Tarif Listrik 3500 VA Naik, Dampak Liberalisasi SDA

Mediaumat.id – Rencana penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan 3.500 VA ke atas dinilai sebagai dampak liberalisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA).

“Inilah dampak langsung dari liberalisasi pengelolaan sumber daya alam,” ujar Ekonom Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta kepada Mediaumat.id, Sabtu (18/6/2022).

“Kemudian menyebabkan sumber-sumber energi dikuasai oleh pihak swasta asing maupun domestik,” sambungnya.

Sebagaimana diinformasikan, PT PLN (Persero) siap melaksanakan keputusan pemerintah yang menyesuaikan tarif tenaga listrik kepada pelanggan rumah tangga mampu nonsubsidi golongan 3.500 Volt Ampere (VA) ke atas (R2 dan R3) dan golongan pemerintah (P1, P2 dan P3) mulai 1 Juli 2022.

Lebih lanjut Hatta mengatakan, meski seperti diketahui pula pemerintah dalam hal ini PLN mengatakan tetap melindungi rakyat kecil, kebijakan itu sebenarnya masuk ke lingkup kerangka ekonomi kapitalistik.

Artinya pengelolaan sumber daya, baik menaikkan atau menurunkan tarif dan bauran konsumsi energi untuk pembangkit listrik, memiliki pilihan relatif terbatas.

Tentunya, kata Hatta, hal itu akan sangat bergantung kepada seberapa kuat masyarakat membayar apabila menggunakan harga pasar, dan seberapa kuat pula anggaran subsidi yang disiapkan oleh pemerintah jika harga jual di bawah harga (biaya) pokok penyediaan.

Terlebih anggaran subsidi sendiri, menurutnya, masih sangat bergantung kepada kondisi APBN yang 70 hingga 80 persennya mengandalkan pajak.

Sedangkan sebagaimana dipahami, pajak berikut varian dan bentuknya yang semakin beragam, hanya akan menambah beban bagi roda ekonomi masyarakat.

Artinya lagi, dari sisi bauran konsumsi energi dalam kerangka ekonomi kapitalistik yang ia maksud, belum menyentuh akar persoalan hingga mampu memberikan harga jual yang relatif lebih murah.

“Tahun 2021 meskipun 60 persen lebih (tahun 2016 masih 50 persen), jenis energi yang dipakai oleh PLN adalah batu bara. Namun harga batu bara yang tersedia di pasar domestik tetap saja menggunakan harga acuan internasional,” ucapnya terkait salah satu akar persoalan yang ia maksud.

Padahal, katanya prihatin, batu bara dimaksud berasal dari dalam negeri sendiri.

Terlebih lagi, tarif listrik saat ini sudah diserahkan kepada mekanisme pasar, sebagaimana tertuang di dalam Permen ESDM No. 3/2020.

“Artinya akan dilakukan penyesuaian tarif dalam rentang waktu tiga bulan mengikuti perkembangan nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia, tingkat inflasi dan harga patokan batu bara,” bebernya, termasuk batas daya (BD) 3500 VA tersebut.

Yang lebih memprihatinkan, BD 900 VA pun tak luput turut dari ketentuan itu. Meski, tambahnya, diberi tambahan kalimat untuk rumah tangga mampu (RTM).

Oleh karena itu, ia mengatakan, kebijakan menaikkan tarif listrik 3500 VA ke atas merupakan kebijakan paling logis untuk saat ini. “Kebijakan itu tegak di atas argumen bahwa yang berhak mendapatkan subsidi hanya orang miskin,” tandasnya.

Padahal, menurutnya, banyak usaha indekos atau asrama yang notabenenya ditempati oleh mahasiswa misalnya, menggunakan golongan tarif tersebut.

Di sisi lain, apabila dikaitkan dengan istilah subsidi, ia melihat, justru pemerintah mendapatkan penghasilan lebih besar dibandingkan dengan bantuan yang dikeluarkan tersebut.

“Apa yang selama ini disebut oleh pemerintah dengan subsidi, ternyata justru pemerintah mendapatkan penghasilan dari yang disebut disubsidi. Bahkan dengan nilai penghasilan yang lebih besar,” ungkap Hatta.

Pasalnya, melihat besaran total subsidi (energi dan nonenergi) yang ditanggung dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan dengan kontribusi Pertamina, tampak bahwa besaran subsidi pemerintah masih lebih kecil.

“Pada tahun 2021 misalnya, outlook total subsidi pemerintah hanya di angka Rp248.6 triliun. Adapun kontribusi Pertamina kepada pemerintah lebih besar mencapai Rp265 triliun, dalam bentuk pajak dan nonpajak, dividen, hingga minyak mentah dan kondensat bagian negara,” urainya.

Belum Berkeadilan

Sehingga apa pun argumennya, kebijakan menaikkan tarif tersebut tetap belum berkeadilan. Sebabnya, struktur tarif listrik yang ada sekarang terbentuk dari penggunaan energi yang dihasilkan dari SDA yang sejatinya adalah milik masyarakat.

Sehingga ungkapnya, jangankan naik, harga sekarang pun sebelum dinaikkan sudah merugikan masyarakat.

Lebih jauh di tahun 2021 saja, ulas Hatta, komponen terbesar dari beban usaha (operating expense) PLN adalah beban pembelian listrik kepada pihak swasta (independent power plant/ IPP) yang mencapai US2,52 dari total US6,79 per kWh-nya.

“Artinya, beban terbesar per kWh harga setrum listrik datang dari pembelian kepada pihak swasta yang mencapai 37 persen dari total beban usaha,” tuturnya.

Tak ayal, dikarenakan sudah masuk dalam harga pasar, ia memperkirakan golongan tarif selain 3500 VA sangat dimungkinkan bakal ikut dinaikkan pula.

“Hanya soal waktu saja,” timpalnya, sembari menambahkan, meski terdapat pengecualian bagi BD 450 VA dan 900 VA non-RTM.

Bisa Lebih Murah

Namun demikian, ia mengatakan, harga listrik bisa menjadi lebih murah apabila pembangkit listrik yang digunakan menggunakan energi yang dikelola oleh negara secara langsung.

Perlu diketahui, golongan tarif dengan BD selain 3500 VA (kecuali 450 VA dan 900 VA non- RTM) memang sudah masuk dalam harga pasar. Artinya, pemerintah tidak memberikan subsidi lagi.

“Hanya saja belum disesuaikan berdasarkan kenaikan biaya pokok penyediaan terbaru saat ini,” jelasnya.

Sebagai gambaran, kata Hatta, sepanjang tahun 2021 biaya pemakaian untuk R-1 900 VA RTM berada di harga Rp1.352. Harga tersebut menurutnya, berada di atas operating expenses di tahun 2021 senilai US6,79/kwh. “Dengan kurs Rp14.300, harganya tidak lebih dari Rp971,” sambungnya.

Atas dasar itulah, Hatta memandang energi listrik yang notabene dihasilkan dari SDA semisal batubara dan migas tidak boleh ada satupun pihak yang menguasainya, baik swasta domestik maupun asing.

Malah sebagai agama yang paripurna, Islam berikut ketentuan-ketentuan di dalamnya, mengajarkan bahwa SDA tersebut merupakan kepemilikan umum atau masyarakat secara bersama. Adapun negara, Hatta menegaskan, sekadar bertugas mewakili masyarakat untuk mengelolanya.

Oleh sebab itu, seluruh SDA tersebut tidak boleh diperuntukkan kepada selain kepentingan rakyat atau setidaknya dijual dengan harga yang murah, bukan dengan harga yang justru memberatkan rakyat. “Dengan konsep yang demikian, tersedianya energi listrik yang murah bahkan melimpah akan menjadi keniscayaan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: