Tanpa Khilafah, Perempuan Mengalami Kerugian yang Hebat dan Mengerikan

Oleh: Muslimah Asy-Syami (Ummu Suhaib)

Kita mendengar, membaca, bahkan mengalami dampak dari ketiadaan khilafah (negara Islam) yang memerintah dengan Islam. Bagi orang-orang yang bertanya-tanya, entah mempertanyakan, mengejek, atau mencari pengetahuan, apa yang benar-benar hilang akibat ketiadaan khilafah, kami katakan: Kami kehilangan banyak hal dalam seluruh tingkat, bidang, dan aspek kehidupan. Di sini, kita akan fokus pada kaum perempuan, yang kehilangan banyak hal dan mengalami kehancuran dalam banyak hal.

Hal terpenting yang hilang dari seorang perempuan karena ketiadaan khilafah adalah peran sejatinya dalam hidup, yaitu menjadi rabbatul bait (pengatur rumah). Ia menjadi ibu dan pengatur rumah, sedangkan laki-laki bertanggung jawab atas dirinya, mengurusi dan memenuhi kebutuhannya. Jadi, ia tidak dipaksa untuk mencari nafkah sendiri, dan ia diperbolehkan untuk menuntut ilmu dan bekerja jika ia mau.

Karena Islam tidak diimplementasikan, sebaliknya ada dominasi ideologi kapitalis yang utilitarian, kehidupan perempuan bagaikan hidup dua muara. Ia terjebak di antara rumah berikut tugas-tugasnya dengan tempat kerja beserta segala kesulitannya, tanpa istirahat dan rasa tenang. Ia tak dapat memenuhi peran sejatinya dengan benar, mengakibatkan kelelahan, kesukaran, penindasan, dan ketidakadilan yang dialami perempuan ketika ia berjibaku di antara peran-peran ini, baik dipaksa atau tidak dipaksa oleh pilihannya agar dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, baik dengan atau tanpa suaminya.

Belum lagi ia mendapatkan pekerjaan yang tidak pantas baginya sebagai seorang perempuan, baik dari segi jenis maupun lokasinya. Oleh karena itu, ia terpaksa meninggalkan anak-anaknya, baik di tempat penitipan anak yang tidak memenuhi syarat, di rumah tanpa perawatan, atau bahkan di jalanan sampai ia kembali ke rumah, yang mengantarkan pada pendidikan, perilaku, akhlak, dan nilai-nilai yang buruk.

Perempuan itu telah kehilangan keamanan dan keselamatan, sehingga saat ia mengalami kekerasan, pembunuhan, pengusiran, dan ketidakadilan, jeritannya tidak akan ditanggapi, begitu pula tangisannya ketika ia berada di penjara para penindas. Tidak ada Al-Mu’tasim yang menjawab panggilan dan jeritan ini, karena orang-orang yang dapat menanggapi atau yang memiliki kewajiban untuk melakukannya adalah para penguasa Muslim yang tidak membuat keputusan dan kebijakan mereka sendiri. Semua keputusan itu dilahirkan di Washington, London, dan Paris…

Pada sebagian kasus, terjadi ketidakadilan di dalam keluarga perempuan, yakni ketika ada laki-laki yang tidak bertakwa kepada Allah SWT yang memperlakukan perempuan dengan penuh kekejaman dan ketidakadilan. Kaum lelaki ini bukannya menjadi tempat mendapatkan keamanan dan ketentraman, tetapi menjadi sumber ketakutan bagi perempuan.

Mereka membuat perempuan mencari perlindungan dari keburukan mereka, alih-alih mendapatkan perlindungan mereka. Ini karena mereka jauh dari agama, dan tidak ada hukum berdasarkan aturan syariah yang menjadi penghalang mereka melakukan keburukan itu. Atau, ada seorang istri, anak perempuan, atau bahkan seorang ibu yang hati anak-anaknya kosong dari belas kasih, sehingga mereka (keluarganya) membuang dirinya tanpa pencari nafkah atau pendukung, demikian pula tidak ada hukuman dari negara atas tindakan mereka, dan ia tidak memiliki tempat berlindung seperti ketika ada negara yang diatur oleh Islam yakni khilafah.

Perempuan telah kehilangan kemudahan dalam mencapai hak-haknya dan menghilangkan ketidakadilan dari dirinya, baik dari negara, keluarga, kerabat, atau siapa pun. Betapa banyak para janda, yatim piatu, orang miskin, atau orang tertindas, yang harus melalui tahun-tahun yang panjang sambil berjalan ke sana ke mari menemui pengacara dan menghadiri pengadilan. Mereka menghabiskan uang untuk berbagai biaya dan pengeluaran, setelah sebelumnya mengajukan keluhan kepada hakim agar dapat mengambil haknya dalam satu sesi tanpa biaya, eksploitasi, atau kelelahan.

Di sebagian tempat dan keluarga, perempuan kehilangan haknya atas warisan, serta sejumlah aturan yang terkait dengan sistem sosial, seperti keharusan ada persetujuannya untuk menikah dan haknya atas mahar. Jika muncul perselisihan yang mengarah pada perceraian, ada perempuan yang kehilangan hak asuh atau bahkan kehilangan sisa mahar dan hak-hak syar’i-nya, baik karena kendali tradisi pra-Islam atau lemahnya pengadilan syariah dalam melaksanakan putusan syariah, atau favoritisme jika lawannya berasal dari kelas atas atau orang kaya.

