Mediaumat.id – Menanggapi pernyataan tidak ada yang baku dalam sistem pemerintahan khilafah, Cendekiawan Muslim KH Rokhmat S Labib mengatakan sebaliknya. “Ada yang baku, apa? Yakni baiat ‘ala Kitabullah wa Sunnah,” tegasnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (23/4/2022).
Maknanya, setiap pengangkatan seorang khalifah senantiasa dibaiat untuk taat menjalankan Al-Qur’an dan as-Sunnah terkait fungsi-fungsinya sebagai penguasa.
Lebih sederhananya, sambung Kiai Labib, begitu sapaan akrabnya, sikap menolak penerapan khilafah yang notabene bagian dari ajaran Islam, sebab adanya ikhtilaf di sebagian perkara, patut dipertanyakan juga perihal sikap sama yang tidak diberlakukan dalam ajaran Islam yang lain.
Sebutlah shalat lima waktu yang memang tidak ada ikhtilaf tentang kewajibannya. Namun bukan karena terdapat perbedaan rukun shalat, lantas dengan enteng menganggapnya tidak lagi menjadi kewajiban.
“Contoh misalnya, dalam bacaan Al-Fatihah. Mazhab Hanafi itu mengatakan tidak wajib, hanya tidak sempurna. (Sementara) jumhur ulama mengatakan Fatihah adalah termasuk rukun shalat,” ulasnya.
Sampai-sampai, melihat bermacam dan corak dari pakaian kaum Muslim tatkala shalat, juga tidak kemudian menyimpulkan tidak wajib gegara tidak ada bentuk baku mengenai cara berpakaian dalam shalat.
“Mestinya dilihat ada aturan yang baku dalam shalat tadi. Apa itu? Yakni batas aurat,’ jelasnya seraya menerangkan perbedaan dan ketentuan batas aurat laki-laki dan perempuan.
Demikian juga peristiwa pengangkatan khalifah terutama para Khulafaur Rasyidin yang memang berbeda-beda. Misal, Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq dengan musyawarah, sementara Sayyidina Umar bin Khattab ditunjuk oleh khalifah sebelumnya.
Sehingga ia mengatakan keliru atas sikap dengan melihat itu, lalu menyimpulkan tidak ada bentuk khilafah yang baku. “Ini kan salah,” selanya.
“Meski caranya tadi berbeda-beda. Itu ada thariqah (metode) yang tidak berbeda. Apa itu? Yakni saat seseorang diangkat menjadi seorang khalifah, melalui baiat,” tegasnya kembali.
Artinya, lanjut Kiai Labib, kendati awalnya berbeda cara, tetapi mereka semua dibaiat oleh umat. “Yang inti baiatnya itu juga sama. Mungkin kalimatnya ada yang berbeda,” tambahnya.
Maka sekali lagi ia tekankan, hampir di semua hukum Islam, dalam pelaksanaan serta rinciannya terdapat ikhtilaf atau perbedaan-perbedaan. “Itu tidak menjadi alasan, lalu kemudian menggugurkan sesuatu yang difardhukan Allah SWT, itu menjadi tidak fardhu hanya gara-gara adanya ikhtilaf di antara para fuqaha tentang perkara tersebut,” tutupnya.[] Zainul Krian