Tidak Ada Tempat Untuk Berdirinya Deep State Dalam Islam
Pembentukan negara-negara nasionalisme dan patriotisme di Eropa berdasarkan sistem demokrasi kapitalis setelah penandatanganan Perjanjian Perdamaian Westfalen pada tahun 1648 membuka pintu bagi keberadaan apa yang disebut deep state (ad-daulah al-amīqah, negara di dalam negara), sebagai negara lain di dalam negara asalnya. Sebab, konsep negara setelah Perjanjian Westfalen menjadi bergantung pada keberadaan beberapa institusi pemerintahan, dan bukan satu institusi. Sehingga kewenangan membuat keputusan diberikan kepada masing-masing institusi. Dengan demikian, yang berkuasa di dalam negara bukan presiden, raja atau perdana menteri saja, melainkan kumpulan institusi yang membentuk negara.
Dalam hal ini, pemerintah adalah sebuah institusi, parlemen adalah sebuah institusi, peradilan adalah sebuah institusi, tentara adalah sebuah institusi, dan keamanan adalah sebuah institusi, di mana masing-masing institusi dapat dibagi lagi menjadi unit-unit institusional yang lebih kecil.
Pemerintah memiliki kementerian, masing-masing kementerian memiliki institusi independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dalam portofolio menteri yang bertanggung jawab untuknya. Parlemen memiliki dua institusi pemerintahan dengan kekuatan besar dan luas, yaitu para wakil dan pejabat (senator atau lord). Keamanan sebagai institusi memiliki dinas intelijen di dalam dan di luar, di mana masing-masing darinya memiliki kekuasaan yang luas dalam pemerintahan. Tentara memiliki kelompok-kelompok militer semi-otonom yang mengatur tentara dan perwira, seperti unit reguler, garda republik, pasukan khusus dan sejenisnya. Peradilan dibagi menjadi pengadilan pidana dan pengadilan tinggi, yang masing-masing memiliki kewenangan besar. Juga ada banyak jenis serikat pekerja yang memiliki kekuatan hukum dalam pemeliharaan urusan-urusan para pekerja dan profesional. Begitulah kekuasaan dalam sistem kapitalis telah dibagi menjadi kelompok-kelompok institusi yang berkuasa yang terpisah satu sama lain, di mana independensinya sepenuhnya dijamin oleh undang-undang umum. Inilah yang mereka sebut pemisahan kekuasaan, dan independensinya. Sehingga hal ini mengarah pada terjadinya tumpang tindih atau konflik kekuasaan dalam sistem pemerintahan, dan biasanya menyebabkan sejumlah kelemahan dan kebingungan dalam penerbitan keputusan, serta berkurangnya efektivitas kinerja.
Namun hal yang paling berbahaya dalam sistem institusional jenis ini adalah adanya potensi besar untuk membentuk aliansi rahasia antara para pemimpin institusi untuk mengganggu fungsi kinerja pemerintah, atau bahkan kudeta. Adanya aliansi-aliansi ini biasanya disebut deep state (ad-daulah al-amīqah, negara di dalam negara), di mana beberapa unsur institusi negara yang memilik kepentingan bersama menyatu dalam aliansi tersembunyi atau terang-terangan, kondisi ini yang membentuk dualitas pemerintahan, atau dikenal sebagai deep state (ad-daulah al-amīqah, negara di dalam negara).
Jika bahaya ini karena independensi institusi yang mendominasinya di negara-negara maju, maka di negara-negara dunia ketiga itu benar-benar di luar kendali, bahkan deep state (ad-daulah al-amīqah, negara di dalam negara) mungkin yang memiliki kontrol absolut dan permanen atas negara resmi. Apa yang terjadi di Turki pada paruh kedua abad kedua puluh, dan apa yang terjadi di Aljazair pada dekade suram tahun sembilan puluhan abad terakhir, serta apa yang terjadi pada revolusi Mesir, Tunisia dan Libya, semua itu hanya merupakan bentuk kontrol dan dominasi deep state (ad-daulah al-amīqah, negara di dalam negara) yang berkuasa, terutama ketika diguncang massa, sehingga perubahan parsial atau tambal sulam di negara-negara ini merupakan bentuk kesia-siaan, bahkan hal ini sering mengarah pada penguatan negara-negara tersebut daripada melakukan revolusi. Dengan demikian, perubahan radikal revolusioner adalah satu-satunya solusi dalam mengatasi keadaan seperti itu.
Adapun di dalam Islam, maka tidak ada ruang bagi keberadaan deep state (ad-daulah al-amīqah, negara di dalam negara) dalam sistem pemerintahan, sebab sistem negara dalam Islam jelas bukan sekedar sistem institusi, tetapi sistem yang tergantung pada khalifah yang bertindak atas nama rakyat dalam penerapan hukum-hukum syara’. Khalifah adalah negara, dan negara adalah Khalifah. Sementara institusi-institusi dalam negara Khilafah adalah institusi administrasi, bukan institusi pemerintahan, yang semuanya bekerja sama dengan Khalifah dalam pemerintahan, dan tidak menjadi pesaingnya.
Di sisi lain, tidak adanya institusi yang memiliki otoritas di negara Islam, tidak berarti adanya kediktatoran, karena Khalifah tidak memerintah dengan semaunya sendiri berdasarkan hawa nafsunya, tetapi memerintah berdasarkan hukum syara’, sehingga tidak mungkin Khalifah menjadi diktator, sebab yang dituntut dari Khalifah adalah memerintah rakyat berdasarkan hukum syara’, begitu juga halnya dengan semua individu rakyat dituntut tunduk pada hukum syara’. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.” (TQS Al-Baqarah [2] : 208). Ini artinya bahwa kedaulatan di dalam negara Islam hanya untuk syara’, di mana tidak ada ruang untuk akal dan hawa nafsu, serta tidak ada ruang untuk individualisme, diktator dan tirani, sebab hukum syara’ itu melindungi dari adanya semua petaka dan bencana ini.
Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa tidak ada tempat bagi berdirinya deep state (ad-daulah al-amīqah, negara di dalam negara), dan bahayanya pun tidak akan menembus tubuh negara, sebab negara Khilafah itu, pertama bukanlah negara untuk kumpulan institusi, dan kedua karena tidak ada tempat untuk keberadaan ikatan nasionalisme dan patriotisme. Islam adalah landasan satu-satunya yang diakui dalam negara, dan tidak memberi ruang adanya institusi-institusi yang mengadopsi ikatan-ikatan yang justru membahayakan persatuan negara. Apa yang terjadi di Eropa, yaitu berdirinya negara-negara nasionalisme dan patriotisme atas dasar multi-pemerintah dan multi-institusi, sama sekali tidak berlaku untuk negeri-negeri Islam dengan cara apa pun. Sebab sistem pemerintahan dalam Islam asasnya adalah akidah Islam, sementara pada negara-negara nasionalisme dan patriotisme asasnya adalah pemisahan agama dari pemerintah, dan pembagian kekuasaan institusi yang berkuasa, membuat batas-batas tanah air atau ikatan darah, di mana keduanya dijadikan landasan yang sakral yang menjadi dasar aturan semua institusi menggantikan ikatan agama dan akidah.
Inilah sebabnya mengapa setiap upaya reformasi atau perubahan parsial di negara-negara nasionalisme dan patriotisme pasti akan gagal, sebab deep state (ad-daulah al-amīqah, negara di dalam negara) yang berakar di negara-negara ini tidak akan membiarkan proses perubahan parsial berjalan dengan mulus, atau bahkan menghancurkannya. Oleh karena itu, yang harus pertama kali dilakukan dalam upaya perubahan adalah menghancurkan negara-negara ini, sebelum memulai untuk membangun negara Islam di atas reruntuhannya. [Ahmad Al-Khatwani]
Sumber: alraiah.net, 02/01/2019.