Tantangan Dakwah Nabi SAW

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Setelah Nabi SAW dan para sahabat melakukan aktivitas tafa’ul tam, yang ditandai thawaf Nabi SAW dan para sahabat mengelilingi Ka’bah, setelah masuk Islamnya orang-orang kuat di kalangan kafir Quraisy, seperti Hamzah bin ‘Abdul Muthallib dan ‘Umar bin al-Khatthab. Diikuti dengan aktivitas shira’ fikri [perang pemikiran], kifah siyasi [perlawanan politik], tabanni mashalih ummat [mengadopsi kemaslahatan umat] dan kasyf al-khuthath [membongkar makar jahat].

Maka, kaum kafir Quraisy memahami benar, bahwa dakwah Nabi Muhammad SAW adalah dakwah pemikiran, yang ingin mengubah pemikiran mereka yang salah. Tapi, mereka juga sadar, bahwa dakwah Nabi SAW juga merupakan dakwah politik, yang akan bisa mengubah pandangan hidup, sikap dan peradaban mereka. Mereka paham, jika ini berhasil, maka kaum mereka akan meninggalkan mereka, dan mengikuti Nabi Muhammad SAW dengan Islam yang diembannya.

Karena itu, mereka mulai menyusun rencana untuk membendung pengaruh dakwah Nabi SAW Mula-mula mereka lawan dengan pemikiran, dengan menyerang ajaran Islam, yang mereka sebut sebagai “pemecah belah” kaumnya. Nabi SAW mereka sebut sebagai “tukang sihir”, “pembohong” [QS Shad: 4], “majnun” [QS at-Thur: 29] dan “pemimpi” yang menyampaikan dongeng orang-orang dulu [asathir awwalin] [QS al-Muthaffifin: 13]. Namun, serangan secara pemikiran ini tidak bisa mengalahkan Islam, dan para pengembannya.

Mereka pun mulai menggunakan cara kedua, menganiaya Nabi SAW dan para pengemban dakwah. Bilal bin Rabah ra, yang ketika itu masih berstatus budak, ditindih dengan batu, dijemur di bawah terik matahari Makkah yang luar biasa panasnya. Keluarga ‘Amar bin Yasir, mulai dari Yasir, Sumayyah dan ‘Amar, disiksa dengan penyiksaan yang luar biasa. ‘Amar bin Yasir pun akhirnya terpaksa menyatakan ucapan yang mengikuti kehendak mereka, meski bertolak belakang dengan keyakinannya.

Peristiwa ini pun diabadikan dalam Alquran, Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” [QS an-Nahl: 106]. Setelah peristiwa itu, ‘Amar menghadap Nabi SAW, menceritakan apa yang dialami, dan dilakukannya, dengan nada bersalah. Tetapi, Nabi SAW menyatakan, “Jika mereka memintamu untuk mengulanginya lagi, maka ulangilah!”

Bahkan, ibunda ‘Amar, yaitu Sumayyah, disiksa dengan sangat biadab hingga gugur, sebagai syahidah pertama. Nabi SAW sempat menemuinya, seraya menyatakan, “Wahai keluarga Yasir, bersabarlah. Sesungguhnya janji Allah untuk kalian adalah surga.” Sumayyah yang telah mengerang kesakitan itu pun menjawab dengan penuh keyakinan, “Sungguh, surga itu telah tampak di depan mataku, wahai Rasulullah.”  Begitulah para sahabat Nabi SAW mengalami penyiksaan demi penyiksaan yang luar biasa, tetapi mereka tetap bersabar.

Tak hanya mereka yang mengalami penyiksaan, Nabi SAW juga sama. Adalah ‘Uqbah bin Abi Mu’aith, orang kafir Quraisy yang begitu membenci Rasulullah SAW Ketika Nabi SAW sedang berada di dekat Ka’bah, baginda SAW dipukul tengkuknya oleh ‘Uqbah hingga pingsan. Tak hanya sampai di situ, setelah pingsan pun, baginda SAW masih disiram dengan pasir. Semua itu disaksikan oleh putri baginda SAW yang masih belia, Fatimah radhiya-Llahu ‘anha. Fatimah pun menangis, saat melihat ayahandanya yang mulia itu diperlakukan begitu rupa.

