Mediaumat.id- Menanggapi banyaknya pengajuan dispensasi kawin sebab hamil di luar nikah, Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan, jumlah kasus itu tidak akan berkurang signifikan sebelum sanksi pidana syariah diterapkan.
“Kasus itu mungkin berkurang sedikit karena sanksi sosial, kritikan, kecaman. Tapi ketika pidana syariah itu tidak diterapkan, tidak ada unsur jera atau takut bagi orang lain untuk melakukan yang sama,” ujarnya dalam Kajian Fikih: Ini Ternyata Hukum Islam Bila Hamil karena Zina, Jumat (27/1/2023) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Dengan kata lain, apabila umat Islam menjalankan syariat Islam secara sepotong-sepotong, kasus dimaksud tak akan hilang, bahkan terus berulang. “Kalau ada perempuan yang hamil di luar nikah terus (hanya) dinikahkan,” misalnya, menyinggung pemberian dispensasi kawin/nikah sebagai jalan keluar selama ini.
Padahal menurutnya, terdapat prosedur sanksi pidana Islam atau sanksi syariah berupa hukuman cambuk dan pengasingan bagi wanita yang hamil karena zina. “Setelah melahirkan, dicambuk dia supaya tidak berulang pada dirinya sendiri maupun juga masyarakat bisa mengambil pelajaran,” terangnya.
Meski, sebagaimana pendapat dari ulama Mazhab Syafi’i, pasangan dengan kasus hamil di luar nikah sah untuk dinikahkan, kata Kiai Shiddiq, proses hukum pidananya harus tetap berjalan.
Kegagalan Sistem Sekuler
Itulah mengapa di dalam sistem sekuler, bermacam kekacauan kerap terjadi,” Hanya sepotong hukum nikah (dispensasi), tapi hukum pidananya enggak diambil dari syariah. Kacau akhirnya kan,” tandasnya.
Karena itu, dispensasi kawin dengan sebab hamil di luar nikah tidak bisa hanya dibaca sesuai pengertiannya, yaitu pemberian izin khusus atas permohonan kepada Pengadilan Agama untuk menikahkan anak yang umurnya di bawah 19 tahun.
Setidaknya, kata Kiai Shiddiq, kasus ini harus dibaca sebagai kegagalan sistem sekuler yang antisyariah saat ini, yang untuk mengatasi maraknya perzinaan dan kehamilan di luar nikah, hanya diberi solusi parsial naif, yaitu dispensasi nikah.
“Alih-alih menimbulkan efek jera, sebaliknya solusi itu patut diduga menjadi semacam ‘motivasi’ atau ‘fasilitas’ bagi remaja untuk tidak takut berzina, karena remaja bisa salah tangkap bahwa, ‘kalau zina dan hamil, toh sanksinya malah disuruh nikah’,” ulas Kiai Shiddiq.
Ini berarti, jika syariah Islam diterapkan secara menyeluruh, seperti halnya firman Allah SWT di dalam QS al-Baqarah ayat 208, tentang perintah masuk Islam secara kaffah, maraknya perzinaan dan kehamilan di luar nikah tentu tidak hanya diberi solusi dispensasi nikah, melainkan juga akan diberi solusi syariah secara lengkap.
Di antaranya, menjalankan ketentuan syariah Islam untuk pencegahan zina, baik yang berupa berbagai kewajiban syariah, misalnya kewajiban berbusana Muslimah sempurna, maupun yang berupa berbagai larangan syariah, misalnya larangan pacaran, khalwat (bersunyi-sunyian dengan lawan jenis bukan mahram) dan ikhtilath (campur baur pria wanita).
Selanjutnya, menjalankan penindakan terhadap zina dengan sanksi pidana syariah (al-’uqubat al-shar’iyyah) kepada wanita yang hamil karena zina, termasuk juga kepada laki-laki yang menghamilinya. “Mungkin akan muncul pertanyaan, lalu apa sanksi pidana syariah untuk perempuan yang hamil karena zina?” lontarnya.
Jawabannya, kata Kiai Shiddiq lebih lanjut, jika perempuan yang hamil karena zina itu perempuan yang lajang (ghairu muhsan) maka ketentuan syariahnya ada empat.
Pertama, diberi penundaan (ta’khīr) untuk pelaksanaan hukuman cambuknya hingga dia melahirkan. Kedua, diberi penundaan berikutnya setelah melahirkan, hingga selesai masa nifasnya.
Ketiga, setelah melahirkan berikut masa nifasnya, barulah dilaksanakan hukuman cambuk (al-jald) sebanyak 100 kali cambukan, sebagaimana ketentuan Allah SWT di dalam QS An-Nur: 2.
Keempat, setelah dicambuk, qadhi (hakim syariah) dibolehkan secara syariah menambah hukuman pengasingan (al-taghrīb) selama satu tahun hijriah di tempat yang jauh.
“Jika qadhi menambah hukuman wanita pezina dengan pengasingan, setelah dia melahirkan dan menyelesaikan nifasnya, dan setelah dia dijatuhi hukuman cambuk, disyaratkan dia wajib ditemani oleh mahramnya, atau suaminya,” jelas Kiai Shiddiq menekankan.
Terakhir, Kiai Shiddiq memberikan catatan penting, bahwa pidana syariah yang telah ia paparkan tadi, hanya boleh dijalankan oleh Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah, bukan yang lain.
“Umat Islam telah sepakat bahwa tidak berhak perorangan rakyat menegakkan sanksi pidana syariah bagi para pelaku kejahatan. Sebaliknya mereka sepakat bahwa tidak boleh menegakkan hudud atas orang merdeka pelaku kejahatan, kecuali Imam (Khalifah) saja,” tegasnya, mengutip perkataan Imam Fakhruddin al-Razi di dalam kitab Mafatihul Ghaib, Juz 11, hlm. 356.[] Zainul Krian