Tindakan Represif pada Lawan Politik adalah Wajah Asli Demokrasi
Oleh: Iwan Januar, Pengamat Sosial Politik
Penentangan terhadap pengesahan UU Omnibus Law masuk pada jilid baru. Bak film klasik Star Wars, pemerintah mainkan sekuel Empire Strikes Back! Pemerintah dan DPR mulai melakukan serangan balik, bukan lagi sekadar bertahan. Dimulai dari tudingan ada kelompok yang menunggangi aksi buruh dan mahasiswa. Tudingan itu dilontarkan Menko Ekuin Airlangga Hartarto, kemudian oleh BIN, lalu Menhan Prabowo dan Presiden Jokowi. Ketum Gerindra yang kini jadi Menhan di kabinet Jokowi bahkan menuding ada asing bermain dalam aksi menentang UU Omnibus Law.
Permainan berlanjut, pemerintah mulai mengancam akan menangkap siapa saja penyebar hoaks UU Omnibus Law. Hasilnya, sejumlah tokoh oposan dijemput aparat. Lagi-lagi pasal-pasal karet UU ITE dipakai untuk menjerat sejumlah tokoh KAMI termasuk Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan. Penangkapan ini jelas kontroversial, karena apa acuan penyebaran hoaks sedangkan draf final UU Omnibus Law saja belum diakses oleh pemerintah dan mayoritas legislatif.
Bukan sekadar menangkap, pemerintah juga membiarkan kepolisian bertindak represif pada para demonstran. Pemukulan, penggunaan gas air mata dan penangkapan dilakukan sepanjang penanganan aksi massa. Bahkan, aparat juga merangsek hingga ke kampus dan menyerang ambulan serta tenaga medis. Sesuatu yang menurut Konvensi Jenewa tahun 1949 terlarang untuk dilakukan.
Perlakuan terhadap tahanan juga dikritik sejumlah pihak. Sebagian dari mereka ditelanjangi hanya memakai pakaian dalam, ada juga yang dijemur bertelanjang dada di jalan aspal di siang hari. Sikap represif ini memprihatinkan terlebih lagi semua proses itu dilakukan melanggar prosedur perlakuan terhadap tahanan, apalagi bila ditinjau dari aspek HAM dan rasa keadilan. Apakah koruptor kakap Joko Tjandra ditelanjangi, hanya pakai pakaian dalam, lalu dijemur di atas aspal panas?
Sampai hari ini, tak ada pencegahan tindakan represif. Ini bisa ditafsirkan kalau pemerintah termasuk Presiden Jokowi seperti merestui penangkapan dan segala tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian. Bila iya, maka kenyataan ini semakin menguatkan kecemasan publik bila pemerintah sudah mengarah pada rezim otoriter.
Dulu, Jokowi juga sering mengesankan sebagai pemimpin yang demokratis dan siap didemo. “Saya rindu didemo,” katanya suatu saat. Jokowi pernah berseloroh, “Masak iya wajah begini disebut diktator.” Presiden pun pernah curhat di depan SBY bila dirinya heran disebut otoriter.
Namun dua kali didemo, dua kali pula Presiden Jokowi tidak mau menemui massa. Pertama, saat demo umat Islam dalam kasus penistaan agama, 4 November 2016, Jokowi malah berangkat kunjungan dinas ke Cengkareng menengok pembangunan infrastruktur di Bandara Soekarno-Hatta. Kemarin, saat aksi massa menentang Omnibus Law, Presiden berangkat ke Kalteng menengok megaproyek lumbung padi nasional “food estate”.
Tanda-Tanda Otoriter?
Kecemasan banyak kalangan bahwa pemerintah telah mengarah pada sikap otoritarianisme sudah banyak dilontarkan. Pada bulan Juni 2020, YLBHI melansir laporan yang mereka kumpulkan sejak 2015 bahwa ada 28 kebijakan Jokowi yang mencerminkan tanda-tanda otoritarianisme.
Beberapa di antaranya; mengeluarkan Perppu Ormas dan membubarkan ormas tanpa pengadilan, meminta BIN dan Polri mengawasi ormas yang menolak Omnibus Law, membatasi penyampaian pendapat di muka umum, hak tidak memilih dapat dijerat UU Terorisme dan ITE, penggunaan pasal makar secara berlebihan oleh Kepolisian, membangkang putusan MA tentang pembatalan kenaikan tarif BPJS, dsb.
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum Busyro Muqqodas menyebut Indonesia sepanjang periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebagai “Otoritarianisme gaya baru atau neoauthoritarianism.”
Busyro menyebutkan bagaimana demokrasi alami kemunduran di masa Jokowi. Salah satunya soal penempatan banyak polisi ke dalam instansi-instansi pemerintahan. “TNI berhasil dibersihkan dari dwifungsi, sekarang multifungsi dilakukan oleh Polri.” Beberapa lembaga negara yang dipimpin perwira polisi, baik yang masih aktif atau sudah pensiun dini, di antaranya KPK, Badan Intelijen Negara, Badan Urusan Logistik, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, hingga Kementerian Dalam Negeri.
Sejumlah pengamat asing juga menyebut pemerintahan Jokowi telah mengarah pada otoriter. “Sekarang para kritikus dan para pendukung Jokowi sama-sama bertanya, seberapa aman sebenarnya (demokrasi) Indonesia dari kemunduran menjadi negara otoriter,” tulis Matthew Busch dalam artikelnya berjudul Jokowi’s Panicky Politics yang ditulis di laman Majalah Public Affairs.
Para pengamat asing menunjuk tindakan Jokowi membubarkan HTI, pembubaran berbagai aksi gerakan #2019GantiPresiden, penggunaan instrumen hukum untuk menekan lawan politik, dan pelibatan kembali militer dalam politik sebagai indikator perubahan arah dan gaya pemerintahan Jokowi.
“Jokowi terbukti menjadi pemimpin yang tidak sabar dan reaktif. Dia dengan mudah tersentak oleh ancaman politik, dan seperti banyak politisi Indonesia, tampaknya nyaman menggunakan alat-alat tidak liberal untuk mempertahankan posisi politiknya,” tulis Eve Warburton dan Edward Aspinall dalam artikel berjudul Indonesian democracy: from stagnation to regression? di laman The Strategist yang diterbitkan Australian Strategic Policy Institute.
Demokrasi adalah Represi
Sebenarnya tidak aneh bila melihat demokrasi bergeser menjadi represi, karena sebenarnya demokrasi yang mengusung kebebasan adalah nonsens. Banyak negara disebut demokratis tapi mereka melakukan tindakan represif pada kelompok yang berseberangan.
Lihat saja bagaimana cara aparat Amerika Serikat menangani aksi demonstrasi pasca kematian warga kulit hitam oleh seorang polisi. Kematian George Floyd menambah daftar panjang tindak kekerasan terhadap warga kulit hitam. Ironinya, Derek Chauvin polisi kulit putih yang membunuh Floyd dibebaskan oleh pengadilan dengan uang jaminan sebesar US$ 1 juta (Rp 14,6 miliar).
Amerika Serikat adalah negara paling arogan menyebut dirinya demokratis dan paling liar membungkam lawan-lawannya. Invasi militer ke Irak, dan kebijakan embargo ekonomi pada Irak sejak 1989-1991 pada Irak sebelum invasi, membuat ratusan ribu warga Irak meregang nyawa.
Tidak kurang 576 ribu anak-anak Irak mati mengenaskan karena kekurangan gizi dan obat-obatan selama embargo ekonomi. Semua dilakukan untuk menumbangkan Saddan Husayn untuk kemudian menegakkan Irak yang ‘demokratis’.
Dunia juga melihat bagaimana AS mendukung tindakan bengis Asisi di Mesir menggulingkan Presiden Mursi yang terpilih secara demokratis, dengan alasan Mursi mengancam demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia dan membawa Islam radikal.
Bukan saja ditangkap, Mursi juga dijebloskan ke penjara bersama ratusan pendukung Ikhwanul Muslimin dan tokoh-tokoh Islam lain yang menentang Asisi. Mursi bahkan sampai meninggal di tahanan karena dibiarkan tidak mendapat perawatan yang layak dari pihak rumah sakit. Beda perlakuan pada Husni Mubarak, sekutu AS, sempat dipenjara tapi kemudian dipulihkan nama baiknya padahal Mubarak terkenal represif dan korup.
Menjadi demokratis nampaknya harus menjadi represif. Itulah sebabnya William Blum, seorang pengarang, sejarawan dan kritikus kebijakan luar negeri Amerika Serikat, menulis buku Demokrasi: Ekspor Amerika Paling Mematikan menuliskan demokrasi yang dikembangkan AS itu memang kejam. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika telah:
- Berupaya keras untuk menggulingkan lebih dari 50 pemerintahan di luar negeri yang dipilih secara demokratis.
- Secara kotor, ikut campur tangan dalam pemilu di lebih dari 30 negara
- Mencoba membunuh lebih dari 50 orang pemimpin negara-negara asing
- Mengebom penduduk di lebih dari 30 negara
- Mencoba untuk menekan gerakan rakyat atau nasionalis di 20 negara
“Tujuh puluh negara (lebih dari sepertiga jumlah negara di dunia), di dalam proses tersebut, AS telah mencabut nyawa beberapa juta orang, membuat jutaan orang lainnya hidup dalam kepedihan dan penderitaan, dan bertanggung jawab terhadap penyiksaan yang dilakukan atas ribuan orang lainnya,” tulis Blum.
Maka, bila hari ini semakin banyak orang menilai pemerintahan Jokowi kian represi, itulah konsekuensi demokrasi. Tak ada yang salah dengan itu, karena mainstream demokrasi mengharuskan kekerasan untuk menjaga kekuasaan. Kebebasan, persamaan, dan keadilan adalah slogan di atas text book tapi kosong di lapangan.
Terutama pada kekuatan Islam, demokrasi akan menampakkan wajah aslinya; keras dan telengas. Mursi dan Ikhwanul Muslimin di Mesir adalah korban yang begitu jelas. Negara-negara adidaya promotor demokrasi tak akan rela melihat kekuasaan jatuh ke tangan kekuatan Islam walaupun kekuasaan itu diperoleh dengan cara demokratis sekalipun.[]