Tak Ada Kegentingan Memaksa, UIY Paparkan Intensi Revisi Sejumlah UU

Mediaumat.info – Sebagaimana Akademikus Rocky Gerung yang pernah menyebut tidak ada kegentingan memaksa pemerintah mengeluarkan Perppu Ormas pada 2017 lalu, begitu juga terhadap revisi sejumlah undang-undang (UU).

“Begitu juga dengan lima atau enam revisi peraturan perundang-undangan,” ujar Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) dalam Diskusi Online: Revisi UU (Kementrian, Polri, TNI, Penyiaran, MK, Wantimpres) di Akhir Jabatan, Ada Apa? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (14/7/2024).

Adalah sebelumnya pemerintah dalam hal ini presiden bersama DPR RI merevisi sejumlah peraturan perundang-undangan di antaranya UU Kementerian, Polri, TNI, Penyiaran, MK, maupun Wantimpres menjelang akhir masa jabatan.

Setidaknya, menurut UIY, terdapat dua intensi dari upaya perubahan UU tersebut. Pertama, mikro interes untuk menghindarkan diri pasca-lengser 20 Oktober 2024 nanti dari tekanan hukum, politik dan sosial.

Sedangkan kedua, tujuan makro ideologi yang dinilai untuk memperkuat apa yang ia sebut korporatokrasi atau sistem politik dan ekonomi yang dikendalikan oleh beberapa kepentingan korporasi.

Cara Terakhir

Mengenai revisi UU Kementerian, ia menilai sebagai cara terakhir untuk menancapkan pengaruh kepada partai-partai. Sebagaimana ungkapan ‘tidak ada makan siang gratis’, maka dengan makin banyak jatah menteri di kabinet diharapkan dukungan partai-partai kepada pemerintah pun bertambah besar.

Tengoklah Pasal 15 UU Kementerian berubah menjadi berbunyi: “Jumlah keseluruhan kementerian ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden dengan memerhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.”

“Artinya tidak dibatasi, maka itulah yang akan didapatkan oleh partai,” cetus UIY, seraya menyebut bagi-bagi kursi kabinet ini sebagai salah satu kepentingan besar para politikus dalam hal sumber finansial untuk pemilihan umum berikutnya.

Sebaliknya, andai nanti ada semacam pansus, keberadaan parpol bisa menjadi benteng bagi kepentingan presiden pasca lengser.

Berikutnya revisi UU Penyiaran, UIY mengaitkan dengan kondisi publik terlebih orang-orang yang pernah dekat dengan pemerintahan, kini sudah mulai ‘berbicara’. “Dulu sempat dekat dengan orang-orang PDIP, mereka kemudian karena sudah tidak lagi bersekutu akan menceritakan apa yang terjadi selama ini,” ujarnya, tentang isu tiga periode yang ternyata datangnya dari presiden sendiri.

Tak hanya itu, kasus demi kasus akan datang bertubi-tubi mulai IKN, Kereta Cepat, MRT, LRT, dan infrastruktur lainnya yang mereka sebut bagian dari proyek strategis nasional (PSN).

Itu semua, kata UIY, cepat atau lambat bakal terungkap melalui media-media sosial. “Dari situ kita bisa memahami kenapa kok tiba-tiba muncul Undang-Undang Penyiaran yang kayak begitu, tidak boleh ada investigasi eksklusif, kemudian bahwa konten itu harus dilaporkan dulu, itu kan sudah di luar nurul (baca: nalar akal sehat) juga,” ulasnya.

Begitu juga dengan revisi UU Polri yang menurut UIY, pasca lengser apalagi jika terjadi tekanan hukum, politik maupun sosial, mantan presiden membutuhkan kepastian keamanan. “Jika itu terjadi lalu ada tekanan hukum, politik maupun sosial, dia memerlukan kepastian keamanan. Dari mana? Polisi,” tegasnya.

Hal sama juga diberlakukan kepada TNI. “Begitu juga kepada TNI,” tambahnya, yang berarti pula ketika dibuka kesempatan untuk menduduki jabatan sipil di saat struktur di dalam Polri maupun TNI terbatas, maka pengaruhnya bakal melebar ke mana-mana.

Lantas untuk mengantisipasi akan adanya judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka digulirkan pula agar hakim konstitusi bisa di-recall atau ditarik apabila hasil evaluasi terhadap hakim yang bersangkutan buruk menurut pengusulnya yaitu DPR, MA dan presiden.

Terakhir revisi UU tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) kembali menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan menghapus batasan jumlah anggota, yang juga dinilai termasuk interes presiden.

Salah satunya dikarenakan kedudukan DPA setara presiden, maka mantan presiden pun bisa berharap duduk di sana. “Mantan presiden bisa duduk di situ dan bisa mengawasi secara lebih perform, lebih tandas ketimbang menjadi wantimpres,” sebutnya.

Makro Ideologi

“Menurut saya juga tidak boleh dilepaskan bahwa ada makro ideologi,” sambungnya. Sebab menurut UIY, revisi sejumlah UU ini sebenarnya pertemuan antara pragmatisme seorang politisi dengan nilai-nilai ideologis yang sekarang berkembang yaitu korporatokrasi.

Bahkan, tambahnya, masa paling lezat yang bisa dinikmati oleh para korporat dalam sejarah republik ini ada di periode sekarang.

Tengoklah di dalam UU Minerba No. 3 Tahun 2020 yang terdapat pasal-pasal sangat kontroversial bahkan mengabaikan sisi konservasi lingkungan hidup serta jauh dari tujuan menyejahterakan masyarakat luas.

Di antaranya, masyarakat tidak lagi bisa protes ke pemerintah daerah, risiko dipolisikan apabila menolak perusahaan tambang, perusahaan tambang masih bisa beroperasi meskipun terbukti merusak lingkungan, perusahaan tambang bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, bahkan mendapat jaminan royalti nol persen.

Maka terkait semua itu, UIY pun menyampaikan sebuah adagium di dalam pertandingan sepak bola yaitu ‘don’t change the winning team’, yang berarti jangan ganti tim yang sudah menang, baik pelatih, kiper, striker maupun yang terlibat di dalamnya. “Karena itu, ini jangan berubah,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: