Tak Ada Artinya Akui Pelanggaran HAM Berat Tragedi Talangsari Tanpa Tanggung Jawab Hukum

Mediaumat.id – Meski Presiden Jokowi mengakui Tragedi Talangsari 1989 sebagai salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat, pengakuan itu dinilai tak ada artinya tanpa adanya pertanggungjawaban hukum.

“Menurut pendapat kami, pengakuan Presiden Joko Widodo atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum dan keadilan bagi korban,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam keterangan tertulis, Kamis (12/1/2023).

Menurutnya, jika pernyataan Jokowi serius, mestinya aparat penegak hukum segera bergerak untuk menangani berbagai perkara tersebut. “Sayangnya sikap itu tak tampak saat ini,” kata Usman.

Sikap Jokowi ini, tegas Usman, sudah termasuk lama tertunda hingga membuat penderitaan para korban pelanggaran HAM dalam Tragedi Talangsari 1989 itu begitu banyak diabaikan.

Bahkan, ia mengatakan, pengakuan ini justru bisa menimbulkan luka baru kepada para korban jika upaya untuk mengadili para pelaku tidak dilakukan.

“Pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya. Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas,” ujarnya lagi.

Keterlibatan Hendropriyono?

Adalah Hendropriyono, kala itu masih berpangkat kolonel yang mengomandoi (dugaan) penyerangan di Talangsari, sebuah dusun di Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur pada 7 Februari 1989 sekitar jam 4 pagi.

Di bawah Komando Korem Garuda Hitam 043, tindakan itu dilakukan dengan menyasar jamaah pondok pesantren pengajian Warsidi, seorang petani sekaligus guru ngaji di sana.

Diinformasikan, penyerangan dilakukan saat jamaah yang datang dari berbagai daerah bersiap mengadakan pengajian akbar. Dengan posisi tapal kuda, para tentara disinyalir mengarahkan tembakan secara bertubi-tubi dan melakukan pembakaran pondok rumah panggung.

Yang sangat memprihatinkan, rumah panggung, tempat pengajian tersebut berisi ratusan jamaah yang terdiri dari orang tua, ibu hamil, anak-anak bahkan ada yang masih bayi. ABRI, ketika itu juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam.

Menurut tim pemantauan Komnas HAM yang sebelumnya memegang mandat sesuai Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pelanggaran HAM berat di sana telah menelan 130 korban terbunuh, 77 orang dipindah secara paksa, 53 orang haknya dirampas, dan 46 lainnya disiksa.

Pasca peristiwa itu, Talangsari ditutup untuk umum dengan penguasaan tanah berada di bawah Korem Garuda Hitam. Dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai ‘orang lokasi’ sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar.

Artinya, Tragedi Talangsari 1989 hingga saat ini belum ada perkembangan signifikan. Meski pada 2011 dibentuk tim khusus penyelesaian Peristiwa Talangsari yang anggotanya terdiri dari; Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Kejaksaan Agung; Komnas HAM; Kementerian Pertahanan; TNI; Polri; dan instansi pemerintah lainnya.

Pun demikian dengan pertemuan antara tim dari Balitbang Kemenkumham dan korban Peristiwa Talangsari pada 27 April 2021, yang ternyata dikecam oleh Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) dan KontraS karena dilakukan tanpa berkoordinasi ataupun mengundang paguyuban secara layak.

Tak ayal, berbagai komentar pun tertuju pada mantan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Pembangunan Reformasi pada 1998 hingga 1999, dengan menyebutnya sebagai sosok yang kerap bicara radikalisme Islam, ternyata memiliki latar belakang kelam.[] Zainul Krian

Share artikel ini: