Terkait Wiranto, Seruan Presiden “Memerangi Radikalisme” Tidak Memiliki Dasar Hukum?

Oleh: Chandra Purna Irawan,SH.,MH. (Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekjend LBH PELITA UMAT)

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyerukan masyarakat untuk bersama-sama memerangi radikalisme dan terorisme menyusul insiden penusukan yang menimpa Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10).

Pernyataan Jokowi usai menjenguk Wiranto di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Lebih kurang pada pokoknya sebagai berikut:  “Dan pada seluruh masyarakat saya mengajak bersama-sama untuk memerangi radikalisme dan terorisme di tanah air kita. Hanya dengan upaya bersama-sama, terorisme dan radikalisme bisa kita selesaikan dan berantas dari negara yang kita cintai,”.

Sumber : https://m.cnnindonesia.com/nasional/20191010163804-20-438475/wiranto-ditusuk-jokowi-serukan-perang-lawan-radikalisme

Berkaitan dengan hal tersebut di atas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

Pertama, bahwa Apabila seruan yang disampaikan Jokowi  “memerangi radikalisme…” dikaitkan dengan pelaku “serangan” terhadap Wiranto, tidak tepat karena atas dasar apa? Apakah sudah ada proses pembuktian bahwa pelakunya adalah terpapar radikal? Apa yang dimaksud radikal? Hingga saat ini tidak terdapat defenisi kongkrit dan/atau unsur-unsur apa saja yang dapat disebut radikal berdasarkan peraturan perundang-undangan?

Sementara terdapat berita yang menyatakan Pelaku penusukan Menko Polhukam Wiranto, Syaril Alamsyah alias Alam bahwa Rumah pelaku tergusur proyek pembangunan Tol Trans Sumatera yang digencarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20191010183650-20-438527/penusuk-wiranto-korban-gusuran-proyek-tol-jokowi)

Apabila motif yang dilakukan pelaku adalah “sakit hati” karena rumahnya tergusur, maka pernyataan Presiden terkait  “memerangi radikalisme …” dapat dinilai pernyataan tergesa-gesa dan dapat dinilai sedang membangun narasi.

Kedua, bahwa pernyataan Presiden  terkait “memerangi radikalisme..” dikhawatirkan berpotensi terjadinya stigmatisasi dan persekusi terhadap seseorang yang dinilai “berseberangan” karena mengkritik kebijakan Pemerintah, semisal terdapat mahasiswa yang di DO dengan tuduhan radikal atau terdapat Dosen diberhentikan/dipecat dengan tuduhan radikal;

Ketiga, bahwa Indonesia adalah negara hukum sehingga perlu terdapat kepastian hukum agar seseorang tidak mudah distigmatisasi dan dipersekusi. Sehingga seruan “memerangi radikalisme” yang disampaikan Presiden Jokowi sangat disayangkan karena dapat dinilai sebagai seruan yang tidak memiliki dasar hukum dikarenakan hingga saat ini tidak terdapat definisi konkrit dan/atau unsur-unsur apa saja yang dapat disebut radikal berdasarkan peraturan perundang-undangan? Dan tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa radikal termasuk perbuatan yang dapat dipidana.

Apabila seruan Presiden misalnya “mari perangi terorisme” dan/atau “mari perangi narkotika”, maka seruan tersebut memiliki dasar hukumnya. Sementara “radikalisme”?

Saya tutup legal opini ini dengan menyertakan Peribahasa Melayu  “Terlajak perahu boleh diundur, terlajak kata buruk padahnya”, maksudnya berhati-hati apabila berkata-kata ataupun menyatakan sesuatu kerana kata-kata yang sudah terkeluar sukar ditarik balik dan memberi kesan atau dampak yang buruk.

Wallahualam bishawab[]

Share artikel ini: