Telusuri Jual Beli Video Gay Anak, Pengamat Sebut Kemauan Negara Amat Lemah
Mediumat.id – Terkait pihak aparat cybercrime Indonesia yang terkesan kalah dari Kompas.com dalam hal telusur seputar jaringan pornografi penjual konten gay yang melibatkan anak, dinilai karena kemauan negara untuk melakukan itu lemah.
“Masalahnya, kemauan negara untuk melakukan itu amat lemah,” ujar Direktur Siyasah Institute Iwan Januar kepada Mediaumat.id, Sabtu (29/7/2023).
Padahal, sambungnya, sudah menjadi kewajiban suatu negara untuk melindungi rakyatnya secara utuh tanpa kecuali.
Menurut Iwan, pemerintah sebenarnya mampu memburu jaringan penjual konten dimaksud, bahkan lebih jauh, bisa melakukan bersama dengan interpol untuk membongkar sindikat gay internasional ini.
Adalah Kompas.com pada Jumat (28/7) memberitakan telah melakukan penelusuran suatu konten yang diistilahkan sebagai ‘VGK’, singkatan dari Video Gay Kid.
Akun yang memperjualbelikan video gay anak ini, memposting foto anak dan mendeskripsikan mengenai sosok maupun aktivitasnya di sejumlah media sosial, semisal Instagram dan Twitter.
Terlepas nama samaran dari beberapa akun yang mempromosikan VGK, Kompas.com yang menyamar sebagai pembeli, mendapat dua nomor Whatsapp Business dan Telegram yang khusus dipakai untuk transaksi video gay anak.
Bahkan, saat dihubungi, sang admin dari kedua nomor telepon itu langsung menjelaskan daftar harga, dan pembayarannya disediakan melalui dompet digital populer yang banyak digunakan masyarakat Indonesia.
Tak hanya itu, akun dimaksud juga mengirimkan beberapa contoh video gay anak.
Yang lebih mengejutkan, lanjut berita tersebut, setelah melakukan pembayaran, adminnya langsung mengirimkan kurang lebih 900 video gay anak melalui ruang percakapan, dan 1.118 video dari beberapa negara yang bisa ditonton atau juga diunduh.
Maka dari itu, sambung Iwan sekali lagi, harusnya pihak keamanan siber negeri ini tak boleh lemah. Tengoklah sudah berapa kali tampak kebocoran data-data warga seperti dari BPJS, keimigrasian, dsb.
“Ada 33.782 domain go.id yang diretas, ada 8800 IP address yang berhasil diretas, dan 25 ribu lebih diubah tampilannya,” kutip Iwan.
Bahkan menurut data dari NCSI (National Cyber Security Index) di tahun 2022, kutipnya lagi, Indonesia berada pada posisi 83 dari 160 negara perihal keamanan siber. Indonesia mendapatkan skor 38,96 pada indeks keamanan siber dan skor 46,84 pada tingkat pengembangan digital.
Itu belum membahas penanganan kasus kejahatan seksual di dunia maya. “Sampai hari ini bisa dilihat banyak akun-akun di media sosial yang menjajakan pornografi, prostitusi sampai LGBT,” singgung Iwan, masih tentang kelemahan keamanan siber di dunia negeri ini.
Dua Faktor
Karenanya, Iwan memaparkan paling tidak ada dua hal untuk menguatkan sistem keamanan siber. Pertama, untuk bisa mencegah bahkan memburu pelaku kejahatan di dunia maya, diperlukan upaya meningkatkan kecanggihan sistem dan sumber daya manusia.
Kedua, ada kemauan politik yang kuat dari negara untuk melindungi warga dan negara dari kejahatan siber. “Bagian kedua ini yang tampak lemah sekali,” cetusnya, yang berarti negara seperti absen melindungi keamanan warga di dunia maya.
Malah di saat yang sama, kata Iwan menyayangkan, pemerintah lebih aktif memburu ujaran kebencian atau hoaks di media sosial. Itupun dominan berasal dari kubu oposisi atau yang mengkritik pemerintah. “Kalau dari pihak pro pemerintah relatif jarang penindakan hukum,” pungkasnya.[] Zainul Krian