Namun, semuanya itu tidak bisa menghentikan dakwah Nabi SAW dan para sahabat. Pada saat yang sama, sebagai seorang pemimpin yang bijak, Nabi SAW tidak ingin membiarkan para sahabatnya terus-menerus menghadapi ujian keimanan yang begitu rupa. Nabi SAW pun titahkan mereka untuk mencari perlindungan dakwah ke luar. Mereka berangkat ke Habasyah [Ethiopia], Afrika, untuk mendapatkan perlindungan dari Raja Najasyi.

Ternyata, kaum kafir Quraisy pun tidak membiarkan mereka begitu saja. Mereka pun mengirim ‘Amru bin al-‘Ash untuk menemui Raja Najasyi, agar tidak menerima kaum Muslim, dan mendeportasi mereka. Untuk meyakinkan Raja Najasyi, maka ‘Amru bin al-‘Ash pun menyampaikan fitnah dan tuduhan terhadap mereka, sebagaimana yang mereka tuduhkan kepada Nabi SAW dan risalahnya sebelumnya. Tetapi, akhirnya Allah SWT merontokkan tuduhan mereka. ‘Amru bin al-‘Ash pun kembali ke Makkah dengan tangan hampa.

Gagal dengan upayanya di luar negeri, dan upaya penyiksaan yang mereka lakukan di Makkah, kaum kafir Quraisy pun menggunakan langkah berikutnya, dengan harapan bisa mengisolasi Nabi SAW, para sahabat dan dakwahnya, agar tidak mendapatkan dukungan dari kaumnya. Dengan zalim, mereka melakukan pemboikotan kepada Nabi SAW, para sahabat, Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muthallib. Mereka diboikot di lembah Abu Thalib selama tiga tahun. Tanpa akses makanan, pakaian, diisolasi sehingga tidak boleh berinteraksi dengan suku dan kabilah lain. Tetapi, ternyata semua upaya zalim ini tidak mampu merontokkan dukungan Bani Hasyim dan ‘Abdul Muthallib terhadap dakwah Nabi SAW.

Justru sebaliknya, karena peristiwa ini, Nabi SAW, para sahabat dan dakwahnya mendapatkan simpati dan dukungan yang meluas. Di antara kaum kafir Quraisy pun ada yang dengan sembunyi-sembunyi mengirimkan logistik kepada Nabi, para sahabat, Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muthallib yang sedang diboikot. Para pemuda, yang dipimpin oleh Muth’im bin ‘Adi, kemudian merasa iba, setelah menyaksikan penderitaan yang dialami oleh Nabi, para sahabat, juga Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muthallib yang diboikot. Karena minimnya akses makanan, dan lain-lain, sehingga ada yang harus merebus tulang, makan daun atau rerumputan. Itulah yang mendorong mereka untuk merobek dokumen pemboikotan yang ditempelkan di Ka’bah, yang ternyata hampir habis, karena dimakan rayap.

Pendek kata, sejak saat itu, kaum Muslim pun bebas dari pemboikotan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap mereka. Namun, tidak berarti derita Nabi SAW pun berakhir. Karena setelah itu, Allah SWT memanggil orang-orang yang selama melindungi dakwah Nabi SAW Khadijah radhiya-Llahu ‘anha dipanggil menghadap Allah, setelah menemani dakwah Nabi selama 15 tahun, dan setelah 25 tahun menjadi istri baginda SAW. Belum pulih kesedihannya, Allah memanggil paman Nabi SAW Abu Thalib, yang sebelumnya telah memberikan perlindungan kepada Nabi SAW.

Karena itu, setelah lepas dari pemboikotan, khususnya setelah wafatnya Khadijah bin Khuwailid radhiya-Llahu ‘anha, dan Abu Thalib, ujian dakwah tak kunjung reda. Malah, nyaris semakin meningkat, karena orang yang selama ini melindungi dakwah Nabi SAW telah tiada. Maka, setelah berbagai upaya untuk menghentikan dakwah ini gagal, pada saat yang sama, Nabi SAW dianggap tidak lagi mempunyai pelindung yang mereka hormati, maka mereka mulai frustasi. Pada saat itulah, muncul ide dan rencana untuk menghabisi nyawa Nabi Muhammad SAW.

Begitulah, ujian, hambatan dan tantangan dakwah yang dihadapi oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Wallahu a’lam.[]

Share artikel ini: