Oleh: Prof Dr Ing Fahmi Amhar
Beberapa waktu yang lalu, pesawat tempur Rusia yang konon sedang terbang untuk ikut memerangi ISIS, ditembak jatuh ketika melintasi wilayah udara Turki. Apakah ini tanda-tanda bahwa Turki di bawah Erdogan makin percaya diri? Turki makin dekat untuk kembali menegakkan khilafah yang pernah dipegangnya 5 abad? Beberapa pihak justru khawatir bahwa ini adalah awal Perang Dunia III, di mana Rusia yang mungkin akan dibantu Iran (dan memihak Bashar Assad) melawan Turki yang adalah anggota NATO. Tetapi bisa juga ini hanya sandiwara perebutan jajahan di kawasan.
Andaikata ini terjadi beberapa ratus tahun yang silam, ketika Khilafah Utsmani di puncak kejayaannya, tentu ceritanya akan sangat berbeda. Hingga tahun 1683, saat pasukan Khilafah mengepung benteng Wina, Austria, pasukan itu adalah pasukan paling terlatih yang solid dan terbesar di dunia (300 ribu pasukan). Mereka juga persenjataannya paling modern. Hanya saja saat itu, titah Sultan adalah “kepung Wina sampai menyerah, tidak perlu meneteskan darah”.
Namun karena kelamaan menunggu, sebagian pasukan lalu pulang lebih awal. Tiba-tiba musim dingin datang. Pasukan yang hanya dipersiapkan untuk ekspedisi musim panas itu terkejut. Pada saat yang sama datang bantuan bagi tentara Austria, yaitu tentara dari Jerman, Polandia dan Italia. Akhirnya pasukan Khilafah porak poranda. Lebih dari 70.000 prajurit yang syahid. Banyak meriam yang ditinggalkan begitu saja di medan perang.
Lebih dari 200 tahun, sejak Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel tahun 1453, tentaranya selalu menang. Mereka jadi kurang menyiapkan “Plan-B” bila kalah. Maka kegagalan mengepung Wina itu menjadi titik balik. Khalifah memerintahkan evaluasi total, reorientasi dan perencanaan kontingensi. Tetapi ini lalu dilakukan terlalu lama. Di masa penantian itu, para pemuda akhirnya berhenti berlatih beladiri. Kaum aghniya’ berhenti mengumpulkan sunduq. Dan para ilmuwan berhenti mengembangkan teknologi. Akibatnya, sekitar 100 tahun kemudian, Barat berhasil menyalip keunggulan teknologi militer Utsmani. Maka mulailah zaman penjajahan oleh bangsa-bangsa Barat.
Namun seperti apa kecanggihan teknologi militer Utsmani itu? Teknologi sebenarnya merupakan produk pemikiran. Pada saat pemikiran kolektif suatu bangsa masih maju, maka akan muncul para ilmuwan dan teknolog. Mereka berinovasi. Inovasi ini akan berkelanjutan bila ekonomi berfungsi dan tumbuh. Ketika umat Islam masih memiliki kejelasan misi mereka di dunia, mereka hidup dengan bersemangat menjadi yang terbaik. Karena hanya yang terbaik itu yang mampu menggiring yang makruf dan mencegah yang mungkar. Muncul budaya mencari ilmu dan bekerja keras. Tumbuh ekonomi yang sehat, yang memunculkan para dermawan yang menggalang dana guna membiayai dakwah dan jihad. Inilah secara singkat rangkaian ekonomi penunjang jihad.
Karena itulah berbagai inovasi teknologi militer muncul. Angkatan Darat Utsmani sudah menggunakan meriam. Teknologi bahan peledak sudah ditemukan tahun 1270 M oleh insinyur kimia Hasan al-Rammah yang menulis dalam kitabnya al-Furusiyya wa al-Manasib al-Harbiyya (Buku tentang formasi dan peralatan perang) hampir 70 resep bahan peledak dan pembuatan roket. Torpedo juga ditemukan oleh Hasan al-Rammah yang memberi ilustrasi sistem roket yang meluncur di air. Saat penaklukan Konstantinopel, mereka cepat mengadopsi teknologi meriam yang dikembangkan oleh Urban, seorang insinyur asal Hungaria yang inovasinya justru ditolak di Eropa. Meriam ini mampu melontarkan peluru seberat 680 kg sejauh 2 mil. Inilah senjata “super” saat itu.
Sementara itu angkatan laut Utsmani selain memiliki kapal-kapal yang lebih cepat karena teknologi layarnya, juga disertai para navigator dengan peralatan astrolab yang lebih akurat (untuk menentukan posisi lintang dan bujur dengan mengamati matahari atau bintang) dan peta-peta yang lebih lengkap. Para geografer Utsmani terkenal akan karya peta yang membuat mereka mampu berlayar hingga benua di sebelah barat Atlantik. Peta yang paling terkenal adalah peta Piri Rais.
Peta Piri Rais, ditanggali pada bulan Muharram 919 H (1513 M) dan dipresentasikan untuk Sultan Salim pada 1517 M. Peta ini menunjukkan pantai barat Eropa dan Afrika utara dengan tingkat ketelitian yang masuk akal, hingga pantai Brazil yang saat itu sudah dikenal. Beberapa pulau di Atlantik seperti Azores dan Kepulauan Canary, bahkan pulau mistis Antillia juga dimuat. Yang unik, peta ini menunjukkan sebuah daratan di selatan yang merupakan bukti atau dugaan paling awal atas eksistensi benua Antartika.
Dari semua matra, matra udara muncul paling belakangan. Namun pada tahun 1630-1632, Hezarfen Ahmad Celebi sudah berhasil menyeberangi selat Bosporus di Istanbul. Ahmad melompat dari menara Galata yang tingginya 55 meter dan terbang dengan pesawat layangnya sejauh kira-kira 3 kilometer serta mendarat dengan sempurna. Khilafah Utsmani termasuk negara yang relatif cepat menanggapi teknologi baru. Hanya enam tahun setelah kesuksesan penerbangan pertama bermesin dari Wright bersaudara di Ohio, yakni tahun 1909, Khilafah menjadi salah satu negara pertama di dunia yang memulai penerbangan militer.
Namun kekuatan pemikiran khilafah di masa akhirnya itu sudah jauh merosot. Meski militer dimodernisir, namun para ilmuwan dan teknolog muslim belum benar-benar bangkit. Walhasil, ketika Khilafah Usmani terseret ke Perang Dunia I, mereka baru memiliki 46 pilot, 59 pengamat, 3 balon observasi, 92 pesawat (termasuk 14 pesawat amfibi) dan 21 pesawat latih. Ketika perang berkecamuk, angka-angka ini sempat ditingkatkan dengan menangkap pesawat Inggris.
Dengan tiadanya Negara Khilafah, dunia Islam kini tertinggal jauh dalam teknologi nuklir, kapal selam, drone, satelit pengintai dan teknologi lainnya dalam membela umat Islam. Hanya negara dengan pemimpin Muslim yang tulus, yang setia kepada Islam dan umat Islam dapat memanfaatkan sumber daya kaum muslimin untuk melindungi mereka dan untuk memajukan mereka . Dan itu hanya bisa datang dari pembentukan kembali Negara Khilafah.[]