Terancam Capital Flight, FAKKTA: Hentikan Kapitalistik Ribawi

Mediaumat.id – Terkait terancamnya Indonesia mengalami capital flight (dolar lari keluar negeri) akibat krisis dunia yang semakin parah, Ekonom Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta, S.E., M.M menyatakan obat mujarab untuk menghentikan potensinya adalah dengan menyetop tata kelola keuangan moneter kapitalistik ribawi.

“Obat mujarab untuk menghentikan potensi capital flight adalah dengan menghentikan tata kelola keuangan moneter kapitalistik ribawi-spekulatif. Serta diikuti dengan mengganti mata uang fiat money dengan mata uang logam berbasiskan emas dan perak,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Kamis (28/4/2022).

Selain karena tuntutan kewajiban Islam, menurut Hatta, hal itu juga penting dilakukan sebagai solusi dari kondisi ekonomi Indonesia dan dunia yang sebagaimana dikatakan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti bahwa saat ini dunia sedang mengalami krisis yang sangat parah.

Menurut Hatta, apa yang disampaikan oleh BI adalah potret kondisi ekonomi dunia saat ini pasca pandemi. Di saat pandemi belum sepenuhnya berakhir, yang notabenenya telah menyebabkan resesi ekonomi secara global pada tahun 2020, muncul persoalan baru berupa melambungnya tingkat inflasi di banyak negara. Baik itu negara maju maupun negara berkembang dan miskin. Hal itu diperparah dengan persoalan geopolitik yang berkembang di Eropa Timur berupa perang Rusia-Ukraina.

Hatta membeberkan, ketidaksiapan sektor riil dalam merespons lonjakan permintaan pasca pandemi yang cenderung melemah setelah berjalan 2 tahun diduga kuat telah menjadi faktor utama krisis ini.

Ia mengatakan, ketika sisi suplai bergerak lebih lambat dibandingkan sisi permintaan, maka akan tercipta kekurangan. Adapun perang Rusia terhadap Ukraina berperan mendorong lebih dalam kekurangan tersebut. “Pada saat itulah tingkat inflasi akan terdorong naik menjadi lebih tinggi dan cepat,” ucapnya.

Celakanya, lanjut Hatta, tingkat inflasi yang naik tajam bukanlah akhir dari persoalan. Inflasi yang tinggi akan menjadi magnet bagi kebijakan moneter untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan, sehingga akan mendorong gerak lambat dari roda sektor riil yang sebenarnya masih berjalan relatif lambat dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Hatta melihat, bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, kenaikan suku bunga perbankan yang dipicu inflasi di tingkat dunia dan di tengah pandemi yang belum berakhir merupakan buah simalakama yang sangat tidak diinginkan. Kenaikan tinggi dan cepat inflasi di negara-negara maju hanya akan mendorong tingkat suku bunga acuan perbankan menjadi lebih tinggi.

Tapi pada negara berkembang akan menghadapi dua pilihan sangat sulit, apakah akan ikut serta menaikkan suku bunga acuan bank sentral guna menghindari capital flight (dolar lari keluar negeri) yang justru akan mengorbankan sektor riil yang masih berjalan dalam kondisi gontai, ataukah tetap membiarkan suku bunga acuan dalam tingkat landai guna menunjang pergerakan sektor riil namun dengan risiko mengorbankan nilai tukar rupiah dan devisa, yang pada ujungnya juga dapat merusak perekonomian. “Dua buah pilihan yang tidak seharusnya dipilih,” sebutnya.

Hatta menilai, kondisi pandemi yang telah membuat kondisi suplai terganggu, tidak ada solusi lain kecuali kembali menyeimbangkan pasokan dan permintaan sebagaimana awalnya. Adapun persoalan inflasi yang datang dari sektor moneter tidak bisa hanya direspon dengan mekanisme sebagaimana lazimnya di dalam moneter kapitalistik dengan cara menaikkan suku bunga acuan dan kendali modal (capital control). Karena justru menjadi malapetaka bagi sektor riil.

“Adapun kebutuhan permodalan sektor riil dikembalikan kepada mekanisme yang sesuai dengan fitrahnya dunia bisnis yaitu sistem bagi hasil sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Bukan mekanisme pasar modal yang batil, spekulatif dan ribawi,” pungkas Hatta.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: