Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Bulan Rajab tahun 10 kenabian [Syah Najib Abadi, Tarikh Islam, juz I/120], setelah enam bulan meninggalkan pemboikotan di Syi’b Abi Thalib, Abu Thalib sakit keras hingga meninggal dunia [Abdullah an-Najadi, Mukhtashar as-Sirah, hal. 111]. Ada yang mengatakan, bahwa Abu Thalib meninggal dunia di bulan Ramadhan, tiga hari sebelum wafatnya Khadijah radhiya-Llahu ‘anha [Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum, 115].
Dalam kitab Shahih al-Bukhari, disebutkan, ketika Abu Thalib menjelang wafat, Nabi SAW masuk ke rumahnya. Di sana sudah ada Abu Jahal. Baginda SAW berusaha menuntunnya, “Wahai Paman, ucapkanlah “La ilaha illa-Llah.” Kata, yang dengannya, aku bisa gunakan sebagai hujah untuk meringankanmu di hadapan Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah, “Wahai Abu Thalib, kamu membenci agama Abdul Muthallib?” Keduanya terus meneror Abu Thalib dengan kata-kata, hingga akhirnya Abu Thalib mengucapkan kata-kata, “Tetap mengikuti agama Abdul Muthallib.”
Nabi SAW pun berucap, “Kalau begitu, aku akan memintakan ampunan untukmu, selama aku tidak berhasil mencegahmu.” Saat itulah, Allah SWT menurunkan firman-Nya, “Tidak layak bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan untuk orang musyrik, sekalipun mereka adalah kerabat dekat, setelah tampak bagi mereka, bahwa mereka [orang musyrik] itu adalah penghuni neraka Jahim.” [TQS at-Taubah: 113] Allah SWT juga menurunkan ayat lain, “Sesungguhnya, Engkau tak akan pernah bisa memberikan hidayah kepada siapa saja orang yang Engkau cintai.” [TQS 28: 56] [Lihat, Shahih al-Bukhari, Juz I/548]
Setelah dua atau tiga bulan Abu Thalib wafat, Ummil Mukminin, Khadijah al-Kubra, radhiya-Llahu ‘anha, wafat menghadap Allah. Beliau wafat di bulan Ramadhan, tahun 10 kenabian. Usianya ketika itu 65 tahun. Rasulullah SAW sendiri saat itu usianya 50 tahun [Lihat, Ibn al-Jauzi, at-Talqih, hal. 7; al-Manshur Fauri, Rahmatan li al-‘Alamin, Juz II/164].
Khadijah menikah dengan Nabi SAW saat usianya 40 tahun, sedangkan Nabi SAW berusia 25 tahun. Khadijah sendiri saat itu berstatus janda dari dua mantan suami sebelumnya. Beliau adalah wanita yang cantik, terpandang dan kaya raya. Allah memilihnya menjadi pendamping Nabi SAW di saat-saat sulit, karena kematangannya. Beliau telah mendampingi Nabi SAW sejak sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, atau selama 15 tahun. Ditambah, 10 tahun berikutnya, setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Jadi, tidak kurang dari 25 tahun, beliau mendampingi Nabi dalam suka dan duka, selama masih di Makkah.
Dalam kitab Khatam an-Nabiyyin, karya Samih ‘Athif az-Zain, disebutkan, saat menikahi Khadijah, Nabi SAW tidak mempunyai apa-apa, karena memang miskin. Tetapi, Khadijah yang diwakili pamannya, Waraqah bin Naufal, menerimanya bukan karena kekayaannya, tetapi karena nasab dan kepribadiannya. Begitu menikah dengan Nabi SAW seluruh kekayaannya diserahkan kepada Nabi. Nabi SAW menggunakan kekayaannya itu, antara lain, untuk menghidupi Ali bin Abi Thalib di rumah Khadijah. Akhlak Khadijah begitu luar biasa, hingga tak sanggup meninggikan suara, apalagi membantah titah suaminya.
Saat Nabi SAW menyendiri di Gua Hira’, dengan setia, Khadijah menemani dan mengirimkan makanan, minuman dan keperluan Nabi. Beliau berjalan dari rumahnya, dan mendaki Jabal Nur yang curam dan cadas, saat usianya tak lagi muda, sekitar 50 tahun. Ketika pertama kali mendapatkan wahyu, saat Nabi SAW menggigil ketakutan, Khadijah memeluk dan menyelimutinya, hingga baginda SAW tertidur di pangkuannya. Saat Nabi SAW mengalami penyiksaan, bahkan pemboikotan, Khadijah dengan setia mendampinginya. Begitulah pribadi Khadijah, namanya terpatri di langit, sampai Allah dan Jibril pun mengirimkan salam khusus kepadanya, dan membangunkan rumah untuknya di surga [Lihat, Shahih al-Bukhari, Juz I/539].
Pendek kata, Khadijah benar-benar nikmat Allah yang agung untuk Nabi SAW Khadijah adalah cinta pertama Nabi, dan tetap ada di hatinya, meski beliau telah tiada. Nabi pun tak sanggup melupakannya, hatta setelah wafatnya. Nabi SAW menuturkan, “Dia telah mengimaniku saat orang-orang mengingkariku. Dia telah membenarkanku, saat orang-orang mendustakanku. Dia menyertaiku dengan hartanya, ketika orang-orang meninggalkanku. Aku dianugerahi Allah putra dari rahimnya, sementara tidak dengan istri yang lainnya.” [Lihat, Ahmad, Musnah Ahmad, Juz VI/118]
Dua orang yang begitu luar biasa mengisi lembaran hidup Nabi SAW pergi meninggalkan baginda SAW di tahun yang sama, pada saat yang hampir bersamaan. Tahun itu, benar-benar merupakan tahun duka, kesedihan dan kesabaran. Meski baginda SAW mempunyai kesabaran yang luar biasa, tetapi tetap saja kepergian dua orang yang luar biasa dalam hidup baginda itu tetap saja meninggalkan kesedihan yang mendalam.
Setelah peristiwa itu, ujian demi ujian yang semakin berat menghampiri Nabi SAW. Kaum kafir Quraisy yang sebelumnya masih agak menahan diri terhadap Nabi SAW berubah menjadi berani setelah kepergian Abu Thalib. Belum sirna luka dan duka karena kepergian dua orang yang dicintainya, luka dan duka Nabi SAW harus bertambah. Nabi SAW pun tampak tak lagi bisa berharap kepada mereka, karena seolah semua jalan sudah buntu. Saat itulah, baginda SAW keluar ke Thaif, yang jaraknya dari Makkah kurang lebih 150 km. Dengan harapan, penduduk Thaif, khususnya Bani Tsaqif, bersedia memenuhi seruan dakwah baginda SAW Atau minimal bersedia membantu dan menolongnya terhadap kaumnya, tetapi ternyata tak ada seorang pun yang membantu dan menolongnya. Justru sebaliknya, mereka malah menganiaya Nabi SAW dengan luar biasa. Tubuh baginda SAW pun berdarah-darah.
Di Thaif, Nabi SAW berusaha mendekati Bani Tsaqif, kurang lebih selama sebulan. Memikirkan cara dan strategi yang jitu untuk menaklukkan hati Bani Tsaqif. Namun, ikhtiar baginda SAW tidak membuahkan hasil. Akhirnya, baginda SAW kembali dengan luka yang terus mengucurkan darah. Duka semakin bertambah, dengan penolakan dan penganiayaan yang dilakukan Bani Tsaqif kepada Nabi SAW Di Wadi Nakhlah, Nabi SAW beristirahat, ditemani putra angkatnya, Zaid bin Tsabit. Di malam itu, Nabi SAW membaca Alquran, dengan penuh kesedihan. Jin-jin pun berdatangan ikut menyimak bacaannya.
Di Wadi Nakhlah itulah, ‘Adas, seorang budak penganut Nasrani, iba melihat kondisi Nabi SAW. Begitu ‘Adas tahu, bahwa manusia di hadapannya itu adalah Nabi, dia cium sekujur tubuh mulia Nabi SAW. Demi memuliakan manusia yang paling mulia. Begitulah, ujian demi ujian yang dialami Nabi, setelah kepergian Abu Thalib dan Khadijah. []
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 212