Mediaumat.news – Terkait dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS) karena dianggap telah menghasut masyarakat untuk ramai-ramai menghadiri acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putrinya di Petamburan hingga menimbulkan kerumunan, Tim Advokasi Habib Rizieq Syihab (HRS) menilai kasus tersebut sepatutnya batal demi hukum.
“Sepatutnya proses perkara dalam peristiwa maulid dan pernikahan anak beliau di Petamburan harus dinyatakan batal demi hukum,” tulis tim Advokasi Habib Rizieq Syihab (HRS) dalam nota keberatan atau eksepsi berjudul Mengetuk Pintu Langit, Menolak Kezaliman Tegakkan Keadilan yang diterima Mediaumat.news, Jumat (19/3/2021).
Tim menilai dengan mencermati tata urutan konsideran Mengingat mulai dari Peraturan Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur Perovinsi DKI Jakarta No. 80 Tahun 2020, hingga Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang berujung pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka sanksi denda administratif yang dijatuhkan terhadap HRS telah sesuai dengan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. “Sehingga terhadap HRS tidak dapat lagi dilakukan proses hukum (nebis in idem) sesuai dengan ketentuan Pasal 76 KUHP,” ungkapnya.
Tim menyampaikan bahwa HRS dan Front Pembela Islam (FPI) telah membayar sanksi denda administratif sebesar Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) di kantor Sekretariat LPI, Petamburan, Jakarta Pusat pada Ahad, 15 Nopember 2020. “Denda administratif tersebut dikenakan karena FPI dan HRS dianggap telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan Covid-19 sehingga menimbulkan kerumunan.
Adapun kegiatan yang dianggap melanggar protokol kesehatan seperti tertulis dalam Surat Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta Nomor: 2250/-1.75, tanggal 15 Nopember 2020, perihal Pemberian Sanksi Denda Administratif adalah pada penyelenggaraan pernikahan putri HRS dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW hari Sabtu, tanggal 14 Nopember 2020,” ujarnya.
Menurut Tim Advokasi, ketentuan hukum yang menyatakan nebis in idem harus terlebih dahulu berdasarkan putusan pengadilan dinilai sebagai ketentuan hukum kuno dan ketinggalan zaman yang hanya menjadikan hukum sebagai alat penindas (retributive justice).
“Konsep sistem peradilan pidana yang berdasarkan retributive justice yang cenderung masih menganut sistem pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dan hukum digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti dan pembalasan terhadap pelaku sudah selayaknya ditinggalkan,” tandas tim.
Tim berharap ketentuan hukum beralih kepada restorative justice yang merupakan konsep yang didasarkan pada tujuan hukum sebagai upaya dalam menyelesaikan konflik dengan perdamaian. [] Achmad Mu’it