Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Seperti apa wajah teknologi bila Islam menjadi sumber inspirasi? Sebenarnya ada tiga jenis teknologi.
Pertama adalah teknologi yang merupakan keniscayaan (“jibilliyah”) bahwa peradaban manusia yang semakin berkembang akan menciptakan teknologi untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya adalah teknologi untuk mempermudah manusia mendapatkan air, pangan, energi, pakaian, tempat berteduh, menjaganya supaya tetap sehat, membawanya dari satu tempat ke tempat yang lain, berkomunikasi, dan mempertahankan dari segala ancaman. Teknologi jenis pertama ini aslinya tidak khas, karena bisa muncul di peradaban manapun. Namun Islam menambahkan dengan misalnya untuk pangan adalah pangan yang halalan thayyiban, untuk pakaian adalah yang menutup aurat, untuk alat-alat hankam yang mampu menggentarkan musuh Allah, dsb.
Kedua adalah teknologi yang terkait dengan ibadah, seperti teknologi yang terkait dengan rukun Islam, walaupun umat beragama lain bisa juga memunculkan teknologi yang terkait ibadah mereka, semacam teknologi pembuatan patung, sesaji atau jimat.
Ketiga adalah teknologi karena inspirasi transendental, yang memang sangat spesifik disebut di dalam Alquran. Semisal teknologi terkait jahe karena disebut sebagai minuman di surga, seperti dalam Surat Al-Insaan: Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (TQS 76:17); hingga eksplorasi ruang angkasa, karena semangat ayat Surat Ar-Rahman: Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. (TQS 55:33).
Pada tulisan ini kita akan fokus pada teknologi jenis kedua. Tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai jenis ibadah umat Islam melahirkan berbagai teknologi, yang hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah, mengikuti kaidah ushul fiqih “Maa la yatiimul wajib illa bihi fahuwa waajib” (Apa yang tak bisa dilepaskan untuk memenuhi sesuatu yang wajib, maka hukumnya wajib pula).
Shalat memang bisa dikerjakan di tempat seadanya. Namun shalat Jumat bagi suatu kampung Muslim jelas memerlukan tempat yang khusus, yaitu masjid. Masjid ini memerlukan arah kiblat, maka muncullah teknologi menentukan arah (navigasi). Masjid ini perlu disucikan dari najis, maka muncullah teknologi pembersih. Sebelum shalat orang wajib berwudhu, maka muncullah teknologi untuk mengadakan air bersih yang suci. Untuk memanggil shalat Jumat ada adzan yang perlu pengeras suara, maka muncul teknologi sound system. Jadi untuk satu fardhu ain, diperlukan berbagai fardhu kifayah yaitu pengembangan berbagai teknologi.
Puasa bulan Ramadhan bisa dilakukan dengan bersahaja. Namun untuk Ramadhan yang semarak, bisa muncul berbagai teknologi. Untuk mendapatkan informasi akurat kapan memulai bulan puasa, juga saat fajar dan maghrib, muncullah teknologi teleskop rukyat dengan kamera CCD untuk mendukung rukyatul hilal. Hasil pengamatan yang harus segera disampaikan secepat mungkin ke otoritas yang berwenang memunculkan teknologi komunikasi. Ritme kerja di bulan Ramadhan yang perlu lebih seimbang memunculkan teknologi manajemen aktivitas.
Berikutnya adalah zakat. Kepedulian untuk menghitung zakat dengan benar memunculkan berbagai alat hitung, hingga software akuntansi zakat yang dapat diset menggunakan madzhab fiqih zakat yang mana, termasuk membekali “amil” zakat dengan manajemen pengumpulan, pengelolaan gudang zakat dan distribusi, agar zakat cepat tersalurkan kepada yang berhak dengan tepat. Bayangkan, pada masa Umar bin Khattab saja, zakat yang dikumpulkan dari suatu daerah kecil di Bahrain sudah memenuhi halaman masjid Nabawi. Ini belum zakat dari daerah kaya di Irak atau Mesir.
Kemudian haji. Haji adalah puncak pertaruhan berbagai teknologi Islam. Namun yang paling dominan adalah transportasi. Aliran calon haji yang amat besar ke satu titik di Makkah dan sekitarnya harus diantisipasi dengan ketersediaan alat dan prasarana transportasi yang memadai. Dulu di awal era kereta api, Daulah Utsmani sampai membangun jaringan kereta api Hijaz yang membentang dari Istanbul melewati Yerusalem hingga Madinah dan Makkah. Selain transportasi juga bagaimana mengurus logistik (makanan, hewan kurban), laundry, menjaga udara di lokasi tetap nyaman, hingga pengolahan limbah dan sampah dari jutaan manusia itu.
Sifat dunia Islam yang tidak nasionalistis tetapi kosmopolit juga membuat berbagai teknologi tadi berpeluang berkembang sangat pesat. Bahkan untuk makanan, terjadi pertukaran resep kuliner dari seluruh dunia Islam, yang di masa lampau terjadi pada saat mereka bertemu dalam ibadah haji, dan kemudian berakulturasi dengan kearifan lokal dari daerah asal masing-masing.[]
View Comments (0)