Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 120 -123, Orang Yahudi Tidak Akan Pernah Ridha Kepada Kaum Muslim

Orang Yahudi Tidak Akan Pernah Ridha Kepada Kaum Muslim, dan Tidak Pula dengan Orang Nasrani

]وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ* ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَتۡلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ * يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتِيَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ وَأَنِّي فَضَّلۡتُكُمۡ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ * وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا لَّا تَجۡزِي نَفۡسٌ عَن نَّفۡسٖ شَيۡ‍ا وَلَا يُقۡبَلُ مِنۡهَا عَدۡلٞ وَلَا تَنفَعُهَا شَفَٰعَةٞ وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ[

Orang-orang Yahudi tidak akan ridha kepada kamu, dan tidak pula orang-orang Nasrani, hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Ku-anugerahkan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu atas segala umat. Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa’at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 120 – 123).

Dalam Khawāthir al-Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rāwi (Tafsīr al-Sya’rāwi) rahimahullah, 1/561-568, disebutkan bahwa:

Orang-orang Yahudi menipu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara keji dan kotor. Mereka berkata, “Beri kami petunjuk”. Artinya, beri tahu kami apa yang ada di dalam kitab kami, sehingga kami memperimbangkan apakah kami mengikuti kamu atau tidak. Allah subhanahu wa ta’ala ingin memutus jalan orang-orang Yahudi dari kebiasaan membuat makar dan penipuan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa baik orang Yahudi maupun Nasrani (Kristen) tidak akan pernah mengikuti agama kamu, justru yang mereka inginkan adalah bahwa kamu mengikuti agama mereka. Kamu ingin mereka bersama kamu, sementara mereka justru sangat berambisi agar kamu bersama mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Orang-orang Yahudi tidak akan ridha kepada kamu, dan tidak pula orang-orang Nasrani, hingga kamu mengikuti millah mereka.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 120).

Kami perhatikan bahwa dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala ini ada pengulangan bentuk kata nafi (negasi), sehingga dari sini kita memahami bahwa keridhaan orang Yahudi berbeda dengan keridhaan orang Nasrani (Kristen). Dan seandainya Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya tanpa “lā” sebelum “al-Nashara”, niscaya maknanya kita pahami bahwa keridhaan orang Yahudi dan Nasrani (Kristen) itu sama, namun kenyataannya bahwa keridhaan mereka itu berbeda, buktinya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

]وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ لَيۡسَتِ ٱلنَّصَٰرَىٰ عَلَىٰ شَيۡءٖ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَىٰ لَيۡسَتِ ٱلۡيَهُودُ عَلَىٰ شَيۡءٖ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ[

Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan’, dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,’ padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 113).

Jadi, tidak benar mengatakan bahwa orang Yahudi dan Nasrani (Kristen) tidak pernah ridha kepada kamu. Sedang Allah subhanahu wa ta’ala ingin mengatakan bahwa orang Yahudi tidak akan pernah ridha kepada kamu, dan orang Nasrani (Kristen) juga tidak akan pernah ridha kepada kamu. Sehingga jika kamu kebetulan menemukan ridha orang Yahudi, maka orang Nasrani (Kristen) tidak akan ridha kepada kamu, sebaliknya jika kamu kebetulan mendapatkan ridha orang Nasrani (Kristen), maka orang Yahudi tidak akan ridha kepada Anda.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “hingga kamu mengikuti millah mereka.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 120).

Millah artinya adalah agama. Mengapa dinamakan dengan millah, sebab kamu “tamilu (condong)” kepadanya, sekalipun apa yang kamu condong kepadanya itu termasuk sesuatu yang batil. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

]وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ * وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ * وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ * لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ[

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (TQS. Al-Kafirun [109] : 3-6).

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan agama bagi mereka, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir dan musyrik. Namun apa yang menghalangi kita untuk mengikuti agama orang Yahudi atau agama orang Kristen?  Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

]قُلۡ إِنَّ ٱلۡهُدَىٰ هُدَى ٱللَّهِ[

Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah’.” (TQS. Ali Imran [3] : 73).

Orang Yahudi telah memalsukan agama mereka, dan orang Kristen juga telah memalsukan agamanya. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala, dan petunjuk itulah yang mengantarkan kamu kepada tujuan melalui jalan terpendek, atau jalan yang lurus sebagai jalan terpendek menuju tujuan. Petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala itu hanya mengarah ke satu jalan, sedang petunjuk manusia, masing-masing memiliki petunjuk yang bersumber dari hawa nafsu sendiri. Oleh karena itu, petunjuk manusia itu bercabang dan bermacam-macam yang membawa kamu pada kesesatan. Namun petunjuk yang menuju kepada kebenaran itu hanya satu petunjuk saja, yaitu petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

]وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم[

Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 120).

Ini merupakan isyarat dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa agama Yahudi dan agama Nasrani (Kristen) adalah agama yang didominasi oleh hawa nafsu manusia. Hawa nafsu adalah kebatilan (kepalsuan) yang diinginkan oleh jiwa, atau keinginan (hasrat) jiwa yang batil dan jauh dari kebenaran. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

]وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ[

Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 120).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya: Jika kamu mengikuti jalan sesat yang didominasi oleh hawa nafsu yang jauh dari kebenaran, baik itu jalan orang Yahudi maupun jalan orang Nasrani (Kristen), setelah datang kepadamu petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala, maka kamu tidak akan memiliki wali (pelindung) dari Allah untuk mengurus urusan kamu dan melindungi kamu, atau penolong untuk menolong dan membantu kamu.

Seruan (khithāb) ini adalah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini kita harus berpikir sejenak untuk merenungkan bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berbicara kepada Rasul-Nya, shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dipilih-Nya. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengarahkan seruan (khithāb) ini kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang dimaksud dengan itu adalah umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para pengikut Rasulullah yang akan datang setelahnya. Sebab mereka adalah orang-orang yang hatinya mungkin saja cenderung kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani (Kristen). Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah subhanahu wa ta’ala melindunginya dari mengikuti mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala ingin kita mengetahui dengan pasti bahwa apa yang tidak diterima-Nya dari Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dapat diterima-Nya juga dari siapa pun di antara umatnya, betapapun tinggi kedudukannya. Hal ini agar tidak ada orang yang datang setelah Rasulullah yang mengaku berilmu dan berkata, “Kami mengikuti agama Yahudi atau Nasrani, untuk menarik mereka kepada kami.” Kami katakan kepadanya: “Tidak, apa yang Allah tidak terima dari kekasih-Nya, dan Rasul-Nya, Allah tidak menerimanya dari siapapun.” Menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai contoh dalam hal ini memiliki maksud tertentu, bahwa mengikuti agama Yahudi atau Nasrani ditolak sama sekali dalam keadaan apapun. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam contoh adalah untuk memotong jalan bagi orang-orang yang bertujuan merusak agama ini dengan dalih adanya kesamaan dengan agama Yahudi dan Nasrani.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

]ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَتۡلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ[

Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 121).

Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen telah memalsukan kitab-kitab mereka, Dia subhanahu wa ta’ala ingin menunjukkan bahwa ada orang Yahudi dan Nasrani (Kristen) yang tidak memalsukan kitab-kitab mereka, dimana mereka ini beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan risalah yang dibawanya. Karena mereka mengenalnya dari Taurat dan Alkitab (Injil). Senadainya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan ayat ini, niscaya mereka yang membaca Taurat dan Alkitab (Injil) akan mengatakan kebenaran keduanya … dan mereka akan berpikir untuk percaya pada risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka akan berkata, “Bagaimana hal ini diberlakukan kepada semua orang Yahudi dan semua orang Nasrani (Kristen), sementara kami bertekad untuk beriman pada Islam …, inilah yang dikatakan tentang hukum kemungkinan: yaitu, ada sekelompok besar orang Yahudi atau Nasrani (Kristen) yang berpikir untuk memeluk Islam sebagai agama yang benar. Ada sekelompok orang Yahudi, mereka berjumlah empat puluh orang, datang dari Sinai bersama dengan Ja’far bin Abi Thalib untuk ber-syahadat di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa mereka telah membaca Taurat yang tidak dipalsukan, sehingga mereka beriman pada risalah yang dibawanya. Sungguh dalam hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala ingin menghormati mereka dan menghormati semua Ahli Kitab yang mau beriman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

]ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَتۡلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ[

Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 121).

Artinya, mereka membacanya sebagaimana yang diwahyukan tanpa ada pemalsuan atau perubahan. Sehingga mereka mengetahui fakta sebenarnya, tidak tercampur dengan hawa nafsu manusia, tidak pula dengan pemalsuan, yaitu mengubah sesuatu dari kebenaran menjadi kebatilan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

]أُوْلَٰٓئِكَ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ[

Mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 121).

Kami mencatat bahwa Al-Qur’an selalu datang dengan membuat perbandingan, untuk menghormati orang-orang beriman dan membawa kesedihan ke dalam hati orang-orang yang mendustakan. Karena perbandingan itu selalu menunjukkan perbedaan antara dua hal. Allah subhanahu wa ta’ala ingin memberi tahu mereka yang diberi Kitab oleh Allah, lalu mereka tidak memalsukannya dan mempercayainya, agar mereka meraih nikmat dan berkah yang akan mengantarkan mereka pada kebahagiaan abadi, yaitu nikmat dan berkah Islam dan iman. Sebaliknya, balasan bagi orang-orang yang memalsukan Taurat dan Injil, maka nasib mereka jelas merugi dan kekal di neraka.

Sedangkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

]يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتِيَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ وَأَنِّي فَضَّلۡتُكُمۡ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ[

Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Ku-anugerahkan kepadamu dan Aku telah melabihkan kamu atas segala umat.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 122).

