Dengan dalih tidak dapat membuat norma baru, MK berlepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya urusan ini ke DPR dan Presiden.
Prof Euis Sunarti tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Dari kejauhan, guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini terlihat memerah matanya. Tangannya memegangi mulutnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Kamis (14/12/2017) telah membuyarkan harapannya.
Bersama dengan sejumlah pemohon, Prof Euis yang meminta MK meluaskan makna pasal asusila dalam KUHP yaitu pasal 284, 285 dan 292 karena dianggap mengancam ketahanan keluarga. Dalam gugatannya itu, profesor ini berharap kumpul kebo dan homoseks bisa masuk delik pidana dan dipenjara.
Mereka memohon pasal-pasal asusila dalam KUHP, yaitu:
1. Pasal 292 KUHP berbunyi:
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Dalam khazanah akademik, pasal di atas dikenal dengan pasal homoseksual dengan anak-anak. Tapi, menurut Euis dkk, pasal itu seharusnya juga berlaku untuk ‘korban’ yang sudah dewasa. Sehingga pemohon meminta pasal itu berbunyi:
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
2. Pasal 284 ayat 1 KUHP, yang berbunyi:
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan seorang pria dan wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
Euis meminta pasal yang dikenal dengan sebutan ‘pasal kumpul kebo’ itu diubah menjadi lebih luas, yaitu setiap hubungan seks yang dilakukan di luar lembaga perkawinan haruslah dipidana. Sehingga berbunyi:
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan seorang pria dan wanita yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.
3. Pasal 285 KUHP, yang berbunyi:
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Euis dkk meminta pasal pemerkosaan tidak hanya berlaku kepada lelaki atas perempuan, tapi juga lelaki terhadap lelaki atau perempuan terhadap perempuan. Sehingga pasal itu berbunyi:
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Ditolak
Namun apa mau dikata, melalui sidang terpanjang sepanjang sejarah MK ini, mahkamah yang dipimpin oleh Arief Hidayat ini menolak gugatan uji materi pasal kitab undang-undang hukum pidana tentang zina dan hubungan sesama jenis. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan ketentuan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Meski demikian, terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari empat orang hakim yang menangani uji materi tersebut yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahidudin Adams, dan Aswanto. Empat hakim itu menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mendasarkan pada norma agama dan sinar ketuhanan.
“Mengadili, menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta.
Hakim menilai, perluasan makna zina yakni termasuk hubungan badan yang dilakukan pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan sebagaimana diminta pemohon, jika dikabulkan akan terjadi perubahan perbuatan pidana yang semula delik aduan menjadi delik biasa. Perubahan delik ini dikhawatirkan akan mengubah kualifikasi pasal 284 yang semula dikonstruksikan sebagai urusan domestik laki-laki beristri atau perempuan bersuami menjadi urusan negara.
“Negara semestinya baru akan turun tangan jika pihak-pihak memintanya melalui delik aduan dan harus dihentikan jika aduan itu dicabut,” kata hakim anggota Saldi Isra.
Ketentuan dalam pasal tersebut juga dinilai telah tepat karena menegaskan bahwa seorang laki-laki atau perempuan yang terikat pernikahan tak boleh berzina dengan orang yang bukan suami atau istrinya.
“Ketiadaan larangan zina justru merusak sistem perkawinan dan keluarga. Apalagi telah menjadi pemahaman tidak ada satu agama pun yang membenarkan zina,” kata Saldi.
Kemudian pada pasal 285 KUHP, frasa kekerasan atau ancaman perbuatan perkosaan yang memaksa perempuan bukan istrinya membuat arti pemerkosaan hanya terjadi pada perempuan. Padahal pemerkosaan bisa saja terjadi pada laki-laki.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan aturan tentang pemerkosaan dengan kekerasan atau ancaman terhadap perempuan telah sesuai karena diberikan atas konteks KUHP dan tidak berkaitan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang lebih spesifik. “Pasal 285 KUHP justru menjadi instrumen hukum bagi perempuan agar dilindungi dari perbuatan perkosaan,” katanya.
Kemudian pada pasal 292 KUHP tentang perbuatan cabul, hakim menyatakan keinginan pemohon itu mengharuskan MK membuat ketentuan perundang-undangan yang baru. Padahal hal itu bukan menjadi kewenangan MK, melainkan DPR dan presiden sebagai pembentuk UU.
Menambah frasa atau norma baru dinilai akan mengubah sifat melawan hukum dan hal itu tidak dapat diterima dalam penalaran hukum. “Gagasan pembaruan yang diusulkan pemohon harusnya diajukan ke pembuat UU dan menjadi masukan penting untuk merumuskan KUHP yang baru,” kata Saldi.
Pendapat Berbeda
Dari sembilan hakim MK, empat hakim menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Keempat hakim tersebut adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto.
Keempat hakim konstitusi ini menyimpulkan seharusnya MK mengabulkan permohonan para pemohon. Mereka berpandangan konteks pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan jati diri dan identitasnya sebagai konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution) terlihat jelas bahwa nilai agama dan ketertiban umum diberi posisi dan fungsi sebagai salah satu pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk norma UU.
“Manakala terdapat norma UU yang mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan atau justru bertentangan dengan nilai agama, maka norma UU itulah yang harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan nilai agama dan ajaran ketuhanan,” ujar hakim konstitusi Aswanto.
Ia berpendapat seharusnya MK bisa membatasi diri untuk tidak berlaku sebagai “positive legislator” dengan memperluas lingkup suatu tindak pidana.
Putusan MK ini mendapat dukungan mantan Ketua MK Mahfud MD. Menurutnya, sebagai lembaga yudikatif, MK tak memiliki wewenang untuk membuat norma hukum baru.
“Yang kurang paham, menuding MK membuat vonis membolehkan zina dan LGBT. Yang benar MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di KUHP, bukan membolehkan atau melarang. MK memang tak boleh membuat norma,” ujar Mahfud seperti dikutip dari akun Twitter @mohmahfudmd, Minggu (17/12/2017).
Mahfud menjelaskan, mengatur untuk membolehkan atau melarang suatu perbuatan merupakan ranah legislatif atau pembuat undang-undang, yakni Presiden dan DPR.
Dengan dalih tidak dapat membuat norma baru, MK berlepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya urusan ini ke DPR dan Presiden. Praktisi Hukum Ikhsan Setiawan menunjukkan fakta bahwa MK selama 2003-2012, termasuk ketika Mahfud MD sebagai ketuanya, telah membuat norma baru dan itu bisa dilihat dalam lima putusan MK. Mengapa sekarang tidak berani?
Disambut Gembira
Putusan MK ini disambut gembira kalangan LGBT. Sebagaimana dimuat oleh Balikpapan Pos (21/12) kalangan gay (LSL) berencana menggelar pesta seks di tahun baru. Rencana itu mereka bicarakan secara serius dalam sebuah pertemuan.
“Waktunya sudah fiks saat malam tahun baru, tinggal soal tempat masih belum pasti,” ujar sumber terpercaya, seperti dikutip Balikpapan Pos.
Acara itu menurut mereka bukan semata untuk merayakan malam pergantian tahun 2017 dan datangnya tahun 2018. “Mereka sekaligus merayakan kemenangan atas keputusan MK soal zina LGBT,” sebutnya lagi.
Putusan MK, kata sumber tersebut, dinilai merupakan langkah maju karena berikutnya jaringan komunitas gay nasional tengah berjuang tataran legislatif agar perbuatan zina tak masuk ranah pidana.
Lebih gilanya lagi, jaringan tersebut berharap pernikahan sesama jenis kelak akan diakui di Indonesia. “Itu perjuangan langkah panjang. Yang jelas, jaringan komunitas gay nasional mendapat funding luar negeri untuk memperjuangkan hak-haknya,” katanya.
Tanpa Norma
Dengan ditolaknya uji materi ini, maka secara yuridis tidak ada norma yang melarang LGBT. Prof Suteki, pakar hukum pidana dari Universitas Diponegoro Semarang menjelaskan, andai ada larangan terhadap LGBT, tak mungkin sekarang ada forum LGBT. Justru karena sekarang ini tidak ada norma hukum, mereka bebas berbuat maksiat.
Menurutnya, ketiadaan norma hukum yang melarang LGBT ini bisa ditelusuri dari sejarah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu sendiri. KUHP yang berlaku di Indonesia adalah peninggalan Belanda. “Kemudian diteruskan dengan UU No 146 itu menjadi KUHP kita ini. Tetapi kita tahu sendiri, KUHP kita ini adalah KUHP yang liberal,” jelasnya.
Sementara Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP sejak tahun 1962 sampai sekarang belum jadi. Tidak ada komitmen Prolegnas untuk memprioritaskan masalah ini. Pantas ini menjadi celah kaum LGBT mengembangkan kebejatannya. Lalu di mana Pancasila? [] emje dari berbagai sumber
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 211