Saya teringat dengan hadits (gharib sahih) dari Imam Al-Awza’i pada hari Tabuk, ketika Rasulullah SAW memuji dan bersyukur kepada Allah SWT seraya bersabda:

«إِيَّاكم وَالأَقْرَادَ»، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الأَقْرَادُ؟، قَالَ: «يَكُونُ أَحَدُكُمْ أَمِيراً أَوْ عَامِلا، فَتَأْتِي الأَرْمَلَةُ وَالْيَتِيمُ وَالْمِسْكِينُ، فَيُقَال: اقْعُدْ حَتَّى نَنْظُرَ فِي حَاجَتِكَ، فَيُتْرَكُونَ مُقَرَّدِينَ، لا تُقْضَى لَهُمْ حَاجَةٌ وَلا يُؤْمَرُونَ فَيَنْصَرِفُونَ، وَيَأْتِي الرَّجُلُ الْغَنِيُّ أو الشَّرِيفُ، فَيُقْعِدُهُ إِلَى جَنِبِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: مَا حَاجَتُكَ؟ فَيَقُولُ: حَاجَتِي كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: اقْضُوا حَاجَتَهُ وَعَجِّلُوا بها»

“Berhati-hatilah kalian dengan al-iqrad.” Para Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa al-iqrad itu?” Nabi SAW menjawab, “Seorang di antara kalian menjadi seorang amir atau amil. Lalu janda, yatim, dan miskin mendatangi dia. Kemudian dikatakan kepada mereka, Tunggulah sampai dia memenuhi kebutuhanmu. Lalu mereka dibiarkan dalam keadaan lelah (menunggu) dan kebutuhan mereka tidak dipenuhi. Mereka tidak diberi perintah apa pun hingga akhirnya mereka pergi.  Kemudian datang seorang lelaki kaya yang mulia. Lalu lelaki itu dipersilakan duduk di sisinya. Ia kemudian bertanya, Apa kebutuhan Anda? Lelaki itu menjawab, Ini dan itu. Ia lalu berkata, Penuhilah oleh kalian kebutuhan dia dan bersegeralah memenuhi kebutuhannya.” (HR at-Thabrani).

Al-iqrad adalah sikap diam yang memalukan, sebagaimana ditafsirkan oleh Al-Zamakhsyari, dan hal ini tidak akan terjadi di bawah khilafah, Insya Allah.

Kaum Muslimah kehilangan kemampuan untuk mempraktikkan ibadah mereka sebagaimana mestinya dan sesuai keinginan mereka khususnya di banyak negara, baik di negara-negara Muslim atau di Barat. Mereka dilarang mengenakan pakaian yang syar’i, atau ketika memakainya pun mereka tidak terhindar dari bahaya, ejekan, dan kekerasan, baik secara lisan maupun tindakan. Di bidang pendidikan, mereka dilarang memasuki sekolah atau universitas dengan mengenakannya seperti yang terjadi di Prancis dan tempat-tempat lain! Mungkin, kaum Muslimah juga dilarang menunaikan haji atau umrah, atau bahkan pergi ke masjid, atau melaksanakan shalat di tempat kerja.

Barangkali, salah satu hal paling krusial yang dihadapi seorang Muslimah sejati tanpa khilafah dan kehidupannya dalam masyarakat non-Islam saat ini, adalah perjuangan untuk melindungi dirinya sendiri, perilaku dan akhlaknya, jihad diri dan konflik intelektual dengan orang lain, baik dalam domain keluarga, sekolah, pekerjaan, atau masyarakat.

Perhatian, prioritas, rujukan, dan perilaku ditumpahkan ke dalam lumpur sekularisme dan Kapitalisme yang penuh kebencian, sehingga ia merasa terasing di dalam masyarakatnya. Ia merasakan beban yang semakin berat dan semakin besar dalam tanggung jawabnya untuk mendidik masyarakat ini dan mendidik anak-anaknya, dalam kondisi adanya berbagai gagasan dan perilaku non-islami di mana-mana. Di jalan-jalan, sekolah, di dalam kurikulum, saluran satelit, alat komunikasi, keterbukaan teknologi, dan globalisasi, ia berkonflik dengan putrinya agar tidak keluar tanpa kerudung, bertabaruj, dan bersikap memberontak, bergaul dengan laki-laki yang bukan mahram, serta bernyanyi tentang ide kebebasan yang mereka gunakan untuk mencuci otak dan pikirannya.

Ia berkonflik dengan suaminya dan berurusan dengan riba di bank dan pinjaman, juga dengan putranya dan kedangkalan pemikirannya, minatnya, dan pemberontakannya terhadap rumah, Dien, dan keluarga. Jika ada khilafah, ia tidak harus berurusan dengan semua ini, karena hanya akan ada masyarakat Islam, melalui ketakwaan individu dan oleh kekuatan negara yang menerapkan aturan Syariah.

Kerugian dan kehancuran yang dirasakannya sangatlah besar, dan ini hanyalah puncak gunung es… Kami memohon kepada Allah SWT untuk mempercepat kembalinya Khilafah Rasyidah yang berdasarkan metode kenabian, untuk menghapuskan semua ini dari hidup kami, dengan izin Allah SWT.

 

#أقيموا_الخلافة

#ReturnTheKhilafah

#YenidenHilafet

#خلافت_کو_قائم_کرو

#TegakkanKhilafah

 

Sumber: hizb-ut-tahrir.info

Share artikel ini: