Mediaumat.id – Setidaknya ada tiga catatan sejarah yang menunjukkan Kampung Tua Rempang-Galang eksis jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ada. Hal itu dinyatakan Sejarawan Nicko Pandawa dalam Diskusi Online Media Umat: Rempang, Cermin Rezim Garang? pada kanal YouTube Media Umat, Ahad (1/10/2023).
Pertama, catatan paling tua dari catatan Belanda yaitu tahun 1640-an yang menyebutkan bahwa Pulau Rempang itu sudah dihuni oleh suku Benua atau nama lain dari suku Orang Darat.
Kedua, catatan tahun 1830 ketika penduduk Rempang itu diatur oleh pejabat Riau-Lingga yang bernama Raja Isa bin Ali bin Daeng Kamboja.
Ketiga, terdapat di dalam artikel Batam Archipel yang dibuat oleh JG Schot dalam peta Kepulauan Batam yang dipublikasikan pada tahun 1882. Di peta tersebut dituliskan dengan detail tentang pulau Rempang yang terdapat beberapa kampung yang ada di pulau tersebut yang kemudian disebut kampung tua.
“Di sana JG Schot menyebutkan secara terang-terangan kalau Rempang-Galang itu sejak tahun 1830 sudah dipimpin oleh orang yang namanya Raja Usman yang kemudian digantikan oleh Raja Ali Kelana dan Raja Muhammad Tohir,” katanya.
Menurut Nicko, Raja Ali Kelana ini pernah menjadi Amir dari Rempang-Galang. Ia adalah tokoh Kesultanan yang multitalenta yang dikenal di Kepulauan Riau di Melayu sebagai ulama, sastrawan, jurnalis, pengusaha dan juga sebagai diplomat yang jangkauan diplomatiknya itu terbentang dari Istanbul sampai ke Tokyo.
“Jadi sangat luas. Bahwa Rempang pernah dipimpin oleh tokoh yang sekaliber Raja Ali Kelana, tokoh hebat yang gaungnya itu sampai ke Istanbul. Dan Istanbul tentu kita mengenal pada skala itu sebagai ibu kota dari Khilafah Utsmaniah,” ujarnya.
Wilayah Kesultanan
Nicko menjelaskan, Rempang termasuk Galang dan Batam itu berada di dalam kepengaturan negara yang pernah berdiri di sana sebelum adanya NKRI. Negara itu bernama Kesultanan Riau-Lingga.
Menurut Nicko, Kesultanan Riau-Lingga adalah Kesultanan Negara Islam yang pusat kuasa administrasinya itu berkedudukan di Daik di Pulau Lingga. Kemudian ada wakil sultan yang berkedudukan di pulau Penyengat yang hanya berjarak 18 km dari pulau Rempang dengan gelar Yang Dipertuan Muda (YDM).
“Jadi secara lokasi pun Rempang itu ternyata dekat sekali dengan administrasi pemerintahan pusat di era Kesultanan Riau-Lingga,” jelasnya.
Nicko melanjutkan, pada tahun 1830-an Kesultanan Riau-Lingga menempatkan pejabat yang digelari sebagai Amir atas pulau Batam, Rempang dan Galang yang bernama Raja Isa bin Ali bin Daeng Kamboja.
Dia ini, jelas Nicko, berkedudukan di daerah Nongsa di Pulau Batam yang dekat bandara. “Dan sebutan asal nama Nongsa inilah yang kemudian diambil dari nama Raja Isa karena Raja Isa punya nama panggilan di masa kecil yaitu Nong Isa, maka disebut Nongsa,” terangnya.
“Ketika Nong Isa wafat pada tahun 1830 maka keamiran yang ada di Batam atau kepulauan Batam dimekarkan menjadi tiga. Dan Rempang-Galang itu kemudian dipimpin oleh Amir tersendiri yang terpisah dari keamiran Batam,” beber Nicko.
Hal ini, jelasnya, bisa khalayak umum cek di Perda Kota Batam Nomor 4 Tahun 2009 tentang Hari Jadi Kota Batam. Di sana terlampirkan sebuah artikel atau sebuah makalah kesejarahan yang ditulis oleh sejarawan Kepri yang bernamal Aswandi Syahri.
Aswandi Syahri, terang Nicko, menyebutkan kalau pasca-Nong Isa wafat tahun 1830, Rempang-Galang dipimpin oleh amir tersendiri namanya adalah Raja Usman yang rujukannya dari artikel orang Belanda yang namanya JG Schot tadi.
“Dia (JG Schot) menulis artikel berjudul Batam Archipel atau Kepulauan Batam dan ini dimuat dalam katalog buku berbahasa Belanda yang judulnya Indische Gids terbitan tahun 1882 dan sampai hari ini masih tersimpan di Leiden di Belanda,” paparnya.
Sejarawan Islam
Menurut Nicko, bukan hanya sejarawan Belanda yang menyebutkan julukan Kampung Tua, tetapi termasuk di dalamnya adalah sejarawan Islam yang memang lahir di Kepulauan Riau-Lingga dan mengabdi kepada Kesultanan Riau-Lingga yaitu yang bernama Raja Ali Haji.
“Beliau menulis kitab sejarah yang bernama Tuhfatun Nafis yang diedit oleh Mattheson Virgiana maupun versi naskah Terengganu di mana memang ada catatan tentang orang-orang Rempang dan Galang yang dalam kitab tersebut disebutkan begitu heroik melawan penjajah Eropa,” terang Nicko.
Jadi, tegas Nicko, mereka itu bukan hanya sekadar numpang tinggal atau bahkan dikatakan hidup dengan ilegal. “Mereka itu juga berjasa kepada Kesultanan Islam yang ada di Kepulauan Riau dengan melawan penjajah,” tegasnya.
Lebih lanjut dikatakan dari kitab Tuhfatun Nafis bahwa kejadian di tahun 1837 tatkala Gubernur Inggris yang berdiam di Singapura bernama Samuel George Bonham berniat menginvasi Kesultanan Riau-Lingga, di sana disebutkan ketika orang Inggris dan pasukannya mendarat di Pulau Galang dan Rempang, kata Raja Ali Haji dalam kitabnya, orang-orang Galang dan orang-orang Rempang itu melawan hingga orang-orang Inggris itu luka-luka.
“Dari ungkapan Raja Ali Haji ini, saya ingin sampaikan bahwa ternyata bukan hanya dari segi kependudukan saja yang sifatnya formalitas, tetapi bahkan dari segi perjuangan penduduk Rempang dan Galang punya catatan tersendiri dan tentu catatan ini adalah catatan emas,” bebernya.
Lantas Nicko mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah yang menzalimi rakyatnya dengan mengusir mereka dari tanah nenek moyangnya hanya karena alasan investasi tetapi tidak melihat akar sejarah pulau tersebut yang penuh perjuangan mengusir penjajah.
“Pemerintah sekarang itu mau menzalimi penduduknya yang mereka mewarisi darah dari nenek moyang mereka yang telah berjuang dalam melawan penjajah. Berarti pemerintah hari ini adalah pemerintah yang kualat, pemerintah yang zalim. Bukan hanya menzalimi rakyat Rempang-Galang hari ini, tetapi menzalimi sejarahnya,” tandasnya.[] Langgeng Hidayat