Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Persis kata ‘Umar bin al-Khatthab, “Jika kita tidak bisa mengalahkan mereka dengan ketaatan kita, maka merekalah yang mengalahkan kita dengan kekuatannya.” Kunci kemenangan dan kekalahan kaum Muslim, bukan karena jumlah, alutsista, dan lainya, tetapi karena ketaatan mereka. Bagaimana fakta Perang Badar membuktikannya, ketika jumlah mereka jauh tiga kali lipat dibanding musuh, tetapi toh Allah berikan kemenangan kepada mereka. Karena ketaatannya.
Begitu juga kasus Perang Uhud. Ketika kaum Muslim yang sedikit itu hampir membukukan kemenangan telaknya atas pasukan kaum kafir Quraisy, yang tidak kalah hebat dengan kemenangan sebelumnya di Badar, tiba-tiba pasukan panah, yang berjumlah 50 orang, yang diamanahi Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallama untuk bertahan di Jabal Rumat, apapun yang terjadi, akhirnya meninggalkan posnya.
Akibatnya, pos itu direbut oleh pasukan Khalid bin al-Walid. Keadaan pun berubah total, dari yang semua menang, dan menguasai jalannya peperangan, akhirnya harus jatuh berguguran, bahkan menderita kerugian yang tak sedikit. Bahkan, nyaris mengorbankan nyawa Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallama. Akibatnya, nama baik, dan wibawa yang mereka sandang saat Perang Badar itu runtuh.
Padahal, sebelumnya Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallama sudah memberikan instruksi yang tegas. “Kalian harus tetap berada di posisi kalian, melindungi kami dari belakang. Apapun yang terjadi, kalian harus tetap di sana, baik menang maupun kalah.” Tetapi, para sahabat juga manusia, mereka mempunyai gharizatu al-baqa’ [naluri untuk mempertahankan diri], sebagaimana manusia yang lain. Begitu melihat pasukan lain di lereng Jabal Rumat itu berebut mengambil ghanimah, mereka pun tergoda, sehingga melupakan pesan Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallama.
Sebagian yang lain berkata kepada yang lain, “Ghanimah..! Ghanimah..!” kata mereka. Kata sebagian yang lain, “Teman kalian sudah menang, apa yang kalian tunggu?” Saat itu, komandan pasukan panah, ‘Abdullah bin Jubair, sudah mengingatkan mereka, agar tetap memegang teguh amanah yang diberikan oleh Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallama kepada mereka. “Lupakah kalian pada titah yang dititahkan oleh Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallama kepada kalian?” tanya ‘Abdullah bin Jubair kepada mereka. Tetapi, sayang tipuan dunia di depan mata mereka membuat mereka silau, dan seketika melupakan titah Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallama.
Mereka tidak menghiraukan peringatan, demi peringatan yang disampaikan oleh sang komandan. Kata mereka, “Tidak, kami akan tetap bergabung dengan orang-orang itu, dan mengambil bagian ghanimah kami.” Akhirnya, 40 orang pemanah, bahkan dalam riwayat lain menyatakan, lebih dari itu, benar-benar meninggalkan posisinya. Mereka turun, dan bergabung dengan pasukan lain yang berada di bawah untuk mendapatkan bagian ghanimah mereka.
Dengan begitu, benteng pertahanan pasukan kaum Muslim dari belakang pun terbuka, dan menganga. Karena, saat itu yang tersisa, dan tetap bertahan di sana hanya ‘Abdullah bin Jubair dan sembilan orang yang lainnya. Iya, memang tinggal mereka, bersepuluh, yang tetap bertahan di posisinya, karena memegang teguh amanah Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallama, sampai ada izin dari Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallama untuk meninggalkan posisinya, atau mereka terbunuh di sana.
Melihat peluang emas yang luar biasa itu, Khalid bin al-Walid, segera mengambil alih posisi tersebut. Maka, dia pun membawa pasukan kavalerinya segera mendekat ke Jabal Rumat, memutar ke belakang untuk menyerang pertahanan pasukan kaum Muslim dari belakang. Dalam waktu singkat, dia berhasil menundukkan ‘Abdullah bin Jubair, dan sembilan temannya yang masih setia mempertahankan posisinya itu.
Setelah posisi itu berhasil direbut oleh Khalid dan pasukannya, maka dia berteriak keras sekeras-kerasnya, dengan suara lantang. Maka, pasukan kaum musyrik yang sebelumnya sudah kehilangan harapan, tiba-tiba bangkit kembali nyalinya, dan berbalik. Mereka bangkit untuk menyerang, dan seorang wanita dari kalangan mereka, ‘Amrah binti ‘Alqamah al-Haritsah, segera memungut panji-panji perang kaum musyrik, yang sudah tergeletak di tanah, dan tak ada yang berani mengambilnya, untuk dikibarkan kembali.
Orang-orang musyrik yang sudah bercerai berai pun akhirnya kembali berkumpul, mengelilingi panji tersebut, dan berhimpun di sana. Yang satu memanggil yang lain, hingga terkumpul cukup banyak. Setelah melakukan konsolidasi, mereka pun segera menggempur pasukan kaum Muslim yang saat itu mulai terjepit dari depan maupun belakang. Ketika itu, posisi Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallama, yang didampingi sekelompok kecil sahabat, berjumlah hanya sembilan orang, berada di garis belakang.
Baginda shalla-llahu ‘alaihi wa sallama saat itu mengawasi jalannya peperangan yang tegah berkecamuk dengan dahsyat. Bagaimana pasukan kaum Muslim berjuang mati-matian melawan pasukan kaum musyrik, ketika tiba-tiba pasukan kavaleri Khalid bin al-Walid membalikkan keadaan, dan menyerang dari belakang. Saat itu baginda shalla-llahu ‘alaihi wa sallama hanya mempunyai dua pilihan: menyelamatkan diri bersama sembilan pengawalnya itu ke tempat yang aman, dengan meninggalkan pasukannya yang terkepung itu, atau mengambil risiko dengan mengumpulkan para sahabat di sekelilingnya demi membuka jalan bagi pasukannya yang terkepung supaya bisa mencapai perbukitan Uhud?
Di sinilah kejeniusan dan keberanian dalam mengambil risiko pada diri sang panglima agung, Nabi Muhammad shalla-llahu ‘alaihi wa sallama itu tampak luar biasa. Baginda memilih pilihan yang kedua. Memanggil para sahabatnya, dengan suara lantang, “Wahai hamba Allah, ke marilah!” Padahal, baginda shalla-llahu ‘alaihi wa sallama menyadari penuh, bahwa teriakan itu juga bisa didengarkan oleh kaum musyrik, tetapi baginda shalla-llahu ‘alaihi wa sallama tetap melakukannya dengan risiko mempertaruhkan keselamatan diri baginda shalla-llahu ‘alaihi wa sallama sendiri.
Yang pasti, pasukan kaum musyrik pun dengan segera mengetahui hal itu, lalu mereka mengarahkan ke posisi baginda shalla-llahu ‘alaihi wa sallama sebelum pasukan kaum Muslim bisa mencapai ke posisi baginda. Tetapi, Allah Maha Penolong, dan sebaik-baik pelindung. Wallahu a’lam.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 251