Oleh: dr. M. Amin (Direktur Poverty Care)
Pemerintah kembali mengklaim angka penduduk miskin turun. Dikabarkan angka kemiskinan Indonesia per Maret 2019 tercatat sebesar 9,41%. Angka tersebut setara dengan 25,14 juta orang.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan tingkat kemiskinan turun dari posisi September 2018 9,66%. Menurutnya, kalau dibandingkan September 2018 ada penurunan dari 9,66% ke 9,41% dan jumlah penduduk miskinnya turun
Pemerintah optimistis, angka kemiskinan di negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini akan terus menurun dengan berbagai program pemerintah saat ini.
Pemerintah kerap melontarkan pernyataan tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan apakah penduduk miskin memang benar-benar turun? Kondisi tersebut bisa terlihat di lapangan.
Untuk mengetahui berapa besar jumlah penduduk miskin memang harus ada standarnya. Di Indonesia jumlah penduduk miskin merupakan hasil sensus Badan Pusat Statistika (BPS). Dalam menetapkan angka kemiskinan, salah satu standar yang dipergunakan lembaga tersebut adalah pendapatan perkapita.
Dengan standar tersebut, pemerintah kemudian menetapkan batas garis kemiskinan. Sejak tahun 2018, BPS menetapkan batas garis kemiskinan adalah masyarakat yang berpendapatan Rp 401.220 per kapita perbulan atau Rp 13.000 per kapita perhari. Jika dikonversikan sekitar kurang dari 1 dolar AS.
Standar yang ditetapkan BPS atau pemerintah tersebut kerap menimbulkan pro kontra. Misalnya, ADB (Asian Development Bank) menetapkan batas garis kemiskinan sebesar 1,25 dolar AS atau sekitar Rp 19.000 per kapita perhari.
Perbedaan standar BPS dan ADB memang terlihat tipis. Jika dikalkulasikan, maka perbedaan angka kemiskinan sangat fantastis. Jumlah penduduk miskin ADB dan BPS berselisih hingga lebih sekitar 10 juta jiwa. Artinya jika standar kemiskinan tersebut dinaikkan sedikit saja, maka jumlah penduduk miskin akan melonjak.
Bagaimana jika kemudian menggunakan standar Bank Dunia dengan pendapatan 2 dolar AS atau sekitar Rp 900 ribu/kapita/bulan. Sudah pasti jumlah penduduk miskin di Indonesia akan bertambah sangat besar. Bank Dunia memperkirakan dengan standar tersebut, penduduk miskin mencapai 100 juta jiwa atau hampir 40 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa.
Karena itu wajar jika banyak pihak mempertanyakan standar garis kemiskinan yang menjadi patokan BPS. Sebagai salah satu lembaga pemerintah, bisa jadi BPS tidak lepas dari intervensi pemerintah. Untuk kepentingan politik, pemerintah berupaya dengan berbagai cara agar penduduk miskin terlihat seminimal mungkin.
Artinya, jumlah penduduk miskin di Indonesia ibarat fenomena gunung es. Terlihat sedikit di luar, tapi kenyataanya lebih besar lagi.
Sebab jika serius mau menyelesaikan problem kemiskinan maka mestinya pendataan penduduk miskin harus bersifat individu per individu berdasarkan by name – by address. Sehingga bisa diketahui siapa dan di mana mereka yang terkategori miskin tersebut, tidak sekedar jumlahnya. Jika tidak, maka pendataan kemiskinan lebih bersifat proyek dan kepentingan pencitraan politik tanpa menyentuh persoalan utamanya yakni pengentasan kemiskinan.
Program dan kebijakan pemerintah untuk menurunkan kemiskinan justru mengarah pada pemiskinan. Jadi, data penurunan persentase warga miskin versi BPS itu bersifat paradoksal dengan kebijakan pemerintah yang pro pasar (kapitalisme) dan tidak berpihak pada rakyat. Sehingga penurunan tersebut menjadi tidak logis karena beberapa kebijakan pemerintah justru mengarah pada pemiskinan masyarakat.[]