Terpilih Jadi Presiden, Halimah Yacob Justru Ditolak Sebagian Warga Singapura

Singapura menorehkan sejarah karena akhirnya memiliki Presiden perempuan dan berasal dari etnis minoritas Melayu. Dia adalah Halimah Yacob, perempuan berusia 63 tahun yang dinyatakan oleh pemerintah sebagai pemimpin Negeri Singa, usai empat kandidat lainnya dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Dua kandidat lainnya terbukti bukan berasal dari etnis Melayu, sedangkan sisanya yang mengaku berasal dari kalangan pengusaha, perusahaannya justru memiliki aset lebih kecil dari ketentuan yang diharuskan. Mohamed Salleh Marican dan Farid Khan gagal akibat ekuitas atau saham perusahaan yang mereka miliki tidak mencapai 500 juta SGD. Padahal, sebagai kandidat yang berasal dari latar belakang pengusaha di sektor swasta, keduanya harus memiliki ekuitas minimal 500 juta SGD atau setidaknya memiliki pengalaman dan kemampuan yang sebanding.

Empat kandidat terlempar, sehingga hanya menyisakan Halimah yang menjabat sebagai pejabat publik. Padahal, jika semua lolos kualifikasi, maka warga Singapura bisa mengikuti pemilu pada 23 September. Dengan demikian, Departemen Pemilu Singapura hanya mengeluarkan satu Certificate of Eligibility untuk Halimah pada Senin, 11 September kemarin.

Sebelumnya, Halimah juga membuktikan kesuksesannya sebagai perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua Parlemen ke-9 Singapura dari Januari 2013. Sepak terjangnya di dunia politik Singapura selama 47 tahun, membuat Halimah menjadi bukti nyata bahwa kaum minoritas Melayu dan Muslim masih mampu bersaing. Hal ini juga terkait dengan kondisi masyarakat Singapura yang didominasi oleh etnis China sebanyak 5,5 juta orang.

Dengan lolosnya Halimah dalam proses kualifikasi, ia masih harus menyerahkan beberapa surat ke Departemen Pemilu Singapura. Jika tidak ada kendala dalam penyerahan surat, Halimah mengatakan akan membuat “janji” kepada seluruh masyarakat Singapura.

“Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya berjanji untuk melakukan yang terbaik, untuk melayani masyarakat Singapura dan itu tidak berubah apakah ada pemilihan atau tidak ada pemilihan (umum),“ ujar Halimah seperti dikutip media.

Ia juga menambahkan seorang presiden harus mampu mewakili semua ras, agama dan masyarakat Singapura.

Tak mewakili suara rakyat

Terpilihnya Halimah sebagai Presiden menimbulkan perpecahan suara di kalangan warga Singapura. Sebagian tetap mendukung mantan Menteri Pemuda dan Olahraga itu, namun sisanya memilih menolak.

Sejak awal, sebagian warga Singapura tak begitu setuju dengan sistem pemilu yang telah ditentukan. Sistem ini membuat warga Singapura dari etnis tertentu yang belum pernah mengikuti Pilpres dapat ikut mencalonkan diri.

Sementara, terakhir kali etnis Melayu menduduki kursi Presiden terjadi pada tahun 1965. Saat itu Yushof Ishak menjadi Presiden Negeri Singa usai negara itu mendapatkan kemerdekaan.

Maka, publik Singapura pun tidak begitu simpati terhadap Halimah lantaran ia terpilih karena etnisnya. Bahkan, sebagian mempertanyakan etnis Halimah yang sesungguhnya. Warga Singapura lebih memilih kandidat Presiden sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.

Kecurigaan lainnya dari warga yakni Halimah bisa terpilih lantaran ia diduga dekat dengan partai penguasa, Partai Aksi Rakyat (PAP) yang telah berkuasa di Singapura selama puluhan tahun. Bahkah, Halimah memang menjadi kader PAP hingga akhirnya ia terpaksa mundur karena mengikuti proses Pilpres.

Berdasarkan data yang dikutip media dari Meltwater, ketika Halimah dinyatakan sebagai Presiden sejak Senin kemarin, muncul 83 persen sentimen negatif. Angka ini lebih tinggi ketimbang 47 persen sentimen negatif beberapa hari sebelumnya. Sementara, pada periode yang sama sentimen positif turun 17 persen dari 51 persen menjadi 49 persen.

Sentimen negatif juga dibawa ke media sosial. Selama dua hari tagar #NotMyPresident bergema di dunia maya negeri Singa. Warganet banyak yang mempertanyakan kemampuannya dalam mengelola negara.

Di balik penolakan itu, toh warga Singa tidak bisa mencegah Halimah akan dilantik pada malam nanti sekitar pukul 18:00 waktu setempat.

Sistem pemilihan Presiden Singapura

Singapura memiliki dua tipe pemilihan, yaitu pemilihan parlementer dan presidensial. Pemilihan Presiden Singapura yang mulai dilaksanakan sejak 1993 ini juga wajib dilaksanakan setiap enam tahun sekali.

Dalam sejarah Pilpres Singapura, Partai Aksi Rakyat (PAP) menjadi partai yang mendominasi dalam menduduki jabatan presiden Singapura. Halimah pun sebelumnya merupakan kader PAP.

Di tengah lolosnya Halimah dalam proses kualifikasi, secara umum Singapura memiliki sistem pemilu yang cukup ketat. Jika di Indonesia, mangkir untuk memilih pasangan calon di Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjadi hal yang lumrah. Berbeda dengan Singapura.

Warga Singapura tidak akan dapat kesempatan untuk memilih di Pilpres berikutnya jika mereka mangkir pada Pilpres tahun ini. Kecuali mereka memiliki alasan yang kuat seperti melahirkan atau menebus denda sebesar 35 SGD.

Selain itu, Singapura juga dinobatkan sebagai negara yang memiliki masa kampanye tercepat di dunia. Contoh, pada tahun 2015, ketika Singapura mengadakan pemilihan umum pertama setelah rezim Lee Kuan Yew, mereka hanya menjalankannya selama sembilan hari saja.

Kampanye dari para kandidat terpilih juga dilarang untuk memasukkan unsur hiburan-hiburan di dalamnya. Berbeda dengan Indonesia yang menggunakan hiburan musik, untuk menghibur sekaligus mengambil hati masyarakat.

Kelompok dan ras juga menjadi isu yang kuat dalam pemilu di Singapura. Sejak tahun 1988, pemerintah Singapura menerapkan aturan kepada pemilih untuk memilih sekelompok kandidat, bukan per-individu. Sistem ini juga mewajibkan partai di Singapura untuk mengajukan kandidat dengan minimal satu orang dari etnis minoritas.

Di dalam sistem pemerintahan Singapura, kewenangan Presiden memang terbatas dan hanya dijadikan simbol. Tata kelola negara dipegang oleh Perdana Menteri. Namun, ia tetap memiliki hak veto untuk menolak usulan pejabat yang mengisi pos Menteri yang diusulkan pemerintah.[]

Sumber: rappler.com

Share artikel ini: