Tak Adil, Menag Beda Sikap Soal Pembubaran Ibadah Kristiani dan Pengajian Hanan Attaki
Mediaumat.id – Sikap Menteri Agama (Menag) yang tidak sama dalam merespons aksi pembubaran ibadah di Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD), Rajabasa, Bandar Lampung dengan pengajian Ustaz Hanan Attaki di Masjid Al-Muttaqien, Pamekasan, Madura tempo hari, dinilai tidak adil dan bijaksana.
“Ini adalah sikap yang tidak adil dan tidak bijaksana,” ujar Cendekiawan Muslim dr Mohammad Ali Syafi’udin kepada Mediaumat.id, Kamis, (23/2/2023).
Seharusnya, lanjut Ali, respons Menag terhadap pembubaran ibadah orang Nasrani sama dengan pembubaran pengajian Ustadz Hanan Attaki. “Begitu juga pembubaran pengajian oleh ustaz-ustaz lain yang dianggap radikal,” tegasnya.
Dengan kata lain, Menag Yaqut Cholil Qoumas yang bersikap mengecam atas aksi pembubaran ibadah kaum Kristiani, tidak boleh diam terhadap aksi pembubaran pengajian Ustadz Tengku Hanan Attaki, Lc., seorang pendakwah Indonesia yang di dalam menyampaikan ceramah, senantiasa dekat dengan keseharian dan gaya anak muda.
Untuk diketahui pula, ia merupakan pendiri gerakan Pemuda Hijrah dan aktif berdakwah di komunitas pemuda seperti anak punk, geng motor, skateboard, sepeda BMX, parkour, dan berbagai komunitas hobi lainnya.
Berlebihan
Di samping itu, kata Ali lebih lanjut, sikap yang ditunjukkan pemerintah dalam hal ini Menag, adalah aneh. Pasalnya, respons tersebut terkesan hanya tampak ketika pembubaran aktivitas ibadah kepada kelompok minoritas. “Apalagi yang melakukan adalah masyarakat Islam, maka responsnya seakan-akan berlebihan,” tandasnya.
Sebenarnya, sebagaimana diberitakan, Sumarno, lurah Rajabasa Jaya sendiri, menjelaskan bahwa semenjak dirinya menjabat tahun 2019 hingga saat ini, pihak GKKD dimaksud tidak pernah mengajukan perizinan pendirian gereja.
Senada dengan Sumarno, Camat Rajabasa Hendry Satria Jaya juga mengatakan bahwa lokasi itu secara tertulis tidak mengantongi izin untuk tempat ibadah.
Meski demikian, sambung Ali, aktivitas praktis untuk melakukan pelarangan atau pembubaran ibadah seharusnya dilakukan oleh negara atau pihak yang memiliki kewenangan untuk itu. Bukan dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat.
Namun, seringnya pihak berwenang kurang tanggap atau bahkan tak melakukan tugasnya ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh sekelompok warga, maka hal ini mendorong masyarakat main hakim sendiri.
Begitu pula dengan dugaan manipulasi dalam hal penggunaan kartu identitas, KTP atau tanda tangan untuk memperoleh perizinan mendirikan tempat ibadah, sedangkan di saat yang sama ada pengaduan dari masyarakat, harusnya pemerintah setempat segera merespons.
“Seharusnya dari pemerintah setempat segera merespons dengan melakukan tindakan nyata untuk memastikan kebenaran serta akan menghentikan aktivitas di rumah ibadah tersebut jika laporan dari masyarakat benar,” ucapnya, seraya menambahkan hal ini ditempuh agar tidak ada gejolak di kemudian hari.
Tetapi, alih-alih sama-sama menyesalkan atau bahkan mengecam, Menag terkesan merestui tindakan kelompok yang telah membubarkan pengajian, seperti yang baru-baru ini menimpa Ustadz Hanan Attaki.
Strategi Barat
“Apa yang dilakukan oleh Menteri agama ini sebenarnya adalah mengikuti strategi dari Barat dalam upaya untuk memecah belah umat Islam,” sebutnya.
Celakanya, upaya membenturkan kelompok yang dianggap moderat dengan yang radikal, dilakukan secara terus-menerus oleh mereka. “Mereka juga melakukan stigmatisasi terhadap individu atau kelompok yang dianggap sebagai Islam radikal atau yang mendukungnya dengan sebutan HTI atau Wahabi atau ISIS,” ujarnya.
Dampaknya, para ustadz yang dianggap dekat dengan kelompok-kelompok tersebut, dicap pula dengan sebutan ustaz radikal. “Bahkan kalau perlu harus dipersekusi tempat pengajiannya sampai ustaz tersebut mengeluarkan pernyataan pembelaan diri bahwa dirinya bukan dari HTI atau Wahabi,” ucapnya.
Sekadar tambahan, dianggapnya sebagai kelompok Islam moderat karena umat Islam menerima nilai-nilai Barat (baca kapitalisme), demokrasi, liberalisasi, sekularisasi dan yang menolak hukum-hukum Islam diterapkan secara kaffah. Sebaliknya, kata Ali, yang dianggap Islam radikal adalah mereka yang menolak nilai-nilai Barat dan yang mendukung penegakan syariat Islam secara kaffah.
Karena itu sekali lagi Ali menegaskan, semua ini adalah skenario Barat memecah belah umat Islam, dan sekaligus untuk menciptakan musuh bersama terhadap siapa saja yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah.
Padahal di dalam Islam, kata Ali, tidak ada sebutan moderat atau radikal. “Siapa pun yang menaati perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya mereka adalah orang-orang yang bertakwa; sebaliknya mereka yang meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan-Nya adalah orang-orang yang zalim,” pungkasnya.[] Zainul Krian