Mediaumat.id – Meski menyatakan Petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat tidak menyiarkan berita bohong tapi hakim malah memvonisnya 10 bulan penjara. “Ingat, bahwa hakim menyatakan Jumhur tidak terbukti menyiarkan berita bohong,” Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. kepada Mediaumat.id, Jumat (12/11/2021).
Awalnya, ia justru memprediksi Jumhur dikenai pidana lebih dari satu tahun, potong masa tahanan. Mengingat, dakwaan yang dikenakan kepadanya berlapis. Yakni dakwaan pasal alternatif, seperti Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 UU RI Nomor 1 Tahun 1946. “Tetapi hakim menilai pasal tersebut tidak terbukti,” ucapnya.
Meski begitu, ia tetap menyayangkan petinggi KAMI tersebut dinilai terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, terkait Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
‘Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.’ demikian bunyi pasal 15 yang disangkakan.
Diketahui, melalui akun twitternya @jumhurhidayat, Jumhur menyebut bahwa Undang-undang Omnibus Law akan menjadikan rakyat Indonesia jadi bangsa kuli dan terjajah. Selain itu, pada 7 Oktober 2020, ia juga menulis bahwa UU Omnibus Law untuk primitif.
“UU ini memang untuk primitive investor dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini, (dalam postingannya, Jumhur memberikan tautan berita sebuah media daring berjudul) 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja,” tulis Jumhur, seperti dikutip cnnindonesia.com (11/11).
Oleh karena itu, ketika akhirnya hanya diputus 10 bulan potong masa tahanan 7 bulan dan ditetapkan hakim pula bahwa terpidana tidak ditahan, Prof. Suteki berpendapat, Jumhur tidak perlu banding. Meskipun dari pihak jaksa bisa saja melakukannya. “Jika jaksa banding, kita lihat putusan hakim pengadilan tinggi bagaimana akhirnya,” pungkasnya.[] Zainul Krian