Tanpa Khilafah, Dakwah di Barat Tidak Dianggap

 Tanpa Khilafah, Dakwah di Barat Tidak Dianggap

Ditulis oleh Yahya Nisbet

Saat seseorang percaya bahwa peradabannya telah mencapai puncak dari apa yang dapat dicapai manusia, dia tidak mencari alternatif. Tidak peduli betapa buruk hidupnya, dia akan jatuh ke dalam depresi yang mendalam dengan keadaan yang menyedihkan, atau beralasan atas situasinya yang mengerikan, sambil membayangkan bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih baik dengan caranya sendiri. Inilah kenyataan hidup bagi kebanyakan rakyat jelata di Barat.

Pembunuhan yang dilakukan pemuda sekarang di jalan-jalan Inggris mencapai puncaknya, sehingga media dan para politisi saat ini sedang mendiskusikan krisis ini dan bagaimana mengatasinya. Hanya korban jiwa yang dilaporkan, sementara terdapat ratusan percobaan pembunuhan untuk tiap kematian tragis. Bagi banyak anak, kejahatan dengan pisau dan senjata hanyalah fakta kehidupan yang normal, karena mereka semua mengenal korbannya.

Budaya pemuda gangster dan rasa takut yang putus asa akan kehidupan mereka yang dihadapi oleh anak-anak muda Inggris sedang mendapat sorotan. Membawa pisau untuk perlindungan diri pada usia belasan menjadi kebiasaan yang berbahaya yang dilakukan oleh mereka dengan akhir usia remaja. Geng-geng kriminal memang menggunakan kekerasan ekstrem untuk tumbuh atau mempertahankan wilayah mereka, sehingga menimbulkan pertanyaan: mengapa terdapat begitu banyak geng? Namun, ada juga kelompok anak-anak yang menciptakan geng-geng di antara mereka sendiri untuk perlindungan terhadap geng-geng lain, yang kemudian mengarah pada persaingan geng, budaya geng, dan kekerasan lainnya. Bahkan perselisihan kekanak-kanakan di media sosial atau rasa tidak hormat yang dirasakan dapat menyebabkan teman-teman dan teman dari teman yang terlibat dalam pembunuhan balas dendam dan serangan fisik.

Para politisi saat ini sedang berdebat soal jumlah dan anggaran polisi, seolah-olah seluruh solusinya terletak pada geng-geng polisi yang memaksakan kehendaknya pada geng-geng lain. Ini adalah tribalisme yang paling buruk.

Apa yang tidak mau dibahas oleh seorangpun adalah budaya ideologis yang merupakan tanah subur bagi semua budaya kekerasan, kriminal, dan gangster. Pemerintah terutama ingin menghindari diskusi itu, karena tindakan defensif mereka yang lengkap dalam gangsterisme global yaitu hegemoni kolonial kapitalisme atas dunia. Kelas menengah yang makmur tidak suka berpikir tentang nilai-nilai mereka sendiri sebagai bertanggung jawab atas budaya pembunuh para diktator di luar negeri, tidak juga para gangster di wilayah-wilayah yang dirampas di kota mereka sendiri. Setelah meyakini kebohongan bahwa ideologi sekuler mereka sendiri adalah yang terbaik yang dimiliki oleh manusia, tidak ada kesediaan mereka untuk memeriksa peran ideologi itu dalam keadaan yang menyedihkan ini. Tidak ada yang bisa melihat alternatif yang layak, sehingga diasumsikan bahwa tidak ada yang bisa eksis. Yang terbaik yang bisa diharapkan oleh siapapun adalah bahwa kekerasan tetap terisolasi di beberapa lingkungan miskin, dan tidak akan melintas secara langsung untuk memengaruhi wilayah yang lebih kaya. Harapan naif ini telah hancur bertahun-tahun yang lalu dimana sekarang terdapat korban kekerasan pemuda di setiap wilayah dan sekolah, namun sebagian dari mereka masih tidak peduli.

Dengan keputusasaan seperti itu, pikiran manusia yang terendah naik ke permukaan. Semua bentuk rasis, nasionalis, xenofobik, atau anti-Muslim muncul ke permukaan, mendapatkan popularitas bahkan ada di antara mereka yang menganggap diri mereka sebagai manusia yang memiliki rasa kemanusiaan dan memiliki pemikiran yang lebih tinggi. Hal ini pada gilirannya mengarah pada geng-geng kesukuan baru yang muncul untuk menargetkan kelompok minoritas yang diduga bertanggung jawab atas kekerasan tersebut. Alih-alih mengambil tanggung jawab kolektif atas nilai-nilai individualistis, egois, dan memecah-belah yang merupakan penyebab dasar yang sebenarnya dari terus meningkatnya kriminalitas dan budaya geng ini, sikap menyalahkan orang lain seringkali merupakan pil yang lebih mudah untuk ditelan.

Seorang teman mualaf Muslim baru-baru ini diserang di sebuah pusat perbelanjaan yang sibuk. Dia sempat bertatap mata dengan orang asing, jadi dia pikir sesuai Sunnah Nabi ﷺ senyum adalah ibadah, lalu dia pun tersenyum padanya. Pria itu menyerang teman saya dan mengancam akan menikamnya di depan anak-anaknya, karena memberinya “pandangan yang lucu.” Ketika polisi datang, mereka menahan teman saya karena dia berkulit hitam (mereka tidak tahu bahwa dia adalah manajer senior pada departemen pemerintah), meskipun banyak saksi yang menegaskan bahwa orang asing itulah yang menyerangnya.

Pemerintah di Inggris ingin menenangkan suasana xenofobia yang menyalahkan orang asing, jadi mereka mulai menargetkan siswa-siswi migran, untuk menipu masyarakat bahwa mereka mengurangi imigrasi secara keseluruhan. Ironisnya adalah bahwa kelompok migran ini hampir semuanya pulang ke rumah setelah mereka belajar di sekolah. Saya berbicara dengan sejumlah mahasiswa Muslim yang mengungkapkan kekecewaan mereka atas rendahnya kualitas hidup di Inggris, setelah mendengar fantasi tentang kehidupan yang indah di Barat sebelum mereka datang. Mereka tidak sabar untuk pulang ke negara mereka, karena Inggris bukanlah tempat yang bisa mereka pertimbangkan untuk membesarkan keluarga mereka.

Situasi ini bukan hal baru bagi Barat. Selama beberapa dekade orang-orang Inggris melihat meningkatnya kejahatan kekerasan Amerika dengan perasaan ngeri, mengetahui bahwa dalam satu dekade atau lebih kekerasan semacam itu akan datang juga kepada mereka, seperti yang telah terjadi di seluruh Eropa. Pindah ke pinggiran kota kemudian ke pedesaan bukanlah solusi, karena setelah beberapa saat kekerasan juga mengikuti mereka di sana.

Empat belas ratus tahun yang lalu, Semenanjung Arab mengetahui adanya korban manusia atas budaya kesukuan seperti itu. Yatsrib telah kehilangan banyak pemimpin dan putra-putranya karena peperangan dan persaingan tanpa arti, yang dipicu bahkan oleh sengketa kecil tentang unta. Ketika Nabi ﷺ mendatangi mereka, beliau menunjukkan mereka ideologi baru dan budaya baru untuk menggantikan budaya kesukuan dan sikap egois mereka. Beliau mendirikan Negara yang menyatukan penduduknya sebagai saudara, dan tidak membiarkan mereka terpecah untuk berperang atas hal-hal yang sangat sepele.

Ketika saya bepergian ke negara-negara Muslim dan memberi tahu orang-orang di sana tentang realitas kehidupan di Barat, mereka biasanya kaget, karena ini bukan citra yang sama dengan yang digambarkan oleh media. Tanggapan berikutnya adalah “Yahya, Anda punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menunjukkan kepada orang-orang di sana tentang Islam, agar mereka keluar dari kegelapan yang menyedihkan.” Saya tidak setuju bahwa kita memiliki banyak pekerjaan dakwah untuk dilakukan, maka saya harus mengatakan bahwa tanggung jawab tidak semuanya ada pada saya. Muslim di Inggris secara teratur berbicara kepada rakyat, tetapi tanggapan umum mereka adalah: “Di manakah Islam seperti itu? !!” Mereka tidak dapat melihat Islam dalam prakteknya, sehingga mereka tidak dapat membayangkannya sebagai alternatif. Mereka telah diberi tahu bahwa kapitalisme sekuler dan nilai-nilai liberal mereka adalah yang terbaik yang dapat dicapai oleh manusia. Mereka akan segera menunjuk ke Arab Saudi, Mesir, Pakistan, Irak, atau Suriah, dan bertanya “apakah itu alternatif yang Anda ajak?” Di sini saya harus mengingatkan umat Islam di luar Barat bahwa Anda juga memiliki beban yang berat. Dakwah dan peran paling penting untuk dimainkan.

Tanpa Negara Islam yang sesungguhnya di dunia, Khilafah yang berada di jalan Kenabian, tidak ada seorang pun di Barat yang mendengarkan. Tidak ada yang bisa melihat contoh keadilan dan kemanusiaan yang bersinar, yang memandu umat manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya. Tidak ada yang menjadi saksi terhadap tuntunan Islam yang sejati, yang diimplementasikan sebagai negara dan sistem, yang mengangkat kehidupan rakyat, menghilangkan buah-buah ideologi palsu dan busuk.

Sesungguhnya, selama 97 tahun terakhir, sejak agen Inggris Mustafa Kemal menghapuskan Khilafah Utsmaniyah pada 28 Rajab 1342 Hijriah, dunia belum menganggap Islam secara serius, karena tidak ada contoh praktis bagi mereka untuk dilihat. Pada hari ini, karena hampir satu abad telah berlalu tanpa Islam, sudah waktunya bagi umat Islam di seluruh dunia untuk mengakui bahwa tidak ada upaya dakwah yang dapat berbuah tanpa implementasi Islam secara penuh untuk dilihat masyarakat. Kita tidak dapat membimbing umat manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya, tanpa Mercu Suar untuk menunjukkan jalannya. Prospek kemanusiaan akan terus dipersempit sampai kita dapat mengembalikan Islam untuk berkuasa, sehingga kita bisa menjadi saksi atas umat manusia.

وَكَذٰلِكَ جَعَلناكُم أُمَّةً وَسَطًا لِتَكونوا شُهَداءَ عَلَى النّاسِ وَيَكونَ الرَّسولُ عَلَيكُم شَهيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam); umat pertengahan (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Terjemahan QS Al- Baqarah [2]: 143)

Yahya Nisbet

Perwakilan Media Hizbut Tahrir Inggris

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *