TEFI: Proyek Bandara Dhoho Kediri Perlebar Kesenjangan Ekonomi

 TEFI: Proyek Bandara Dhoho Kediri Perlebar Kesenjangan Ekonomi

Mediaumat.info – Dampak pembangunan infrastruktur yang terjadi selama ini, termasuk proyek Bandara Dhoho Kediri, Jawa Timur, dinilai Direktur The Economic Future Institute (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo, justru makin memperlebar jurang kesenjangan ekonomi masyarakat.

“Ini justru makin memperlebar kesenjangan ekonomi,” ujarnya dalam Kabar Petang: Bandara Internasional Dhoho Dibangun Tanpa APBN, Untungkan Masyarakat? di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (21/12/2023).

Artinya, pihak yang kaya makin kaya, masyarakat miskin bertambah miskin. Pasalnya, tidak semua rakyat bisa mengakses manfaat dari bandara ini. “Hanya beberapa kalangan saja yang bisa, elitenya (orang mampu) saja,” sambungnya.

Terlebih, seperti diberitakan sebelumnya, pembiayaan pembangunan Bandara Dhoho di Kediri itu murni dari swasta atau tanpa APBN.

“Jadi ingat pembangunan proyek Kereta Api Cepat Indonesia Cina, yang KCIC itu, terus kita juga ingat (proyek) IKN yang bahkan sampai sekarang diselimuti kabut yang tidak kunjung jelas,” ucapnya, tentang proyek yang diduga akan banyak menguntungkan swasta.

Alhasil, ia pun khawatir proyek ini bakal menyalahi tujuan dari pembangunan proyek strategis nasional (PSN) sendiri, yaitu menyejahterakan rakyat secara umum.

Sehingga pula, seluruh pembangunan proyek termasuk Bandara Dhoho, menurut Yuana harus dievaluasi, bukan malah diapresiasi.

“Menurut saya bukan diapresiasi tapi harus dievaluasi,” cetusnya, dikarenakan kebermanfaatan untuk rakyat sangat kurang kecuali pada konglomerat dari PT Gudang Garam sebagai investornya.

Kapitalisme

Kata Yuana, falsafah pembangunan di negeri ini memang mengacu pada kapitalisme. Artinya, hubungan antara negara dan rakyatnya adalah bisnis.

Lebih jauh, tambahnya, pihak manajemen bandara bakal cenderung melakukan efisiensi biaya mengalahkan kepuasan para pengguna.

Belum lagi potensi ketimpangan pembangunan regional. “Swasta pengelola bandara tentu akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang potensi ekonominya lebih besar, dan meninggalkan daerah-daerah dengan potensi ekonomi lebih kecil,” ulasnya.

Celakanya, apabila didapati suatu problem yang lebih besar nantinya, langsung tinggal glanggang atau ditinggal pergi. “Ini pembangunan ya kapitalisme memang begitu,” tandasnya.

Maksudnya kalau disebut bakal menguntungkan rakyat secara umum, kata Yuana sekali lagi, jauh panggang dari api. “Justru yang ada itu menguntungkan investor dan oligarki,” sebutnya.

Untuk dipahami, sebagai negeri zamrud khatulistiwa berikut ungkapan tongkat, batu dan kayu bisa jadi tanaman, negeri ini sesungguhnya sarat dengan kekayaan alam.

Sebutlah salah satunya sumber daya alam batu bara yang menjadikan Indonesia termasuk negara terbesar kelima pengekspor emas hitam tersebut.

Tetapi disebabkan menggunakan tata kelola secara kapitalisme, penguasaannya pun beralih dari yang semestinya oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran/kesejahteraan rakyat, ke swasta yang notabene orientasinya profit sebanyak-banyaknya.

“Swasta pasti berharap mendapatkan keuntungan yang banyak,” lontar Yuana.

Patut Diteladani

Untuk itu Yuana pun menyebutkan beberapa contoh kepemimpinan Islam di era kekhilafahan yang patut diteladani para penguasa saat ini. Di antaranya, Khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz.

“Harusnya para penguasa ini bisa belajar dari Umar bin Khattab,” ungkapnya, berikut sistem pendistribusian kebutuhan air kala itu yang sebelumnya para penduduk harus mengambil air dari sumur-sumur yang jauh sekadar untuk kebutuhan sehari-hari mereka.

“Contoh lain misalnya terkait penggunaan dana negara, keuangan publik itu ada contoh bagus Khalifah Umar bin Abdul Aziz,” sambungnya, seraya mengulas kebijaksanaan sang khalifah dalam pembangunan fasilitas umum yang juga bermanfaat bagi masyarakat luas.

Karenanya, para pemimpin di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia, harus banyak belajar kepada pemimpin-pemimpin di era pemerintahan Islam dalam hal ini, khilafah islamiah.

Dengan kata lain, apabila mengaku sebagai mukmin, wajib hukumnya mengganti sistem ekonomi kapitalisme dengan Islam.

“Hukumnya wajib mengganti sistem ekonomi kapitalisme dengan sistem ekonomi Islam secara kaffah sebagaimana firman Allah ‘udkhulu fissilmi kaaffah,” pungkasnya, menyinggung QS al-Baqarah ayat 208 yang artinya ‘masuklah kalian ke dalam Islam secara totalitas’.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *