Tidak Semata Ritual Tetapi Islam Juga Agama Politik

 Tidak Semata Ritual Tetapi Islam Juga Agama Politik

Mediaumat.id – Ketua Forum Doktor Peduli Bangsa, Dr. Ahmad Sastra menjelaskan Islam tidak semata agama ritual tapi juga agama politik.

“Islam itu tidak semata-mata sebagai agama ritual tetapi juga agama politik,” tuturnya dalam acara FGD #31: Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa: Era Post-Truth; Politik, Kekuasaan dan Kebohongan, Sabtu (4/6/2022) melalui kanal Youtube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Menurutnya, politik Islam memiliki dua aspek penting yaitu kepemimpinan dan sistem aturan. “Sifat Rasulullah SAW yang shiddiq, amanah, tabligh, fathanah, di kemudian hari dijadikan karakter kepemimpinan Islam. Artinya kepemimpinan Islam itu ya seperti Rasulullah SAW,” jelasnya.

Sedangkan sistem aturan Islam, lanjutnya, adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an berisi aturan, sistem politik, sistem pendidikan, budaya, kehidupan rumah tangga. Bahkan lebih rinci lagi, aturan spesifik semisal masuk kamar mandi itu diatur sangat rinci.

“Imam Al Ghazali mengatakan relasi antara Islam dan kekuasaan itu saling menopang. Ibnu Khaldun bahkan mengatakan bahwa negara itu wajib, karena manusia itu makhluk politik yang membutuhkan pengaturan dan pengendalian,” paparnya.

Ahmad menegaskan, secara normatif kekuasaan di dalam Islam sangat ideal. Karena politik dalam Islam berarti mengurus urusan rakyat dengan syariat Islam dan dijalankan oleh pemimpin yang jujur.

“Al-Quran itu sendiri sumber keadilan, sumber kebenaran, sumber kebaikan, sumber keagungan. Maka kekuasaan Islam itu tentu sangat ideal,” tukasnya.

Ahmad menilai, posisi seorang pemimpin dalam Islam itu urusannya dengan akidah, berkonsekuensi pada surga dan neraka.

Ia mengutip hadis riwayat Imam Bukhari-Muslim, “Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim kemudian ia mati sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut kecuali Allah mengharamkan surga untuknya.”

Menurutnya, jika pemimpin berbuat zalim, bohong, tidak jujur, menyengsarakan rakyat, juga mengingkari Islam sebagai landasan untuk mengatur urusan rakyat akan berkonsekensi pada neraka.

Ahmad juga menjelaskan, banyak ilmuwan Barat yang mengakui baiknya sistem politik Islam. Di antaranya adalah Michael H. Hart yang mengatakan, “Kesatuan tunggal yang tidak ada bandingannya di dalam mempengaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan merupakan hal yang mampu menjadikan Muhammad SAW layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi sejarah umat manusia. Andaikan Muhammad hidup hari ini maka dia akan bisa menyelesaikan semua masalah di dunia ini.”

“Ini mengonfirmasi bahwa Islam itu memang sangat erat hubungannya dengan politik dan kekuasaan. Dan kekuasaan Islam itu landasannya kebenaran bukan kebohongan,” simpulnya.

Bahwa dalam prakteknya terjadi penyimpangan, nilai Ahmad, itu mengonfirmasi bahwa kekuasaan Islam itu tidak sakral. Dimungkinkan seorang pemimpin itu (selain Rasulullah SAW) salah meski menerapkan syariat Islam, tapi Islam punya solusi.

Ahmad lalu memberikan contoh Umar Bin Khattab. Umar pernah mengatakan, “Barang siapa yang melihat ada kebengkokan pada diriku maka luruskanlah.” Lantas seseorang menyambutnya dengan mengatakan, “Andaikan kami melihat sesuatu kebengkokan pada dirimu maka kami akan meluruskan dengan pedang kami.” Umar pada waktu itu hanya mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dalam umat Muhammad ada orang yang mau meluruskan yang bengkok pada diri Umar dengan mata pedangnya.”

Tujuan Kekuasaan

Ahmad menjelaskan tujuan kekuasaan Islam itu, setidaknya ada tiga. Pertama, memelihara agama, memelihara akidah, memelihara akal agar umat manusia tidak terjerumus dalam kekafiran dan kemusyrikan, agar bahagia dunia akhirat.

Kedua, menjaga negara. Yaitu melindungi batas-batas negara, mempersiapkan pasukan militer yang kuat, menjaga dari tindakan sabotase dan lain-lain sehingga negara menjadi super power.

Ketiga, menyebarkan dakwah kepada seluruh manusia di luar wilayah negara bahkan ke seluruh dunia karena Islam rahmatan lil ‘alamin. “Tentu menyebarkan kebaikan tanpa ada paksaan tanpa ada kekerasan,” ungkapnya.

Postur Politik

Ahmad coba membandingkan tiga postur politik demokrasi dengan sistem politik Islam.

Pertama, simulakra. “Simulakra itu tidak adanya batas-batas antara kebenaran dan kepalsuan, realitas dan rekaan. Sementara Islam menegaskan, yang halal itu jelas yang haram itu jelas di antara itu adalah mutasyabihat,” jelasnya.

Kedua, pseudo-event yaitu sesuatu yang dibuat dan diadakan untuk membentuk citra. “Kalau bahasa sekarang politik pencitraan. Sementara pemimpin dalam Islam punya karakter shiddiq, amanah, tablig, fathanah. Menyampaikan kebenaran, menyampaikan Islam, menyampaikan perintah dan larangan Allah,” terangnya.

Ketiga, pseudo-shopee yaitu upaya menghasilkan satu realitas sosial atau politik budaya. Sekilas nampak nyata padahal sebenarnya palsu. Hari ini terbukti banyak berita-berita hoaks. Sementara Islam, dari sisi Al-Qur’an secara normatif adalah kebenaran. Secara historis juga pernah ditampilkan oleh Rasulullah SAW.

“Secara empiris kita melihat hari ini betapa karut-marutnya dunia ini dengan adanya satu sistem yang meligitimasi kebohongan-kebohongan. Semoga ke depan negeri kita ini menjadi lebih baik, menjadi negara atau negeri yang diridhai Allah SWT. Karena jangankan Indonesia alam semesta ini bahkan milik Allah,” harapnya memungkasi penuturan.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *