Mediaumat.info – Tentang perbedaan waktu/hari pelaksanaan puasa Arafah di Arab Saudi dengan Indonesia dan negeri-negeri lain yang justru rukyatulhilalnya berdasarkan matla’ lokal, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyatakan puasa Arafah tidak hanya terkait dengan waktu saja tetapi terkait dengan tiga hal secara bersamaan.
“Puasa hari Arafah tidak hanya terkait dengan waktu saja, dan tidak hanya terkait dengan tempat saja, tetapi puasa hari Arafah terkait dengan ketiga hal secara bersamaan, yaitu waktu, tempat, dan aktivitas,” paparnya kepada media-umat.info, Selasa (11/6/2024).
Menurutnya, yang dimaksud dengan ‘waktu’ adalah tanggal kesembilan Dzulhijjah berdasarkan rukyatulhilal. Kemudian ‘tempat’ adalah Padang Arafah, dan yang dimaksud ‘aktivitas’ adalah berwukufnya para jamaah haji di Padang Arafah.
Namun, terlepas pandangan yang hanya berdasarkan rukyatulhilal di setiap negeri atau menjadikan waktu wukuf sebagai acuan puasa Arafah, kata Kiai Shiddiq lebih lanjut, setidaknya ada tiga dalil yang menunjukkan bahwa pelaksanaan puasa hari Arafah harusnya dikaitkan dengan aktivitas berwukufnya para jamaah haji di Padang Arafah.
Pertama, hadits yang artinya: “Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berarafah (berwukuf di Arafah) di dalamnya.” Imam Al-Baihaqi berkata, ini adalah hadits mursal yang baik (jayyid), yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marasil (Sunan al-Baihaqi, Juz V, hlm. 176).
Kedua, Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Juraih, dia berkata, yang artinya:
“Aku berkata kepada Atha’: Seorang lelaki berhaji untuk pertama kalinya tetapi orang-orang keliru sehari dalam hari Nahr (Idul Adha), apakah sah hajinya? Dia berkata: Ya, demi Allah, hajinya sah. Dia berkata: Aku kira ia berkata: Nabi SAW berkata: Hari berbuka kalian adalah hari kalian berbuka, hari kurban kalian adalah hari kalian berkurban, dan –aku kira dia berkata- dan Arafah adalah hari kalian berarafah (berwukuf di Arafah)” (Sunan Al-Baihaqi, Juz V, hlm.176).
Ketiga, dalam riwayat lain dari Imam asy-Syafi’i, Rasulullah SAW juga bersabda, yang artinya: “Dan Arafah adalah hari ketika mereka (jamaah haji) berarafah (berwukuf di Arafah)” (Al-Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz I, hlm. 595).
Demikian, tiga hadits tersebut menunjukkan pelaksanaan puasa Arafah tidak bisa dilepaskan dari waktu wukuf. “Semua hadits ini jelas menunjukkan bahwa puasa hari Arafah terkait dengan aktivitas yaitu wukufnya para jamaah haji di Arafah,” tegas Kiai Shiddiq.
Karenanya, ia pun menguatkan dalil ini. “Yang menjadi pendapat saya dan yang saya rajih-kan adalah bahwa puasa hari Arafah terkait dengan ketiga hal secara bersamaan, yaitu waktu, tempat dan aktivitas,” tegasnya.
Sebab, menurutnya, pendapat ini lebih mendekati pandangan yang mengatakan bahwa yang menjadi acuan dalam puasa hari Arafah adalah hari ketika orang berwukuf menurut rukyat seluruh umat Islam di dunia secara umum, tanpa memperhatikan perbedaan matla’ (ikhtilaf al-mathali’).
Dengan kata lain, pelaksanaan puasa hari Arafah ini harusnya berdasarkan rukyat Amir Makkah secara khusus, seperti halnya perkataan Husain bin Harits al-Jadali ra, termaktub dalam Sunan Abu Dawud No. 2338, yang artinya:
“Sesungguhnya Amir (Penguasa) Makkah berkhutbah, kemudian dia berkata, ‘Rasulullah SAW telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan ibadah (manasik haji) berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan beribadah (menjalankan manasik haji) berdasarkan kesaksian keduanya.”
Dengan demikian, acuan umat Islam berpuasa Arafah adalah rukyat penguasa Makkah, yang bertepatan dengan wukufnya jamaah haji di Padang Arafah. Bukan berpuasa pada hari kesembilan dari bulan Dzulhijjah menurut rukyat setiap-tiap negeri berdasarkan perbedaan matla’. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat