Tabayyun Center: Moderasi Agama Bukan dari Islam

Mediaumat.news – Menyoal istilah moderasi dalam beragama yang akhir-akhir ini kembali ramai diperbincangkan, Luthfi Hidayat dari Tabayyun Center justru menanggapi istilah itu dengan sebutan sebuah proyek dengan paket yang asal muasalnya bukan dari Islam.

“Betul sekali kalau tadi disebutkan proyek. Dia adalah paket yang kalau kita cermati ini adalah paket yang tidak ada asal muasalnya dari Islam dan kaum Muslimin,” jelasnya dalam Kabar Petang: Islam Ya Islam, Tanpa Embel-Embel, Jumat (08/10/2021) di kanal Youtube KC News.

Sebutan paket yang ia maksud termasuk istilah terorisme maupun fundamentalis yang tentu saja sasarannya kaum Muslim. “Yang nantinya, tidak mustahil seseorang itu menganggap mau beragama, tidak beragama itu sama saja,” jelasnya.

Sama halnya dengan aktivitas dialog antar umat beragama yang beralasan mencari titik temu permasalahan. “Makanya kemarin-kemarin juga ada istilah semua agama itu sama,” ungkapnya.

Bahkan, tambahnya, terdapat pernyataan-pernyataan yang seolah-olah umat Islam harus memiliki sikap moderat, namun dalam perspektif yang bukan dari pandangan Islam. Seperti, dikarenakan harus mengikuti arus globalisasi, Muslimah menjadi diperbolehkan tidak memakai kerudung di luar rumah.

“Memang betul sekali bahwa ghazwul fikri, perang pemikiran ini, yang saya katakan dari awal tadi bahwa ini adalah merupakan paket seperti al ‘aulama (globalisasi) itu juga termasuk,” tuturnya.

Abad Kegelapan

Penting diketahui, moderasi atau jalan tengah, merupakan buah dari trauma peradaban Eropa pada masa pertengahan. Melalui berbagai klaim, gereja melakukan intervensi kehidupan dengan mengatasnamakan Tuhan. “Bahkan saat itu ada istilah kalau kaisar, kalau raja atau kalau gereja meminta bajumu, maka serahkanlah jubahmu,” ujarnya dengan mengatakan era itu dikenal juga dengan abad kegelapan Eropa.

Padahal, ketika Islam diterapkan secara sempurna dalam Daulah Khilafah, justru tidak ada persoalan terkait kehidupan umat. Justru di Eropa terjadi konflik antara pemikiran para filosof dengan para pemikir yang kemudian dikenal dengan abad renaisance atau abad pencerahan. “Lalu mereka mengatakan tidak boleh orang itu terlalu fanatik. Agama gereja tidak boleh terlalu mencampuri urusan-urusan di dalam kehidupan,” jelasnya.

Lantas, diambillah sikap moderat yang mempersilakan gereja hanya mengurusi masalah agama. Namun persoalan kehidupan, akan diurusi oleh akal manusia. “Akhirnya sistem kehidupan mereka dengan sistem demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai sumber dan pembuat hukum,” bebernya.

Khilafah

Perlu dipahami juga, ketika mengalami kekalahan terus-menerus dalam hal perang fisik setelah runtuhnya Daulah Khilafah (1924), Barat berhasil mengambil sebuah pelajaran berarti berupa titik-titik kelemahan kaum Muslim. Sehingga, seiring dengan pelemahan pemikiran, umat Islam pun terpisah keterkaitannya dengan Islam.

Namun demikian, Lutfhi menegaskan, sebagaimana kunci kemenangan dalam berperang adalah mengetahui keberadaan musuh sebelum menyerang, pasca perang fisik pun, umat Islam dituntut lebih mempersiapkan diri dalam perang pemikiran.

Untuk itu, agar memiliki kekuatan di era ghazwul fikri, di samping memahami Islam dengan penuh kesadaran, kaum Muslim tidak melandaskan keberislaman mereka dari sekadar keturunan. “Kultur keislaman yang ada itu sudah sangat bagus, namun dia betul-betul harus dibangkitkan pemikirannya, dibangkitkan apa visi misi dia hidup,” tandasnya.

Sehingga, ketika menjalani kehidupan di dunia, kaum Muslim senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT. Sebab, lanjut Luthfi, mesin pemikirannya sudah mulai hidup. Mulai dari simpul darimana ia berasal, untuk apa ia hidup di dunia serta ke mana setelah ia mati.

Lantas seiring munculnya kesadaran Islam, diharapkan pemikiran terkait moderasi dalam beragama akan tertolak dengan sendirinya. “Oleh sebab itu, apa pun harus kita lawan. Karena pemikiran, ya harus kita lawan dengan pemikiran,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: