Tentang Tabungan, Belanja dan Sirkulasi
Oleh: M. Arifin (Tabayyun Center)
Hakikat harta adalah alat untuk tiga tujuan : tabungan (iddikhar), belanja (infaq), dan sirkulasi (tadawul).
Islam telah menetapkan hukum-hukum bagi masing-masingnya yang menjamin harta itu tetap sebagai pelayan manusia untuk dimanfaatkan dan memberikan manfaat kepada orang lain. Bukan sebaliknya, yaitu manusia menjadi hamba dan pelayan harta yang menyebabkan bahaya kepada diri sendiri dan orang lain.
Mengenai hukum tabungan (iddikhar), seseorang diperbolehkan menabung untuk mengumpulkan biaya membangun rumah atau untuk membeli rumah. Atau untuk mengumpulkan biaya naik haji atau untuk suatu keperluan yang memerlukan pengumpulan sebagian harta. Aktivitas tersebut hukumnya boleh, jika ditunaikan zakatnya setelah berlalu satu haul dan telah mencapai nishab zakat. Sedangkan menabung hanya untuk menabung dan menimbun harta serta menghimpunnya saja, hukumnya haram berdasarkan nash al-Quran al-Karim. Firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. at-Tawbah [9]: 34)
Adapun mengenai belanja (infaq), Islam juga telah menentukan hukum-hukumnya. Islam memperbolehkan berbagai arah belanja seperti pemberian harta, sebagai sedekah dan dalam rangka membangun hubungan kekerabatan. Di sisi lain Islam mewajibkan pembelanjaan seperti zakat, belanja seseorang kepada kerabat atau untuk mempersiapkan perang di jalan Allah. Sebaliknya Islam mengharamkan berbagai arah pembelanjaan seperti belanja untuk membeli khamr, untuk berjudi, untuk membeli narkoba, dan lain-lain.
Sedangkan masalah sirkulasi (tadawul), Islam telah mengaturnya melalui dua aspek :
Pertama, Islam menetapkan standar baku untuk mengukur upah dan harga, yaitu apa yang disebut sebagai “uang”. Islam telah membatasi uang itu dengan emas dan perak, bukan yang lain.
Kedua, Islam menjelaskan berbagai muamalah syar’i yang sah, seperti hukum-hukum perseroan (syirkah) dalam Islam, yaitu syirkah ‘inan, syirkah abdan, syirkah mudharabah, syirkah wujûluh, dan syirkah mufawadhah. Islam juga telah menjelaskan hukum-hukum akad sewa dan akad tenaga kerja (ijarah), perdagangan (tijarah), pertanian, mengairi kebun (musaqah), jual beli, pesanan (salam), penukaran uang (ash-sharf), wakalah, dan seterusnya. Sebaliknya Islam telah mengharamkan industri yang menghasilkan barang-barang haram. Islam menetapkan bahwa industri mengikuti hukum barang yang diproduksi. Jika barang yang diproduksi haram maka pendirian pabriknya juga haram. Oleh karena itu, tidak boleh mendirikan pabrik khamr karena khamr hukumnya haram. Islam juga menetapkan, jika barang yang diproduksi itu termasuk kepemilikan umum, maka sektor swasta tidak boleh mendirikan pabriknya, seperti industri pengeboran minyak mentah, industri kilang minyak, industri pertambangan dan pengolahan bahan tambang dari bahan mentah menjadi bahan baku. Pabrik-pabrik (industri-industri) ini dan semacamnya yang mengolah bahan mentah termasuk kepemilikan umum, maka sektor swasta tidak boleh memilikinya. Jadi industri-industri ini masuk dalam kepemilikan umum. Negaralah yang mengelolanya dan mendistribusikan pemasukannya kepada rakyat baik dalam bentuk produknya atau dalam bentuk pelayanan.
Islam mengharamkan berbagai muamalah seperti perseroan-perseroan yang batil yang tidak memenuhi syarat-syarat akad dan syarat-syarat sahnya sebuah perseroan. Contohnya perseroan terbatas (PT), perusahaan penjamin (syirkah ath-thadhamun), dan perusahaan asuransi. Islam juga mengharamkan apa yang dihasilkan dari perseroan batil itu, yakni saham dan sejenisnya. Islam mengharamkan pula perusahaan agunan ribawi seperti perusahaan agunan properti dan kartu kredit yang dikeluarkan oleh bank bagi nasabahnya untuk melakukan pembelian dan mengangsurnya kepada bank dengan bunga ribawi. Demikian pula Islam mengharamkan penipuan dan penimbunan dengan cara menahan suatu komoditi guna melambungkan harganya.
Kemudian dalam sirkulasi, Islam telah mengharamkan jual beli sesuatu yang bukan milik penjual. Islam juga mengharamkan jual beli sebelum terjadi serah terima, seperti yang berlangsung di pasar-pasar modal dan bursa di mana komoditi disirkulasikan, dijual, dan dibeli berkali-kali tanpa serah terima atau tanpa berpindah kepada pemiliknya.
Islam mengharamkan menjual emas dengan perak dan macam-macam valuta dalam bentuk jual beli secara bertempo. Islam menetapkan jual beli itu wajib secara kontan. Islam mengharamkan spekulasi (at-tanajusy), yaitu menaikkan tawaran di dalam suatu komoditi untuk menaikkan harganya di pasar, bukan dengan tujuan perdagangan yang sebenarnya.
Islam telah mengharamkan apa yang berlangsung dalam perusahaan-perusahaan multi nasional (Multi National Corporation – MNC), apa yang terjadi di bursa-bursa dan di pasar-pasar modal, melalui hukum-hukum syara’ yang tegas dan telah dirinci di dalam bab-bab fikih. Di antaranya adalah tiga hukum yang penting :
Pertama, pengharaman jual beli sesuatu yang tidak dimiliki, dan pengharaman sesuatu yang belum diserah-terimakan. Kedua, pengharaman pertukaran yang tidak secara kontan, pada jenis-jenis komoditas ribawi (emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam), yang dipertukarkan tidak dengan sesamanya. Ketiga, pengharaman pertukaran tanpa berlangsung secara kontan, dan tanpa tambahan atau pengurangan dalam hal jumlah, pada jenis-jenis komoditas ribawi, yang dipertukarkan dengan sesamanya.
Begitulah, Islam telah mengharamkan riba baik riba fadhal maupun riba nasi`ah. Maka Islam tidak mengakui bank-bank ribawi. Islam juga tidak mengakui bank-bank yang kini disebut bank syariah yang melakukan transaksi jual beli sesuatu yang tidak dimiliki dan berinvestasi dalam perseroan-perseroan terbatas dan perseroan agunan properti. Yang diakui Islam adalah direktorat di Baitul Mal yang akan memberikan utang dalam bidang perdagangan, industri, dan pertanian dalam bentuk utang tanpa riba.[]