Tegas, Kesepakatan Negara yang Selisihi Allah dan Rasul-Nya Otomatis Batal

Mediaumat.id – Dari sudut pandang Islam, hukum boleh atau tidaknya membuat serta mengubah kesepakatan dalam lingkup negara, Guru M. Taufik Nusa Tajau, S.Pd., M.Si. menegaskan begini.

“Kalau dia (kesepakatan) itu menyelisihi Allah dan Rasul-Nya itu pertanyaannya bukan boleh diubah atau tidak, tetapi itu otomatis batal,” ujarnya dalam Kajian Afkar Islam: Kesepakatan Negara, Bolehkah Diubah? Sabtu ((04/12/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

Memang secara umum, lanjut Taufik, sebuah kesepakatan atau perjanjian dalam fikih Islam pada dasarnya tidak boleh dibatalkan. Namun dengan catatan, apabila kesepakatan dimaksud dibenarkan secara syar’i.

Hal itu ia katakan sebagaimana telah Allah SWT firmankan di dalam QS. at-Taubah ayat 7 yang artinya, ‘Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka’.

Kalaupun muncul kekhawatiran terjadinya pengkhianatan dari mu’ahid atau pihak yang melakukan perjanjian dengan kaum Muslimin, maka kita juga diperintah Syara’ mengembalikan kesepakatan kepada mereka secara jujur. “Enggak boleh dibatalin. Dalam artian enggak dibatalin, tiba-tiba diserang. Enggak boleh begitu,” terangnya.

Bahkan secara detail, kata Taufik, di dalam kitab Mafatih al-Gaib terkait pembatalan kesepakatan, Imam al-Razi telah menjelaskan ada dua kondisi yang membolehkan. Pertama, munculnya perkiraan kemungkinan mereka (mu’ahid) melanggar kesepakatan. Dan yang kedua, sudah ada kepastian mereka telah melanggar.

Untuk kondisi yang pertama, sebagaimana kisah di era Rasullullah, Taufik mencontohkan, ketika Yahudi Bani Quraizah yang sebelumnya memiliki kesepakatan damai dengan Rasulullah SAW di Madinah, telah menerima Abu Sufyan, pemimpin pasukan musuh dengan menyuruh menyerang kaum Muslimin dari belakang pada saat Perang Ahzab.

“Dalam kondisi begini kan masih belum secara riil mereka itu menyerang. Tetapi ada tanda-tandanya. Yakni mereka itu ada menerima Abu Sufyan. Ada kesepakatan dengan mereka pembicaraan untuk menyerang kaum Muslimin,” tutur Taufik.

“Sehingga waktu kejadian ini, Rasullullah mengembalikan perjanjian itu, membatalkan perjanjian,” tambahnya.

Lantas untuk kondisi yang kedua, ketika terjadi pelanggaran kesepakatan secara pasti. “Tidak perlu diumumkan, (seketika) perjanjian batal. Karena mereka sudah melanggar,” tandas Taufik seperti halnya faktor terjadinya Fathu (pembebasan) Makkah.

Lebih jauh ia menjelaskan, sebelum genap 10 tahun tempo kesepakatan gencatan senjata (Hudaibiyah), kabilah Bani Bakr, sekutu kafir Quraisy Makkah, melakukan penyerangan ke Kabilah Khuza’ah yang merupakan sekutu kaum Muslimin, sehingga terjadilah pembebasan tersebut.

Demi Hukum Syariat

Kini, hukum terkait kesepakatan tersebut, Taufik memandang, sebetulnya juga berlaku antar individu, pergerakan, partai, ataupun tokoh-tokoh bangsa yang melakukan perjanjian serupa, yang seperti dijelaskan apabila sudah diingkari atau diubah-ubah maka batal demi hukum syariat.

Semisal, di saat awal-awal kemerdekaan sebuah negara dengan para tokohnya yang juga bersepakat ingin menjalankan syariat Islam, maka menurut Taufik, kesepakatan itu wajib dilakukan.

Meskipun kemudian, ia menyayangkan klausul ‘bagi pemeluk-pemeluknya’ yang tercantum di dalam kesepakatan tersebut. “Syariat Islam itu bukan hanya bagi pemeluk-pemeluknya, tetapi bagi seluruh rakyat dengan nanti pengecualian untuk non-muslim,” jelasnya.

“Misalnya mereka ini, ini sama akidah, ibadah, makanan, pakaian, nikah dan hukum-hukum privat mereka itu diatur sesuai agama mereka,” pungkasnya. []Zainul Krian

Share artikel ini: