Titik Cerah

 Titik Cerah

Oleh: Ahmad Rizal (Dir. IJM)

Partai-partai berkonsentrasi postur koalisi dan strateginya. Begitulah gambaran politik saat ini. Rakyat menonton, menilai, dari siaran media beserta narasi-narasnya. Politik Indonesia tampak labil, ada banyak masyarakat yang binging apa tujuan sebenarnya dari tiap pidato politik para tokoh politik tersebut, kadang yang mereka pahami sekarang substansi lobi-lobi politik yang dilakukan elit-elit politik hanya sebatas perebutan kekuasaan semata, dengan berebut simpati dari masyarakat. Rakyat tidak banyak tahu, partai-partai mana saja yang layak mendapat mandat untuk mewakili aspirasi mereka. Mungkin sebagian berpikir memang tidak ada partai yang layak untuk menjadi tempat menggantungkan harapan bagi rakyat.

Sebagian masyarakat pesimis terhadap Pemilu, Pilkada, partai-partai yang ada dan para anggotanya yang duduk di DPR. Namun di tengah sikap pesimis masyarakat ternyata ada kecenderungan di kalangan umat bahwa masa depan politik Indonesia ada pada syariah Islam. Beberapa survei menunjukkan dukungan masyarakat terhadap penerapan syariah Islam meningkat. Kalau betul rakyat menginginkan syariah, mengapa partai-partai Islam yang ada tidak pernah menang dalam Pemilu. Mengapa mereka selalu kalah suara oleh partai-partai sekular? Idealnya, jika rakyat memang menginginkan syariah, partai-partai Islam itu harusnya menjadi pemenang Pemilu.

Jawabannya, ada dua kemungkinan. Pertama: hasrat rakyat untuk bersyariah memang sudah membuncah. Namun, ketika hendak disalurkan, mereka belum melihat adanya partai politik, termasuk partai Islam, yang benar-benar memperjuangan penerapan syariah, sebagaimana yang mereka dambakan. Pada titik ini, mereka berdiri di persimpangan jalan; antara memilih partai-partai yang ada dengan mengorbankan hasrat mereka (dengan alasan, daripada tidak memilih) dan tidak memilih alias golput, karena memang tidak ada pilihan. Barangkali sikap terakhir inilah yang mereka pilih sehingga angka golput diprediksikan bakal terus meningkat, termasuk dalam Pemilu 2009.

Kedua: partai politik yang ada memang tidak pernah melakukan pendidikan politik kepada umat sehingga antara hasrat umat untuk bersyariah dan pilihan mereka menjadi tidak sama. Artinya, antara harapan umat dan pilihan politik mereka menjadi tidak ”nyambung”.

Karena itu, wajar jika ada sejumlah tokoh yang menyarankan, agar ”kekosongan” ini segera diisi oleh partai politik Islam ideologis yang benar-benar memperjuangkan syariah Islam yang didukung oleh para polikus Islam ideologis yang berani, ikhlas dan benar-benar berjuang untuk melayani dan mengurus umat.

Aktivitas parpol yang berideologi Islam seluruhnya harus terikat dengan hukum-hukum Islam yang menjadi mercusuarnya. Semua itu akan berjalan jika parpol ideologis Islam tersebut dibangun di atas 3 unsur: 1) Fikrah(ide) dan tharîqah (metode perjuangan)-nya bersifat ideologis, jelas dan tegas hingga ke bagian-bagian terkecilnya; 2) Bertumpu pada orang-orang yang memiliki kesadaran politik yang benar, memiliki niat hanya untuk memperjuangkan Islam dan kaum Muslim serta hanya mencari keridhaan Allah semata; 3) Ikatan yang menjalin anggota parpol, simpatisan maupun pendukungnya adalah akidah Islam.

Dengan parpol seperti inilah umat Islam akan meraih kemenangan sejati, yakni ketika mereka berhasil menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sebab, penerapan syariah Islam, di samping merupakan kewajiban syar’i, juga akan mampu menyelesikan persolan bangsa ini secara tuntas.

Walhasil, kini umat tidak membutuhkan partai sekular atau partai Islam yang hanya sekadar namanya saja. Umat kini membutuhkan partai baru, dengan harapan baru. Itulah partai Islam ideologis yang berusaha untuk memperjuangkan penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *