Mediaumat.id – Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang diterbitkan Pemerintah pada Jumat (30/12/2022) itu bukan karena kegentingan yang memaksa tetapi memaksakan kegentingan. “Perppu Cipta Kerja itu bukan karena kegentingan yang memaksa tetapi memaksakan kegentingan,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Senin (3/1/2023).
Agung mengatakan, banyak pihak yang mengkritisi hal ini karena Mahkamah Konstitusi telah menetapkan UU Cipta Kerja yang kontennya hampir persis sama dengan Perppu Ciptaker ini dengan menyatakan Inkonstitusional Bersyarat, dan pemerintah diminta untuk memperbaiki cacat prosedur selama 2 tahun ke depan. Tetapi kenyataannya, pemerintah malah menelikung dan mengeluarkan Perppu Ciptaker.
“Ini tentu saja menyakitkan hati rakyat. Apalagi alasannya katanya ada kegentingan yang memaksa. Kondisi Indonesia akan menghadapi ancaman resesi global dan ketidakpastian yang sangat tinggi. Ada krisis pangan, krisis energi, climate change dan problem rantai pasok di dunia. Kalau itu alasannya, Bukankah itu karena penerapan kapitalisme global yang juga diikuti oleh negeri ini? Itu namanya bukan kegentingan yang memaksa tapi memaksakan kegentingan,” ujarnya.
Ia mempertanyakan keuntungan dari ekspor batu bara, minyak sawit mentah (CPO) dan komoditas yang lain yang menghasilkan untung beliung bagi Indonesia. “Yang kemudian tahun 2023 kemungkinan juga masih dapat untung beliung. Ke mana uang itu? Kenapa kemudian mengatakan, kegentingan yang memaksa?” tanyanya.
Kritik
Ia pernah menyampaikan kritik yang sangat keras terhadap UU Cipta Kerja. “Dan hal yang sama pun kami mengkritik terhadap Perppu Ciptaker ini,” katanya.
Agung pun menyampaikan lima kritikannya. Pertama, cacat prosedural. Kegentingan yang memaksa ini sebenarnya memaksakan kegentingan. Kedua, substansinya cipta investasi menciptakan karpet merah untuk investor. Yang sebenarnya investor untung, rakyat yang buntung.
Ketiga, sentralistik oligarkis. Oligarki yang akan mendapatkan keuntungan dengan kemudahan perizinan perizinan. “Dan kemungkinan besar lingkungan pun akan rusak,” ujarnya.
Keempat, liberalistik. “Ini kritik kami yang sangat tegas kepada UU Cipta Kerja maupun Perppu Ciptaker. Ini kezaliman luar biasa yang terjadi karena negeri ini menerapkan sistem kapitalisme. Dan nafas kapitalisme atau liberalistik ini ada pada UU Cipta Kerja maupun Perppu Ciptaker,” tegasnya.
“Stop! Hentikan kezaliman ini,” serunya.
Ia mengingatkan sebuah ayat bahwa Allah melaknat orang-orang yang zalim. “Waktunya kita berpindah dari kezaliman menuju keadilan. Dan keadilan hanya terwujud dengan diterapkannya syariah Islam secara kaffah. Dan itu hanya bisa terwujud dengan tegaknya khilafah Islam,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it