Tanpa Dasar Hukum, Habib Bahar Kembali Ditangkap

Mediaumat.news – Tanpa dasar ketentuan hukum yang jelas, Habib Bahar bin Smith kembali ditangkap dan bahkan dipindahtahanankan ke Lapas di Nusakambangan.

“Memberlakukan kebijakan tanpa dasar ketentuan hukum yang jelas, merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Dapat dikatakan telah terjadi perampasan hak asasi terhadap diri Habib Bahar sebagai warga negara,” ungkap Direktur HRS Center dan Ahli Hukum Pidana Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. dalam rilis yang diterima Mediaumat.news, Rabu (20/5/2020).

Sebagaimana diketahui, Ditjen Pemasyarakatan menyatakan bahwa dicabutnya asimilasi menunjuk pada dua alasan.

Pertama, menurut Ditjen Pemasyarakatan Habib Bahar telah melakukan tindakan yang dianggap telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Kegiatan dimaksud, berupa ceramah bernada provokatif, menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian kepada pemerintah. Video ceramah yang kemudian viral, disebutkan menimbulkan keresahan di masyarakat.

Menurut Abdul Chair, alasan yang menimbulkan keresahan di masyarakat adalah sangat bias. Keresahan yang bagaimana yang dimaksudkan dalam hukum positif? Hukum pidana tidak ada menjadikan keresahan di masyarakat sebagai unsur delik.

Pernyataan Ditjen Pemasyarakatan yang menyebut ceramah Habib Bahar bernada provokatif, menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian kepada pemerintah, juga dinilai Abdul Chair sebagai tuduhan yang tendensius.

“Di sini telah terjadi pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah dan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, ceramah tersebut besifat kritik. Patut dicatat, tidak ada satu pasal pun dalam hukum positif yang menyebutkan pemerintah sebagai pihak (korban) dengan adanya ujaran kebencian atau permusuhan,” tegas Abdul Chair.

Kedua, Ditjen Pemasyarakatan menyebut Habib Bahar melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan mengumpulkan orang banyak dalam kegiatan ceramahnya.

Abdul Chair menegaskan menyangkut pelanggaran PSBB terkait dengan kehadirannya memberikan ceramah, juga tidak ada sanksi hukum yang mengaturnya. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 sama sekali tidak mengandung norma hukum larangan terhadap apa yang menjadi alasan pencabutan asimilasi.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan – yang menjadi dasar berlakunya Peraturan Pemerintah 21 Tahun 2020  – tidak pula ditemukan adanya norma hukum larangan dimaksud. Begitu pun dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

“Oleh karena itu, terhadap masyarakat (in casu Habib Bahar) yang tidak mengindahkannya tidak dapat kenakan sanksi hukum, termasuk menjadi alasan pencabutan asimilasi. Lalu atas dasar apa pencabutan itu dilakukan?” tanya Abdul Chair retoris.

Dengan demikian, beber Abdul Chair, alasan hukum pencabutan asimilasi yang berdasarkan ketentuan Pasal 136 ayat 2 huruf e Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat sebagaimana telah diubah dengan Permenkumham Nomor 18 Tahun 2019 tidak memiliki kekuatan hukum.

Ia juga menilai pencabutan asimilasi ini tidak berdiri sendiri. Diduga kuat adanya pengaruh (intervensi) kekuasaan. Hal ini semakin mendalilkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum tidak berlaku secara empirik, Indonesia sudah menjadi negara kekuasaan. Kondisi ini bukan hanya terjadi dan dialami oleh Habib Bahar, namun juga berlaku kepada para tokoh umat dan aktivis yang dianggap sebagai lawan politik oleh rezim.[] Joko Prasetyo

Share artikel ini: