Telaah Nikah Beda Agama, KH Hafidz Abdurrahman: Pelakunya Dinyatakan Berzina

 Telaah Nikah Beda Agama, KH Hafidz Abdurrahman: Pelakunya Dinyatakan Berzina

Mediaumat.id – Menelaah pernikahan beda agama dari sudut pandang Islam, Khadim Ma’had Syaraful Haramain KH Hafidz Abdurrahman, M.A. menegaskan, tidak hanya batil karena melanggar hukum pernikahan tetapi pelakunya pun dinyatakan berzina.

“Pelakunya bukan hanya dianggap melanggar hukum pernikahan, tetapi juga dinyatakan telah melakukan zina,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (22/3/3/2022).

Menurut Kiai Hafidz, begitu sapaan akrabnya, hal demikian penting disampaikan, sebagai upaya mengonter fenomena pernikahan beda agama seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh seorang Muslimah pejabat pemerintahan dengan pria yang diketahui seorang Katolik.

Maknanya, terlepas sebagai staf khusus presiden yang seharusnya mengerti hukum positif telah melarang nikah beda agama, Kiai Hafidz menentang keras pernikahan beda agama itu.

Adalah staf khusus Presiden Jokowi Ayu Kartika Dewi melangsungkan pernikahan beda agama dengan Gerald Sebastian yang akad nikah dan pemberkatannya digelar di Katedral Jakarta pada Jumat (18/3) lalu.

Pernikahan seperti itu, lanjut Kiai Hafidz, seharusnya tidak terjadi lantaran sudah dilarang oleh peraturan negara. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan, bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

Sekalipun, melansir YouTube Ayu Kartika Dewi, tampak mereka melaksanakan dua prosesi pernikahan, yaitu akad nikah secara Islam sesuai dengan keyakinan Ayu dan pernikahan di katedral yang sesuai dengan keyakinan Gerald.

Tetapi lebih dari itu, secara syariat Islam Kiai Hafidz justru menerangkan, apabila pernikahan demikian tidak dibatalkan, si pelaku bisa dijerat dengan pasal zina, dan dikenai sanksi perzinaan.

“Jika sebelumnya mereka belum pernah menikah, maka bisa dijatuhi sanksi jilid (cambuk) seratus kali. Tidak hanya itu, mereka pun harus dipisahkan. Karena, pernikahannya dianggap tidak ada,” jelasnya.

“Jika mereka sebelumnya sudah pernah menikah, maka bisa dijatuhi sanksi rajam (dilempari batu) hingga mati,” tambahnya.

Akad Nikah

Kata Kiai Hafidz, akad nikah bukan akad ijarah. Yakni akad yang hanya untuk mendapatkan jasa (manfaat) dengan kompensasi (‘aqd[un] ‘ala al-manfa’ah bi ‘iwadh[in]). Tetapi akad yang juga untuk memiliki dan memindahkan hak milik atas manfaat tersebut (tamlik al-manafi’) kepada orang lain.

Karena itu, meski sama-sama dilakukan terhadap jasa, tetapi berbeda. “Dalam akad nikah, jasa yang berupa layanan luar dalam suami-isteri hanya boleh dinikmati oleh pasangan, tidak boleh dipindahkan, atau diberikan kepada yang lain,” terangnya.

Sementara akad ijarah, jasa yang menjadi hak musta’jir (pengguna) dari ajr (pemilik) bisa digunakan sendiri, atau diberikan kepada yang lain. Karena itu, masing-masing akad muamalah mempunyai ketegasan hukum yang berbeda.

Tak hanya itu, imbuhnya, dalam akad ijarah seorang Muslim bisa melakukan akad dengan siapa pun untuk mendapatkan jasa tanpa memandang agamanya. Sedangkan jasa yang diperoleh oleh seseorang dari pasangannya dalam akad nikah, diatur sedemikian serta tercakup dari siapa jasa tersebut menjadi halal.

“Termasuk, apakah caranya sah atau tidak? Karena itu, mengapa ‘jasa’ pelacur (menjadi) haram,” tukasnya, sembari mengatakan jasa yang diberikan wanita tuna susila tidak termasuk akad ijarah, tetapi perzinaan yang memang diharamkan.

Dengan begitu, pernikahan yang dilakukan dengan orang yang haram dinikahi (muharramat), ‘jasanya’ pun haram dinikmati. Sehingga Kiai Hafidz kembali menegaskan, bahwa status pernikahan demikian menjadi batil dan bisa dihukumi zina.

Dampaknya apabila perzinaan, karena status pernikahannya tidak sah, itu sampai berlanjut atau bahkan melahirkan anak, maka status nasab anaknya tidak bisa dinisbatkan kepada bapak biologisnya.

Dengan kata lain, bapak biologisnya tidak bisa menjadi wali anak tersebut. “(Pun) konsekuensi waris bagi masing-masing, baik bapak mewarisi anaknya maupun anak mewarisi bapaknya, sama-sama tidak bisa diberlakukan,” lugasnya.

Maka itu, di sinilah peran penting negara khilafah yang kehadirannya, menurut Kiai Hafidz amat diperlukan secara jaminan keakuratan data dari masing-masing mereka dan anaknya. Agar nantinya, hukum Islam bisa diterapkan dengan tepat dan akurat.

Sebutlah ketika anak dimaksud hendak menikah dan membutuhkan seorang wali, sementara bapak biologisnya tidak bisa menjadi walinya. Maka dalam hal demikian, penguasa negara khilafah yang akan bertindak menjadi walinya.

“Ini penting untuk menghindari terjadinya ketidakabsahan akad berikutnya, sehingga bisa menimbulkan terjadinya zina turunan,” tegasnya.

Ada Dua

Sebelumnya Kiai Hafidz juga menjabarkan, Islam telah memilah orang kafir menjadi dua, yaitu musyrik dan ahli kitab sebagaimana diterangkan dalam dalam QS al-Bayyinah ayat pertama, yang artinya,

‘Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata’.

Dengan demikian, ahli kitab adalah penganut Yahudi dan Nasrani, karena sama-sama memperoleh kitab suci dari Allah SWT. Sedangkan musyrik adalah para penganut agama, selain Yahudi dan Nasrani. Di antaranya Hindu, Budha, Konghuchu, penganut aliran kepercayaan, dll. “Istilah musyrik dan ahli kitab merupakan istilah syar’i yang digunakan dengan lafaz dan konotasinya yang khas,” ulasnya.

Meski musyrik dan ahli kitab sama-sama disebut kafir, tetapi ketentuan hukum terhadap keduanya, menurut Kiai Hafidz berbeda. Itu didasarkan pada penegasan Allah SWT yang artinya,

‘Janganlah kamu nikahi wanita musyrik, hingga mereka beriman.. dan janganlah kamu nikahkan orang (pria) musyrik (dengan wanita beriman), hingga mereka beriman’ (QS al-Baqarah: 221).

“Tegas, ayat ini melarang kaum Muslim menikahi wanita musyrik, begitu juga wanita Muslimah menikahi pria musyrik,” singgungnya atas fenomena nikah beda agama yang makin marak akhir-akhir ini.

Namun apabila disandingkan dengan QS al-Maidah ayat kelima yang artinya, ‘Hari ini telah dihalalkan untuk kalian yang baik-baik. Makanan orang yang ahli kitab halal kamu makan. Makanan kamu juga halal untuk mereka makan. Juga wanita Mukmin yang menjaga kesuciannya, serta wanita ahli kitab yang juga menjaga kesuciannya, tidak berbuat zina, dan menjadi wanita simpanan’, menjadi jelas larangan dari QS. Al-Baqarah:221 memang dikhususkan bagi orang kafir musyrik saja, bukan ahli kitab.

Meski begitu, sambung Kiai Hafidz, ayat kelima dari QS al-Maidah tersebut menetapkan tiga syarat, yaitu muhshanat (menjaga kesucian), ghaira musafihat (tidak berbuat zina), dan muttakhidzati akhdan (menjadi simpanan).

Selain kebolehan dengan syarat tersebut, Islam juga menetapkan bahwa agama anak yang lahir dan belum balig, nantinya dinisbatkan kepada agama bapaknya, bukan agama ibunya. “Ketentuan ini sekaligus memberikan jaminan, bahwa kebolehan Muslim menikahi wanita ahli kitab, tidak akan membahayakan agama anaknya. Tentu, dengan catatan, jika istrinya taat,” urai Kiai Hafidz.

Lantas dikarenakan kedua ayat itu termasuk surah madaniah, yakni diturunkan setelah Nabi hijrah ke Madinah, ketentuan di dalamnya sekaligus menghapus praktik yang sebelumnya dipandang boleh.

Pemurtadan

Selain aspek perzinaan, pernikahan seperti itu juga bisa menjadi sarana pemurtadan atas kaum Muslim. Tentang hal ini Kiai Hafidz menukil firman Allah SWT yang artinya, ‘Mereka (orang kafir) itu mengajak ke neraka (termasuk murtad), sementara Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya’ (QS al-Baqarah: 221).

Karena itu, selain sanksi perzinaan yang diberlakukan terhadap pernikahan ilegal tersebut, hadd al-riddah atau hukuman bagi murtadin (orang keluar dari Islam) juga bisa diberlakukan terhadap pasangan yang murtad. “Terkait dengan pernikahan beda agama, ketentuan inilah yang akan diterapkan oleh negara khilafah,” selanya.

Sehingga dengan cara itu, Islam tidak hanya menjaga kehormatan dan kesucian kaum Muslim, tetapi juga mewujudkan hikmah pernikahan yang menjadi dambaan tiap pasangan. “Terwujudnya sakinah (ketenangan jiwa), mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) di antara mereka,” ujarnya.

Dengan cara yang sama pula, Islam juga menjaga jiwa dari ancaman sanksi rajam yang bisa mengantarkan pada kematian. “Sekaligus menyelamatkan mereka dari ancaman pemurtadan, yang berujung pada sanksi pembunuhan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *