Terkait Protokol Covid-19, HRS Didiskriminatif?

 Terkait Protokol Covid-19, HRS Didiskriminatif?

Mediaumat.news – Pengamat Politik dari Indonesia Justice Monitor Luthfi Afandi menyebut adanya sikap diskriminatif dan tebang pilih dalam penanganan kasus yang melibatkan Habib Rizieq Syihab (HRS).

“Apakah ini diskriminatif? Publik melihat dengan terang benderang ini diskriminatif dan tebang pilih. Karena sebelum 10 November pemerintah tidak pernah menunjukkan sikap tegas sebagaimana sekarang. Sampai sekarang press conference Menkopolhukam, Panglima TNI dan lain sebagainya,” ujarnya dalam acara Kabar Malam, Selasa (17/11/2020) di kanal Youtube Khilafah Channel.

 Terkait antisipasi persebaran Covid-19, Luthfi mengungkap, sebelumnya publik meminta pemerintah mengambil langkah tegas dengan lockdown, tapi malah diabaikan. Justru belakangan pemerintah melakukan upaya pelonggaran dengan istilah new normal. Yang memperbolehkan masyarakat menjalankan aktivitas ekonomi.

Namun, dalam kasus yang melibatkan HRS justru menjadi tegas. “Pasca 10 November publik kaget kok pemerintah tiba-tiba menjadi tegas? Padahal sebenarnya kalau mau dibuka berbagai kegiatan publik menjadi biasa,” bebernya.

Menurut Luthfi, pemerintah menjadi tegas paling tidak dilatarbelakangi oleh tiga peristiwa. Pertama, penjemputan HRS di bandara yang melibatkan banyak orang. Kedua, tabligh akbar di Mega Mendung Bogor. Ketiga, peristiwa walimah anak HRS sekaligus maulid nabi di Petamburan. “Kalau dilihat ini semua berhubungan dengan HRS,” bebernya.

Padahal, menurutnya, selain kasus yang berkaitan dengan HRS, juga terjadi banyak kejadian yang melibatkan banyak publik namun tidak dipersoalkan.

“Contoh pemerintah ngotot diadakannya Pilkada serentak pada bulan Desember yang akan melibatkan 270 daerah. Dan ini bisa terbayangkan titik berkumpulnya publik tidak bisa dihindarkan. Contoh lagi saat pendaftaran Gibran, di KPU Solo itu melibatkan kurang lebih 1000 orang, tapi itu tidak pernah dipermasalahkan,” ungkapnya.

Sehingga menurutnya, wajar bila publik bertanya bagaimana sebenarnya sikap dan integritas dari kepolisian. “Di DKI Jakarta Gubernur sampai dipanggil, bahkan dua Kapolda diberhentikan. Sementara di Jawa Tengah kok biasa saja. Sehingga publik wajar mempertanyakan kemudian melihat ada sikap diskriminatif,” ujarnya.

Maka, menurut Luthfi, wajar pula bila publik melihat hal ini bukan sebagai kasus hukum, namun motif politik. Dan ini memiliki dampak yang negatif bagi penegak hukum.

“Dampaknya pertama, akan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Kedua hal ini akan menurunkan wibawa para penegak hukum,” pungkasnya.[] Billah Izzul Haq

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *