Terapi Konversi LGBT Dilarang, Begini Seharusnya
Mediaumat.id – Kabar Pemerintahan Kanada yang akan melarang terapi konversi atau terapi ‘penyembuhan’ orientasi seksual bagi kaum LGBT melalui rancangan undang-undang (RUU), disikapi begini. “Justru harus disembuhkan. Karena ini adalah penyimpangan. Dan sama sekali tidak bisa diterima,” ujar Aktivis Muslimah Iffah Ainur Rachmah kepada Mediaumat.id, Ahad (12/12/2021).
Demikian pula dengan anggapan bahwa LGBT bukan penyakit mental dengan mengatakan itu hanyalah orientasi seksual berbeda serta termasuk bagian hak asasi manusia (HAM) yang menurut Iffah pendapat demikian semestinya juga dikoreksi.
“Bahkan melarang terapi konversi LGBT itu sama dengan mengirimkan sebuah sinyal dukungan untuk mereka yang sedang memperjuangkan hak-hak seksualnya yaitu kaum LGBT,” terangnya.
Padahal semua tahu, pemikiran tentang hak asasi manusia (HAM) yang di dalamnya menjunjung tinggi kebebasan berperilaku adalah pemikiran yang akan menghantarkan pada sikap melarang manusia memberikan pengobatan atau terapi agar kembali normal.
Sebagaimana diketahui, RUU yang mulai berlaku 30 hari setelah mendapatkan persetujuan Kerajaan Kanada pada Rabu (8/12) tersebut, menjadikan kegiatan ‘menyediakan, mempromosikan, atau mengiklankan terapi konversi’ sebagai pelanggaran pidana.
Tak hanya itu, aturan itu ternyata juga melarang orang memaksa anak-anak Kanada untuk menjalani terapi konversi.
Penting diketahui juga, UU yang melarang terapi konversi dimaksud, ternyata menurut Iffah tak hanya di Kanada. Tetapi juga di Jerman, sebagian negara bagian AS, Selandia Baru dan beberapa negara di Eropa. “Jelas akan menghasilkan wabah yang lebih banyak lagi atau wabah yang lebih besar kepada pelaku-pelaku LGBT,” tambahnya.
Lebih jauh Iffah mengatakan, terapi konversi LGBT yang bentuknya semacam psikoterapi-psikiatri atau terapi perpaduan antara pendekatan medis dan psikosis (mental) sebenarnya tak akan cukup. “Makin banyaknya orang-orang yang mengidap penyakit ini, karena ada lingkungan yang menumbuhsuburkannya. Yaitu mereka mendapatkan pemikiran sekuler kapitalistik,” ungkapnya.
Semisal, lanjut Iffah, selain dari pelajaran-pelajaran sekolah yang didominasi pemikiran sekuler kapitalistik, mereka, para generasi juga melihat contoh nyata di dalam kehidupan yang betapa makin banyak orang liberal.
Mereka juga gampang sekali mengakses konten-konten liberal. Termasuk juga pandangan-pandangan yang positif terhadap LGBT di media-media. “Juga kita lihat kebijakan-kebijakan pemerintah pada banyak aspek itu juga basisnya adalah liberalisme,” tambahnya.
Sistem Islam
Oleh karena itu, sistem kehidupan demikian semestinya diganti dengan sistem Islam yang memiliki kewajiban memastikan tak boleh ada pemikiran rusak liberal (termasuk penyimpangan orientasi seksual) yang berkembang.
Apalagi, kata Iffah, sampai menyusup melalui kurikulum pendidikan serta kampanye-kampanye pemikiran liberal berbagai kelompok yang secara vulgar ditayangkan bebas di berbagai media.
Ialah Khilafah Islamiyah, sistem politik Islam yang mampu memberantas penyebaran pemikiran rusak dan merusak liberal-sekuler-kapitalistik termasuk kebebasan berperilaku LGBT.
Di dalamnya, kata Iffah, semua aspek kehidupan masyarakat dipupuk dengan landasan ketakwaan. Sehingga tumbuh subur bersama aktivitas amar makruf nahi mungkar.
Sebagaimana Hadits Nabi SAW, ‘man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum.’ “Siapa yang meniru-niru satu kaum, laki-laki meniru perilaku perempuan atau sebaliknya, maka itu adalah hal yang dilarang karena mereka seperti menjadi golongan kaum tersebut,” tutur Iffah memaknai.
Kalaupun masih ada yang membandel dengan terus melakukan penyimpangan perilaku (homoseksualitas), maka lanjut Iffah, syariat Islam memberikan sanksi tegas berupa hukuman mati. “Dijatuhkan dari tebing yang tinggi. Sehingga penyakit mereka, penyimpangan mereka itu tidak menular kepada yang lain,” tegasnya.
Maka itu, selain menyadari kerusakan pemikirannya, umat harus membongkar racun-racun berbahaya di balik slogan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dengan tidak boleh menganggap mereka (LGBT) berpenyakit atau kelainan sehingga perlu diterapi.
Sebagai umat Islam di negeri-negeri Muslim pun, termasuk Indonesia, Iffah berharap agar senantiasa menyadari kerusakan dari pandangan-pandangan liberal dimaksud. “Di dalam negeri sudah banyak kerusakan. Jangan lagi menambah besar persoalan di negeri ini dengan mengimpor kerusakan sebagaimana yang terjadi di negara-negara Barat,” pungkasnya.[] Zainul Krian