Tahanan Mesir Mati 1.000 Kali di dalam Tahanan
Oleh Amr Hasad
Mereka mati 1.000 kali. Beginilah cara saya menggambarkan kehidupan mereka yang telah dijatuhi hukuman mati di penjara Mesir. Mereka menunggu kematian kapan saja. Tapi, menunggu kematian adalah kematian.
Ketidakadilan, penindasan, dan pembunuhan, itulah cara Anda dapat membayangkan kematian secara lambat yang mereka alami sejak mereka ditangkap dan masalah ini memburuk setelah hukuman mati disetujui terhadap orang-orang yang tidak bersalah ini. Anda mengetahui bahwa salah seorang dari mereka yang dijatuhi hukuman mati menderita penyakit kronis dan yang lainnya berusia di atas 70 tahun dan tidak dapat bergerak.
Masalahnya tidak berhenti di situ. Ketika mereka dijatuhi hukuman mati, mereka ditempatkan di sel disipliner atau sel khusus (sel isolasi).
Sel penjara tempat mereka menempatkan orang-orang yang dijatuhi hukuman mati berada di sebuah ruangan gelap yang persis seperti kuburan, berukuran dua kali tiga meter, dan mereka hanya diperbolehkan membawa satu selimut ke dalam kuburan ini.
Di sana mereka membukakan pintu untuk para tawanan itu sekali sehari agar bisa pergi ke kamar mandi… sekali sehari… dan memberi mereka makanan sepotong roti untuk sepanjang hari. Dan mereka tetap dalam keadaan ini, menunggu seseorang membawa mereka ke tiang gantungan, setiap saat mereka dibunuh 1.000 kali dan mereka menelan rasa sakit ketidakadilan dan penindasan.
Saya berada di penjara gurun Wadi Al-Natrun, dan sebelum mereka mengeluarkan teman-teman saya dari sel itu, saya mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Saya tidak tahu apakah itu akan menjadi perpisahan terakhir. Mereka kemudian dieksekusi!
Amr Hashad adalah seorang aktivis HAM
Pada tahun 2015, saya telah dipindahkan ke Penjara Banding Kairo dan ditahan di sel di sebelah ruang guillotine. Suatu hari saya bangun pagi-pagi karena mendengar suara ratapan dan teriakan, lalu kemudian hening. Di penjara Mesir, guillotine dikenal sebagai genderang eksekusi. Saya bisa mendengar suara derit dan benturan besi yang berat itu pada tubuh manusia. Hal itu membuatku ketakutan.
Malam sebelum eksekusi ada energi yang berbeda di penjara, jalan setapak di depan sel digosok dengan sabun dan air, setanggi pun dibakar. Saat matahari terbit, Anda melihat orang-orang berbaju merah dengan penutup hitam di kepala mereka.
Saya bisa mendengar teriakan dari lantai dua, pembacaan Al-Qur’an, dan lain-lain yang dibuat gila karena menunggu saat kematian.
Mereka yang dibawa ke ruang eksekusi takut mati, mereka buru-buru masuk ke sel saya meminta agar bisa kabur. Sambil melihat melalui jendela kecil di pintu saya, saya merasa mati di dihadapan mereka. Mereka memasuki ruangan, dengan cara ditarik, diseret, didorong, dipukul, sampai mereka berteriak dan meratap. Guillotine diangkat, jantung berdebar-debar, terdengar teriakan, dan kemudian suara tumbukan.
Pada hari mereka mengeksekusi lima orang, kami melihat mereka masuk, dan kemudian mayat-mayat itu dibawa keluar dan dipisahkan di depan mata kami. Yang pertama, yang kedua, yang ketiga … suara jeritan bisa didengar oleh semua orang. Mereka menutupi mata para tawanan, tapi kami semua bisa melihat. Saya pun jatuh ke lantai di dalam sel saya, ketakutan. Kematian lebih mudah daripada menunggu.
Akankah ini menjadi nasib atas ribuan orang yang tertindas di penjara dan pusat penahanan di Mesir?
Adakah yang bisa menjawab pertanyaan kami?[]
Sumber: middleeastmonitor.com