Terpilihnya Muslimah jadi Presiden Singapura untuk Kaburkan Agenda Sekuler
Mediaumat.id – Terpilihnya Halimah Yacob seorang perempuan dari etnis Melayu Muslim sebagai Presiden Singapura dinilai hanya mengaburkan agenda sekuler Barat untuk menyerang Islam.
“Sosok Muslimah seperti Halimah Yacob berada dalam struktur pemerintahan, akan membantu mereka mengaburkan agenda sekuler Barat untuk menyerang Islam,” ujar Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) Fika Komara kepada Mediaumat.id, Sabtu (23/4/2022).
Fika memandang, meski merupakan bekas koloni Inggris, Singapura semenjak pasca-Perang Dingin sudah menjadi bagian dari sekutu Amerika. Singapura sangat aktif dan berkontribusi langsung untuk mendukung proyek anti-Islam pimpinan Amerika.
Menurut Fika, Singapura bahkan sangat represif terhadap umat Islam yang mereka anggap radikal, misalnya adanya program sertifikasi dai, larangan kumandang azan shalat, termasuk mendeportasi mahasiswa Islam asing yang dinilai mempunyai komitmen terhadap perkembangan dakwah di Singapura.
Fika menuturkan, latar belakang politik Halimah adalah kader loyal partai PAP (People Action Party), besutan Lee Kuan Yeuw mantan perdana menteri Singapura 7 periode, yang dijuluki sebagai Bapak Pembangunan Singapura. Halimah sementara keluar dari PAP karena persyaratan calon presiden Singapura mensyaratkan seperti itu.
Fika mengungkapkan, Lee Kuan Yew pernah menyatakan pandangan kontroversial terhadap umat Islam Singapura yang termaktub dalam buku Lee Kuan Yew: Hard Truths to Keep Singapore Going. Dalam buku itu, Lee menegaskan bahwa kaum Muslim Singapura menghadapi kesulitan berintegrasi karena kepatuhan mereka kepada ajaran-ajaran Islam, dan mendesak umat Muslim untuk menjadi kurang ketat dalam menjalani ketaatan Islam.
Lee Kuan Yew Lee bahkan pernah berkata Islam adalah ‘agama yang beracun’ (venomous religion), ini merupakan salah satu dari 700 dokumen Wikileaks yang bocor berasal dari Kedubes AS di Singapura. Dan menurut pengakuan Lee Kuan Yew sendiri, bahwa ia meniru nagara penjajah zionis Israel dalam membangun Singapura.
Fika menyebut, Halimah diangkat karena tokoh-tokoh di Singapura memandang bahwa secara pemikiran Halimah is a part of majority, sebab melawan Islam radikal itu jauh lebih halus jika datang dari orang yang secara tampilan publiknya adalah Muslim, tetapi pemikirannya bisa mereka kendalikan.
Ditambah fakta bahwa Halimah Yacob hanya seorang presiden saja. Padahal Singapura yang menganut sistem parlementer, penguasa sesungguhnya adalah perdana menteri. Presiden sebagai kepala negara fungsinya sebatas seremonial dan secara politik nyaris tak punya kuasa yang berarti.
Terakhir, Fika mengingatkan, Halimah Yacob dan sejarah politik Singapura harus memberikan pelajaran penting bagi negara-negara Muslim di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Malaysia, bahwa dominasi peran kolonial Barat untuk meminggirkan umat Islam dan merongrong kekuatan Islam di tanah Melayu Muslim telah diinvestasikan sejak lebih dari satu abad yang lalu.
“Kaum Muslim perlu menyadari bahwa kepemimpinan sejati bagi umat bukan sekadar tampilan luar figur atau personal saja, umat harus lebih mendalam melihat identitas pemikiran dan kepada siapa loyalitas tokoh ini diberikan,” pungkas Fika.[] Agung Sumartono