Tema SBY, Prabowo, Jokowi… Atau Tema Diskusi Baru

Oleh: M. Amin – (Dir. ForPURE)

Menjelang pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden pada 8-14 Agustus 2018, SBY punya dua pilihan. Namun dinamika terkini Partai Demokrat memperlihatkan sikap politik yang makin merapat ke kubu Gerindra. Banyak dugaan SBY mengisyaratkan lebih memilih bergabung ke kubu Prabowo Subianto. Jokowi atau Prabowo, SBY akan pilih siapa? Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menemui Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada 24 Juli 2018. Ringkasnya, hari ini belum ada hasil final untuk berkoalisi di Pilpres 2019.

Memang, suasana politik dirasa hangat, kadang panas, kadang terasa kejam… di tengah Masyarakat secara merasakan beban ekonomi, sebagai dampak dari masalah demokrasi kapitalis hari ini. Partai-partai mengklaim telah mengerahkan segenap daya dan upaya untuk memperbaiki kondisi yang ada. Namun, alih-alih menjadi lebih baik, kondisinya dianggap semakin suram. Masyarakat pun semakin gerah dan pesimis, termasuk para menteri dan mereka yang menjadi elit-elit politik.

Kekecewaan masyarakat mungkin saja terwakili oleh pernyataan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak yang pernah menyebut, mencari partai yang antikorupsi saat ini seperti mencari hantu. Sebab, banyak partai politik yang kadernya terjerat kasus korupsi. “Karena mencari partai antikorupsi itu yang utopis, seperti mencari hantu. Jadi memang ketika bicara parpol anti-korupsi, semua orang, termasuk publik, enggak percaya, seperti mimpi,” kata Dahnil Anzar di Kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Rabu (25/7/2018).

Demokrasi yang digembar-gemborkan selama ini jelas tidak cocok dan tidak kompatibel untuk bangsa dan negara ini. Demokrasi hanya menjadi alat legalisasi penjarahan bagi para konglomerat dan kapitalis asing. Suara rakyat hanya akan diperalat untuk meloloskan agenda-agenda busuk. Masalahnya sesungguhnya bukan hanya terletak pada orangnya, juga bukan hanya pada bidang ekonomi saja. Sesungguhnya akar masalahnya ada pada pondasi sistem yang mengakar di tengah masyarakat, juga terletak pada diri mereka yang disebut sebagai penguasa, intelektual dan para pakar.

Masalah seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir merata di seluruh negeri Islam yang lain, bahkan seluruh negara yang disebut sebagai Dunia Ketiga. Para penguasa di Dunia Ketiga—termasuk di dalamnya negeri-negeri Islam—tidak percaya, baik kepada diri mereka sendiri, para intelektual, maupun pakar-pakar mereka. Mereka hanya percaya kepada para pakar dari Barat dan nasihat-nasihat mereka. Padahal sudah diketahui, Barat bertindak berdasarkan asas manfaat secara individualistik.

Negara-negara Barat juga tidak pernah mempunyai nasihat yang jujur. Sebaliknya, mereka justru menyesatkan siapa saja yang meminta nasihatnya. Tujuannya adalah untuk merampas kekayaan dunia dengan cara-cara yang lunak, jika mereka bisa; jika tidak bisa, mereka pun menggunakan cara-cara berdarah dan destruktif jika memang mengharuskan seperti itu. Persis seperti yang telah dan tengah dilakukan oleh Amerika saat ini di Irak, Afganistan, Somalia, dan Sudan…Terpecahnya wilayah Indonesia juga tidak jauh dari makar mereka. Namun, dengan izin Allah, makar mereka akan kembali membinasakan mereka sendiri.

Berbagai nasihat menyesatkan yang diberikan oleh negara-negara Barat penjajah di bidang ekonomi adalah seperti privatisasi kekayaan yang dikelola oleh negara (BUMN), dan keharusan adanya investasi asing. Umumnya, penjualan kepemilikan negara dan kepemilikan umum itu dilakukan kepada perusahaan-perusahaan asing, karena mereka memiliki modal, sementara rakyat negeri ini sendiri miskin, dan hanya memiliki sedikit modal. Ketika perusahaan-perusahaan asing itu datang untuk menanamkan modalnya di dalam negeri, mereka menuntut dibuatnya berbagai perundangan khusus untuk mereka, yang membebaskan mereka dari pajak, serta membolehkan mereka untuk memasukkan dan mengeluarkan apa saja yang mereka peroleh.

Mereka juga berhak menyelesaikan berbagai sengketa dengan negara tuan rumah, bukan dengan undang-undang negara ini, melainkan dengan undang-undang tersendiri yang telah dibuat, atau dengan menggunakan undang-undang internasional. Negara-negara asing yang menjadi induk perusahaan-perusahaan ini juga bisa melakukan intervensi, jika memang diperlukan, untuk melindungi hak-hak yang menjadi konsesi perusahaan-perusahaan tersebut. Akhirnya, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut benar-benar menguasai perekonomian dunia, dan atas jaminan dari undang-undang perdagangan internasional yang dipaksakan oleh Amerika atas nama globalisasi. Globalisasi inilah yang juga telah membuka peluang negara-negara kaya untuk meningkatkan cengkeraman mereka terhadap negara-negara miskin dan menjadikannya semakin miskin, membebek dan tunduk.

Indonesia adalah negara besar dan kaya. Indonesia mempunyai tangan-tangan terampil yang rajin dan murah. Indonesia juga bisa menjadi pasar konsumen yang bisa digunakan untuk menjual hasil-hasil pertanian, industri dan perdagangannya; tentu jika semuanya itu berjalan mengikuti sistem yang benar serta pemerintahan yang ikhlas dan terbebas dari penyesatan para pakar asing itu. Sayang, pada masa Soeharto, misalnya,Indonesia telah mengikuti berbagai rekomendasi Bank Dunia dan IMF hingga mata uang dan perekonomiannya terperosok.

Namun, semuanya itu tidak membuatnya sadar dan menjadi pelajaran. Mereka yang disebut pakar dan intelektual di Indonesia dan Dunia Ketiga selalu memandang negara-negara Barat sebagai negara yang sukses secara ekonomi. Sebabnya, pendapatan perkapita di sana mencapai 20 atau 30 kali lipat pendapatan perkapita di negara-negara Dunia Ketiga. Karena itu, mereka (para pakar dan intelektual) pun segera mengambil nasihat dan masukan dari negara-negara Barat tersebut. Mereka tidak tahu, bahwa pendapatan tinggi negara-negara Barat, yang paling besar, adalah hasil penjajahan mereka terhadap kita dan perampokan mereka terhadap kekayaan alam kita; juga dari larangan terhadap negeri kita untuk menjadi negara industri agar tetap menjadi pasar bagi produk-produk industri mereka. Mereka mengambil bahan-bahan mentah dari negeri kita dengan harga semurah-murahnya dan menjualnya kembali kepada kita dalam bentuk produk industri dengan harga setinggi-tingginya.

Jadi, kemakmuran ekonomi di Barat bukanlah merupakan bukti atas kesahihan sistem ekonomi mereka, tetapi itu justru mebuktikan perampokan mereka terhadap kekayaan alam kita dan larangan mereka terhadap para penguasa kita untuk membangun industri berat, serta menghalang-halangi negeri kita agar tidak terbebas dari belenggu penjajahan mereka.[]

Share artikel ini: