Tentang Keamanan dan Rasa Aman (Pelajaran di Balik Dianiaya-nya Dua Tokoh Islam)

Oleh: Zulhaidir, SH. (Praktisi Hukum)

Hari-hari ini, masyarakat prihatin dan berbelasungkawa atas dianiayanya dua tokoh Islam, yang pertama, dialami pimpinan pesantren, KH. Umar Basri yang harus dilarikan ke rumah sakit dengan luka di bagian kepala. Penganiayaan kedua menimpa Komando Brigade PP Persis, Prawoto hingga meninggal dunia setelah sempat koma.

Kesamaan dari dua kasus ini adalah pelakunya diduga mengalami gangguan jiwa. Fenomena ini telah menyita perhatian publik, sebagian menduga kejadian ini dilatarbelakangi motif politik. Namun yang paling penting, masyarakat berharap pihak penegak hukum berhasil menyingkap dan menyelesaikan fenomena ini seterang-terangnya. dari peristiwa itu, pemerintah dan aparat perlu bersiaga untuk menjaga rasa aman masyarakat.

Terlepas dari dua penganiayaan ini, rasa aman merupakan hal penting bagi kita. Terlebih lagi dalam sistem kapitalis sekuler yang diterapkan saat ini, muncul banyak perilaku kejahatan yang membuat keresahan di masyarakat. Sistem yang tidak berpihak pada masyarakat ditambah lemahnya iman, menumbuhsuburkan keberadaan para pelaku kriminal ini untuk diakui keberadaannya di masyarakat dengan berbagai penampakannya baik itu berupa teror geng motor, geng narkoba, geng elite, dan geng-geng jalanan yang merupakan penyakit sosial yang perlu di berantas agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih luas yaitu rapuhnya generasi masa depan.

Penganiayaan dan pembunuhan dilatarbelakangi berbagai motif. Ada yang karena sakit hati, menghilangkan jejak rampok, hingga alasan politis. Motif ini sesungguhnya menunjukkan kerusakan secara pemikiran-peraturan-perasaan. Secara garis besar ada tiga faktor. Pertama, faktor individu pelakunya. Yakni, sikap dan mentalnya sudah rusak, misalnya tidak takut dosa, meremehkan nyawa manusia, kehilangan kontrol diri,  dan sebagainya. Kedua, faktor kondisi keluarga atau masyarakat. Misalnya ada sengketa rumah tangga, terlilit utang, gagal usaha, dan sebagainya.  Ini bisa mendorong orang nekat membunuh. Ketiga, faktor lemahnya penegakan hukum oleh negara. Misalnya hukum yang bisa direkayasa atau dibeli, atau hukuman ringan yang tidak menimbulkan efek jera.

Kondisi seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut akan mengakibatkan masyarakat semakin rusak. Penghilangan nyawa yang begitu mudah menunjukkan masyarakat dalam titik nadir. Seolah hidup dalam rimba belantara. Orang lain pun merasa tidak aman dan ketar-ketir.

Sebagai penjaga dan pengayom rakyat Negara tidak boleh mengatasi teror dengan teror. Negara tidak boleh berubah menjadi negara militer, negara polisi atau koboi. Karena ini telah menyebabkan bahaya, bukan saja bagi individu, tetapi juga negara itu sendiri. Karena negara telah memposisikan dirinya menjadi musuh rakyat. Ketika rakyat yang menjadi pemilik kekuasaan dan sandaran kekuasaan telah menjadi musuh, maka negara seperti ini hanya tinggal menunggu lonceng kematiannya. Apalagi ketika kejahatan yang semarak itu diduga akan menjadi justifikasi kepentingan elit politik menjelang pilkada.

Sekali lagi, ketidakpastiaan hukum atas segala persoalan belum pula menyelesaikan kasus yang ada. Banyak pula kasus hukum yang bertahun-tahun mengendap. Tanpa tahu rimba kepada siapa hukum ini harus ditegakkan. Sungguh ironis hidup saat ini. Rasa aman terhadap jiwa dan harta sangat minus. Ditambah lagi pihak penguasa belum dapat memberikan keamanan yang layak bagi warganya. Apakah hal itu terus berulang dengan tanpa solusi?

Apakah salah ketika Rakyat menghendaki sistem politik keamanan yang menjamin rasa aman dan ketenteraman bagi Rakyat …. Yaitu Syariat Islam????[]

Share artikel ini: