Tiap Muharram, Mestinya Kaum Muslim Peringati Berdirinya Daulah Islam Pertama
Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Syamsuddin Ramadhan an-Nawiy menilai, setiap memperingati peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW 1 Muharram semestinya kaum Muslim juga memperingati berdirinya Daulah Islam Pertama di Madinah.
“Setiap tahun terutama di bulan Muharram mereka memperingati peristiwa hijrahnya Nabi SAW, mestinya mereka juga memperingati berdirinya daulah al-Islamiyyah yang pertama,” ujarnya dalam Kajian Online Fikih Politik: Hijrah Rasulullah SAW, Tonggak Negara Islam Pertama, Sabtu (6/8/2088)) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Pasalnya, peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah, sambung Ustaz Syamsuddin, hakikatnya adalah tonggak berdirinya daulah atau negara Islam pertama yang kemudian dijaga kelestariannya oleh para khalifah.
Bahkan sebagaimana penjelasan para alim ulama mengenai makna ataupun definisi dari hijrah, ternyata tidak bisa dipisahkan dari keberadaan negara Islam.
“Secara literal, makna hijrah adalah meninggalkan negeri pertama menuju negeri kedua,” ucapnya, menyitir penjelasan Ibnu Mandzur di dalam kitabLisaan al-Arab, Juz 5/520 dan Imam al-Raziy dalam kitab Mukhtaar al-Shihaah, hlm. 690.
Di sisi lain, Imam Al Raghib sebagaimana termaktub di dalam kitab Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Syekh ‘Ali ash-Shabuniy, tentang QS al-Baqarah: 218 berkata, ‘Hijrah adalah keluar dari negara kafir menuju negara iman atau Islam’.
Senada dengan beliau, al-Hafiz al-Jurjaniy di dalam kitab Al-Ta’rifat, Juz I/319, pun demikian. “Kita bisa menjumpai di sana dijelaskan bahwa hijrah itu adalah meninggalkan tanah air yang dikuasai orang-orang kafir dan berpindah menuju negara Islam,” terang Ustaz Syamsuddin.
Tak hanya itu, lanjutnya, Imam Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitab Al-Syakhsiyah al-Islamiyyah, Juz II, juga menjelaskan, hijrah adalah al-khuruj atau keluar dari negara kafir menuju negara Islam.
“Dari definisi-definisi ini kita bisa membuat suatu kesimpulan bahwa ketika di sana ada aktivitas hijrah, maksud saya hijrah dalam konteks syariat maka bisa dipastikan, ‘bahwa di sana itu sudah tegak berdiri daulah al-Islamiyyah‘,” paparnya.
Baiat Aqabah II
Sebagaimana kisah masyhur tentang hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah yang sebelumnya memang diperintahkan oleh Allah SWT, tegaknya negara Islam pertama di Madinah dimulai pasca peristiwa Baiat Aqabah Kedua pada tahun 622 M atau tahun ke-13 kenabian.
75 orang rombongan haji dari Yatsrib, sebelum berganti menjadi Madinah, menemui Nabi Muhammad SAW yang ditemani paman beliau, Abbas bin Abdul Muthalib ra di Bukit Aqabah. Pertemuan tersebut dilaksanakan pada Hari Tasyriq 11, 12, dan 13 Zulhijah.
Peristiwa itu juga disebut oleh ulama ahli sirah dengan istilah Baiat al-Hard, yakni janji setia untuk melindungi Baginda Nabi Muhammad SAW berikut risalah yang beliau bawa. Walaupun untuk itu, lanjutnya, harus berperang, mengorbankan harta, jiwa dan juga anak istri mereka.
Namun yang tak kalah penting untuk dipahami, kata Ustaz Syamsuddin, dari peristiwa tersebut menandai pula diangkatnya Baginda Nabi Muhammad SAW sebagai Rais ad-Daulah al-Islamiyyah atau kepala negara Islam yang pertama.
“Secara de jure, Nabi SAW itu dibaiat dengan istilahnya baiat pengangkatan sebagai kepala negara itu pada peristiwa baiat aqabah yang kedua,” tandasnya,
“Meskipun secara de facto Nabi SAW masih ada di kota Makkah, yang kita ketahui Kota Makkah pada saat itu statusnya adalah darul kufr atau negara kafir,” tambahnya.
Maka pasca peristiwa Baiat Aqabah II, sekali lagi ia menerangkan, Nabi Muhammad SAW yang sebelumnya diperintah oleh Allah SWT, memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah untuk membangun kehidupan baru dengan nafas dan cakrawala baru, Islam.
Oleh karena itu dari sisi aktivitas politik, Ustaz Syamsuddin kembali menegaskan, sesungguhnya hijrah, yakni berpindahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah hakikatnya adalah peristiwa berpindahnya kaum Muslim dari darul kufr menuju darul Islam.
“Berpindah dari negara kafir menuju negara Islam yang telah tegak berdiri di Madinah al-Munawarah,” jelasnya.
Kewajiban
Kalaupun saat ini negara Islam yang notabene menerapkan Islam secara keseluruhan belum tegak kembali, sejak keruntuhan tahun 1924, sambungnya, berarti menjadi kewajiban bagi tiap Muslim untuk menegakkannya lagi.
“Demi apa? Demi terlaksananya kewajiban untuk hijrah,” cetusnya, sembari menyebutkan hukum hijrah menjadi wajib dalam keadaan-keadaan tertentu.
Bahkan, tambahnya, terdapat satu fatwa di dalam kitab Fatawa al-Syibkat al-Islamiyyah Mu’addalah, Juz 2/647 terkait kewajiban dimaksud.
‘Maka wajib atas kaum Muslim untuk menegakkan atau mendirikan negara Islam untuk menerapkan syariat Allah SWT di bumiNya. Dan akan menegakkan keadilan dan kesetaraan di antara manusia. Dan di bawah naungannya itulah memungkinkan bagi para penyeru/pendakwah menuju pada Allah SWT yang menyeru kepada agama Allah SWT untuk mengajak manusia menuju Allah SWT dan mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.’
“Dari sini saya ingin garis bawahi di sini,” selanya.
‘Dan siapa saja orang yang dia tidak mau melakukan hal itu padahal dia mampu untuk melakukan maka ia berdosa dan wajib bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada Allah SWT.’
Dengan demikian, ia pun menyampaikan setidaknya empat kesimpulan terkait hijrah. Pertama, hijrah merupakan peristiwa politik penting yang mengubah tatanan kehidupan dunia.
Kedua, hijrah bukan sekadar pergerakan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi menandai berdirinya negara Islam. “Sebab berdirinya negara Islam merupakan syarat agar hijrah dalam konteks syariah bisa ditegakkan oleh kaum Muslim,” tekannya.
Ketiga, hijrah merupakan bukti bahwa seseorang lebih mengutamakan keselamatan agama dan ketaatannya kepada Allah SWT dan rasul-Nya.
Keempat, hijrah menjadi momentum sekaligus spirit tak pernah padam bagi kaum Muslim untuk berjuang menegakkan darul hijrah. “Yakni daulah al-Islamiyyah, negara khilafah Islamiyyah ‘ala minhaj an-nubuwwah,” pungkasnya. [] Zainul Krian