otoritas Batam ada, Pulau Rempang sudah dihuni oleh penduduk. Berdasarkan buku Tuhfat an-Nafis karya Raja Ali Haji, Pulau Rempang sudah dihuni sejak 1720″, paparnya dalam acara Forum Tokoh Melayu, Dari Tanah Melayu untuk Indonesia, Mendudukkan Konflik Rempang: Dalam Tinjauan Sejarah, Ekonomi, Politik, dan Livelihood Anak dan Kaum Perempuan dalam Perspektif Islam, Ahad (15/10/2003) di Grend Ballroom, Hotel Pangeran, Pekanbaru, Riau.
Dalam Perang Riau 1 dan 2, jelas Azlaini, masyarakat Rempanglah yang menjadi laskar perangnya. “Karena itu sudah selayaknya masyarakat Rempang yang ada di kampung-kampung tua diakui,” ungkapnya.
Azlaini menilai, permasalahan Rempang ini telah membawa konflik vertikal antara rakyat dan penguasa dan juga konflik horizontal yang terjadi sesama rakyat.
Senada dengan paparan Azlaini, akademisi dan budayawan Melayu Prof. Datuk Abdul Malik menuturkan, tanah nenek moyang warga Rempang Galang itu adalah pemberian/anugerah dari sultan mereka, Kesultanan Riau Lingga. “Karena pengabdian mereka dalam mengusir penjajah,” tutur Datuk Abdul Malik yang hadir dalam bentuk tayangan video.
Pembicara berikutnya, Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara menyampaikan, proyek Rempang Eco City laksana white elephant projects atau proyek gajah putih. Penulis buku ‘Muslimah Negarawan’ ini mengambil metafora ini dari budaya Thailand pada masa Kerajaan Siam.
“‘Gajah putih’ dengan kualitas rendah akan diberikan sebagai hadiah kepada teman dan sekutu raja Siam. Hewan ini membutuhkan banyak perawatan. Karena suci, tidak dapat disuruh untuk bekerja. Hal ini menjadikan ‘gajah putih’ sebagai beban keuangan serta kerepotan yang besar pada penerima hadiah atau pemiliknya,” terang Fika.
Fika menilai, proyek ini dibangun dengan megah, padahal keberadaannya berbiaya tinggi dan defisit manfaat sosial.
Ia juga membandingkan pembangunan era kapitalis dengan pembangunan dalam konsep Islam. Dalam Islam, pembangunan justru bertumpu pada pembangunan SDM bukan fisik seperti saat ini.
“Tak dapat dipungkiri, yang paling terdampak dalam kasus-kasus seperti Rempang ini adalah anak-anak dan kaum perempuan, trauma dan terganggu hak hidupnya. Kaum perempuan bisa saja tidak banyak memiliki kendali langsung atas lahan/tanah tetapi di tangan mereka kendali peradaban dan kualitas generasi berlanjut,” ujarnya.
Narasumber terakhir, Peneliti Geospasial Prof. Dr. Ing. H. Fahmi Amhar mengingatkan bahwa yang menjadi penyebab dari persoalan agraria ini adalah sistem sekularisme.
“Sistem sekularisme yang dibungkus dengan demokrasi inilah yang menyebabkan ketidakadilan agraria. Bahkan menjadi pangkal dari berbagai persoalan keumatan lainnya lewat perundang-undangan yang dihasilkan, seperti UU Ciptaker dan UU Agraria. Maka sistem ini wajib diganti dengan sistem Islam yang akan memberikan keadilan dan kesejahteraan. Kita siapkan bersama SOP detail beserta orang-orang yang akan melaksanakannya,” bebernya.
Forum Tokoh Melayu ini diadakan secara hibrida dari ratusan titik nobar se-Indonesia. Salah satu warga Rempang, Riska, di ruang zoom memberikan testimoninya.
“Kami mendesak Bapak Presiden untuk tidak menggeser sedikit pun tanah kami, dan untuk memberikan sertifikat tanah kami, serta membebaskan tahanan dari pahlawan-pahlawan Kami”, ungkap Riska.
Riska menekankan bahwa apa yang dikatakan Menteri Bahlil yang menyebut 70% masyarakat Rempang setuju relokasi adalah bohong. “Tidak hanya itu, masyarakat Rempang sampai saat ini masih dalam suasana ketakutan sehingga mereka tidak bisa berkebun ataupun melaut,” ujarnya.
Forum Tokoh Melayu ini dihadiri ratusan tokoh baik dari tokoh ormas, intelektual, muballigh-mubalighah, para pengusaha, advokat hingga budayawan.[] Achmad Mu’it