Jika kita kembali pada pemaparan kami terkait ayat (40) surat Al-Baqarah dan firman-Nya:

]يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتِيَ ٱلَّتِيٓ أَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِيٓ أُوفِ بِعَهۡدِكُمۡ وَإِيَّٰيَ فَٱرۡهَبُونِ[

Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (TQS. Al-Baqarah [2] : 40).

Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengakhiri perjalanan dengan Bani Israel sebelum Dia subhanahu wa ta’ala mengingatkan mereka tentang apa yang dengannya Dia subhanahu wa ta’ala memulai, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak berhenti berbicara kepada mereka dalam perjalanan ini kecuali setelah Dia subhanahu wa ta’ala mengingatkan mereka dengan pengingat terakhir terkait nikmat-Nya atas mereka, serta kelebihan yang Allah berikan kepada mereka, sehingga mereka memiliki keutamaan atas ciptaan-Nya yang lain, dan salah satu indikator terbesar dari keutamaannya ini … adalah ayat yang ada dalam Taurat, yang membawa kabar gembira tentang akan datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh ini merupakan keutamaan yang besar. Ketika mereka diingatkan terkait kenikmatan dan keutamaan yang Allah karuniakan kepada mereka, maka ini adalah penghinaan terhadap Bani Israil bahwa mereka tidak beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau disebutkan dalam Taurat mereka. Seharusnya mereka mengambil peringatan Allah ini dengan kuat dan bergegas untuk beriman pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab itu adalah keutamaan yang besar dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ketika gempa bumi melanda orang-orang Yahudi, dan Nabi Musa ‘alaihis salam memohon rahmat kepada Tuhannya, Dia subhanahu wa ta’ala berfirman seperti yang dikatakan Al-Qur’an kepada kita:

]وَٱكۡتُبۡ لَنَا فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِنَّا هُدۡنَآ إِلَيۡكَۚ قَالَ عَذَابِيٓ أُصِيبُ بِهِۦ مَنۡ أَشَآءُۖ وَرَحۡمَتِي وَسِعَتۡ كُلَّ شَيۡءٖۚ فَسَأَكۡتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلَّذِينَ هُم بِ‍َٔايَٰتِنَا يُؤۡمِنُونَ * ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِيَّ ٱلۡأُمِّيَّ ٱلَّذِي يَجِدُونَهُۥ مَكۡتُوبًا عِندَهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنۡهُمۡ إِصۡرَهُمۡ وَٱلۡأَغۡلَٰلَ ٱلَّتِي كَانَتۡ عَلَيۡهِمۡۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ ٱلنُّورَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ[

Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: ‘Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami’. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Al-A’rāf [7] : 156-157).

Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala:

]وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا لَّا تَجۡزِي نَفۡسٌ عَن نَّفۡسٖ شَيۡ‍ٔٗا وَلَا يُقۡبَلُ مِنۡهَا عَدۡلٞ وَلَا تَنفَعُهَا شَفَٰعَةٞ وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ[

Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa’at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 123).

Ayat yang mulia ini serupa dengan ayat 48 surat Al-Baqarah, di mana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

]وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ[

Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 48).

Kami mengatakan bahwa keserupaan ini terlihat begitu jelas, namun masing-masing ayat memiliki arti yang berbeda dan berdiri sendiri. Pada ayat ayat 48 surat Al-Baqarah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

]وَلَا يُقۡبَلُ مِنۡهَا شَفَٰعَةٞ وَلَا يُؤۡخَذُ مِنۡهَا عَدۡلٞ[

Dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 48).

Sementara pada ayat yang sedang kita bahas saat ini, yaitu ayat 123 surat Al-Baqarah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

]وَلَا يُقۡبَلُ مِنۡهَا عَدۡلٞ وَلَا تَنفَعُهَا شَفَٰعَةٞ[

Dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa’at kepadanya.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 123).

Mengapa? Sebab firman Allah subhanahu wa ta’ala:

]لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا[

Seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun.

Jika kita menginginkan sebagai jiwa (seseorang) yang pertama, maka konteksnya akan sesuai dengan ayat pertama, dan jika kita menginginkan sebagai jiwa (seseorang) yang kedua, maka konteksnya akan sesuai dengan ayat kedua yang sedang kita bahas ini. Dengan demikian, seolah-olah kita memiliki dua jiwa, yaitu jiwa yang pertama sebagai pemberi, dan jiwa yang kedua sebagai penerima. Jiwa pemberi itu adalah yang memiliki syafaat, maka hal pertama yang diterima darinya adalah syafaat, dan apabila syafaatnya tidak diterima, dia berkata, “saya akan menanggung tebusannya,” yaitu menanggung tebusannya atau apa yang setara dengan dosa. Akan tetapi jiwa yang menjadi penerima, maka yang diajukan terlebih dahulu adalah tebusan, dan jika tebusan tidak diterima darinya, maka ia akan mencari syafaat. Hal ini telah kami membahas secara rinci ketika kami membahas surat Al-Baqarah ayat 48. []

Share artikel ini: