Thailand Berencana Legalkan Ganja, Kiai Shiddiq: Haram secara Mutlak
Mediaumat.id – Rencana pemerintah Thailand yang akan melegalkan ganja pada (9/6/2022) mendapat tanggapan dari Founder Institut Muamalah Indonesia KH M. Shiddiq Al-Jawi.
“Menurut kami haram hukumnya secara syar’i menggunakan ganja (Cannabis sativa) secara mutlak, baik menanam ganja, menghisap ganja, menjualbelikan ganja, ataupun melegalkan ganja,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Ahad (22/5/2022).
Menurutnya, hukum pemanfaatan ganja juga tetap haram meskipun untuk sekadar penyedap makanan. “Meskipun hanya sedikit dan meskipun tidak menimbulkan bahaya atau efek negatif bagi yang memakan makanan tersebut. Haram pula sebuah negara melegalkan ganja bagi rakyatnya,” tegasnya.
Keharaman ganja tersebut, tutur Kiai Shiddiq, didasarkan pada dalil syar’i yang mengharamkan ganja secara mutlak, baik sedikit maupun banyak. Juga didasarkan pada fakta tidak adanya illat (alasan penetapan hukum) keharaman ganja, misalnya karena menimbulkan efek negatif bagi penggunanya. “Maka ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya,” ungkapnya.
Dalil Syar’i
Kiai Shiddiq mengungkap dalil syar’i yang mengharamkan ganja (Arab: al-hasyisy) secara mutlak adalah hadits sebagai berikut:
Dari Ummu Salamah RA, dia berkata, “Bahwa Rasulullah SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir)” (HR Abu Dawud no. 3689 dan Ahmad no. 26676).
“Sebagian ulama menilai hadits ini dha’if (lemah), misalnya penulis kitab ‘Aunul Ma’bud dan Syekh Syu’aib Al Arna`uth,” ungkapnya.
Namun, ia lebih condong kepada Imam Ibnu Hajar al-Asqalani yang menghukumi hadits ini sebagai hadis hasan. (‘Aunul Ma’bud, 3/378; Musnad Ahmad bin Hanbal Ma’a Hukm Syu’aib Al Arna`uth, Juz 6 hlm. 309; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz 10 hlm. 47; Kitabul Asyribah, Bab Al-Khamr min al-‘Asl, syarah hadits no 5263; Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 11 hlm. 35, Bab At-Takhdiir; Ahmad Fathi Bahnasy, Al-Khamr wal Mukhaddirat fi al-Islam, hlm. 169).
“Para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan kata “mufattir” dalam hadits di atas adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, hlm. 342; Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 11 hlm. 35),” bebernya.
Maka dari itu, ia menilai hadits di atas dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan ganja.
Menurutnya, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa dalam hadits Ummu Salamah ini terdapat dalil yang secara khusus mengharamkan ganja (al-hasyisy), karena ganja dapat menimbulkan rasa tenang (tukhaddir) dan melemahkan (tufattir) (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 11 hlm. 35; Al-Mausu’ah al-Jina`iyyah al-Muqaranah, Juz 1, hlm. 367 & 695).
Keharaman ganja ini, menurutnya, bersifat mutlak, artinya baik dikonsumsi sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram (Lihat Syekh as-Saharanfuri, Badzlul Majhud fi Halli Abi Dawud, Juz 16, hlm. 22).
Kemutlakan hukum ini, kata Kiai Shiddiq, disimpulkan dari nash hadits Ummu Salamah ra yang bersifat mutlak pula. Artinya, hadits ini hanya menjelaskan bahwa Nabi SAW telah melarang setiap zat yang melemahkan (mufattir), tanpa menjelaskan batasan atau sifat ganja itu apakah yang dilarang itu sedikit atau banyak.
Ia pun meminta untuk memperhatikan baik baik-baik perkataan Ummu Salamah ra:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفْتِرٍ
(nahaa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallama ‘an kulli muskir[in] wa mufattir[in])
“Bahwa Rasulullah SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir)” (HR Abu Dawud no. 3689 dan Ahmad no. 26676).
Maka dari itu, tegas Kiai Shiddiq mengutip Ushul al-Fiqh al-Islami Juz 1 hlm. 208 karya Wahbah Zuhaili, keharaman ganja ini adalah mutlak, sesuai nash hadits yang mutlak pula. Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan: al-muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan).
“Selain itu, keharaman ganja ini semata-mata didasarkan pada nash, bukan didasarkan pada illat (alasan penetapan hukum) keharaman ganja. Karena illat itu memang tidak ada. Bahwa ganja dapat menimbulkan efek negatif, adalah semata-mata fakta (al-waqi’) namun bukan illat (alasan) keharaman ganja,” tambahnya.
Maka dari itu, ia menegaskan, ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya. Kemudian ia pun mengutip kaidah fikih dari kitab At- Ta’rif bi Hizb At-Tahrir, hlm. 55 karya Syekh Abdul Qadim Zallum:
إن العبادات والمطعومات والملبوسات والمشروبات والأخلاق لا تعلل وإنما يلتزم فيها بالنص
Inna al-‘ibadati wa al-math’umati wa al-malbusati wa al-masyrubati wa al-akhlaqa laa tu’allalu wa innama yultazamu fiiha bi an nashsh (Sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlak tidak didasarkan pada illat (alasan penetapan hukum), namun hanya didasarkan dan berpegang pada nash saja).[] Achmad Mu’it