Tabanni dan Qiyas di dalam Ushul Fikih

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah menjaga Anda syaikhuna dan menolong Anda dalam mengemban amanah dan menguatkan Anda dengan pertolongan-Nya dalam waktu dekat dengan izin-Nya SWT.

Perkenankan saya syaikhuna dengan pertanyaan ini, semoga Allah menjaga Anda dan menambah Anda kekuatan dalam ilmu dan kesehatan.

Pertanyaan tentang ushul fikih.

Dinyatakan di buku asy-Syakhishiyyah al-Islâmiyyah juz I dalam topik al-Ijtihâd: “dan termasuk ijtihad adalah ucapan Ali ra tentang had minum khamr “siapa yang meminum, dia mabuk, dan siapa yang mabuk dia mengigau bicara tidak karuan, dan siapa yang mengigau bicara tidak karuan maka dia membuat kebohongan, maka saya berpandangan baginya had orang yang membuat kebohongan (al-muftarî)”. Dan ia mengqiyaskan minum khamr kepada qadzaf sebab minum khamr itu dapat mengantarkan kepada qadzaf, sebagai bentuk perhatian kepada bahwa syara’ menempatkan apa yang mengantarkan kepada sesuatu pada posisi sesuatu itu sendiri, sebagaimana syara’ menempatkan tidur pada posisi hadats, dan sebagaimana syara’ menempakan hubungan badan dalam mewajibkan iddah pada posisi hakikat sibuknya rahim. Semua ini merupakan ijtihad dari shahabat ridhawnullâh ‘alayhim dan merupakan ijmak mereka atas ijthad”, selesai kutipan.

Pertanyaan: kita mengadopsi bahwa hudud, kafarah, rukhshah dan ibadah, di dalamnya tidak berlaku qiyas.

Lalu bagaimana kita menqiyaskan had minum khamr terhadap had qadzaf dengan ‘illat bahwa minum khamr dapat mengantarkan kepada qadzaf?

Dan jika syara’ telah menjadikan tidur membatalkan wudhu dan menempatkan pada posisi hadats sebab dapat mengantarkan kepada hadats. Apakah mungkin mengqiyaskan tertutupnya akal, mabuk dan gila, karena itu dapat mengantarkan kepada hadats? Padahal ini termasuk ibadah. Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda . [Yahya Abu Zakariya]

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertama: benar ada perkara-perkara yang tidak kita adopsi:

1- Dinyatakan di buku Mafâhîm Hizbi at-Tahrîr halaman 36-41 file word:

[Sistem-sistem Islam merupakan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah dan uqubat.

Hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan dan pakaian tidak disertai ‘illat. Rasul saw bersabda:

«حُرِّمَتِ الْخَمْرَةُ لِعَيْنِهَا»

“Khamr diharamkan karena zatnya”.

Adapun hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan muamalah dan uqubat maka disertai ‘illat. Sebab hukum syara’ di situ dibangun di atas ‘illat yang merupakan sesuatu yang membangkitkan pensyariatan hukum … Maka nas yang di dalamnya dinyatakan hukum disertai ‘illat maka hukum itu memiliki ‘ilat dan dapat dilakukan qiyas terhadapnya. Dan nas yang di dalamnya dinyatakan hukum tidak disertai ‘illat maka tidak mengandung ‘illat sama sekali dan berikutnya terhadapnya tidak bisa diqiyaskan], selesai.

2- Dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz iii bab Syurûth Hukmi al-Ashli” halaman 346-347 file word:

[Yang kelima: hukum asal itu harus tidak dialihkan dari norma qiyas. Adapun apa yang dialihkan dari norma qiyas ada dua bagian:

Pertama: apa yang maknanya tidak dipahami, dan itu ada kalanya dikecualikan dari kaedah umum atau diawali dengannya. Apa yang dikecualikan dari kaedah umum semisal penerimaan kesaksikan Khuzaimah seorang diri, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Meski keberadaannya tidak dapat dipikirkan maknanya, dia dikecualikan dari kaedah umum. Sedangkan yang diawali dengannya, seperti jumlah rakaat, penentuan nishab zakat, kadar hudud dan kafarah. Seiring dengan keberadaannya tidak dapat dipikirkan maknanya, hanya saja dia dikecualikan dari kaedah umum. Di atas kedua penetapan itu, maka qiyas terhalang di dalamnya …) selesai.

Kedua: adapun bagaimana tabanni (pengadopsian), maka untuk menjelaskannya kami sebutkan perkara-perkara berikut:

1- Dinyatakan di dalam penjelasan Pasal 3 Muqadimah ad-Dustûr:

( … yang demikian itu bahwa hukum syara’ dan itu adalah seruan asy-Syari’ berkaitan dengan perbuatan hamba yang ada di dalam al-Quran dan hadits. Di situ ada banyak yang mengandung makna-makna menurut bahasa arab dan menurut syara’. Oleh karena itu, adalah wajar dan niscaya, orang berbeda dalam memahaminya …

Olehnya itu merupakana hal yang wajib bagi seorang muslim untuk mengadopsi hukum-hukum syara’ tertentu ketika dia mengambil hukum untuk perbuatan baik dia seorang mujtahid ataupun muqallid, khalifah atau bukan khalifah …).

2- Dinyatakan di penjelasan Pasal 4 Muqaddimah ad-Dustûr sebagai berikut:

[Hanya saja, dari kejadian al-Ma’mun tentang fitnah kemakhlukan al-Quran tampak bahwa tabanni (pengadopsian) dalam pemikiran berkaitan dengan akidah telah menimbbulkan persoalan-persoalan untuk khalifah dan menimbulkan fitnah di antara kaum Muslim. Karena itu, khalifah berpandangan untuk tidak melakukan tabanni (pengadopsian) dalam akidah dan ibadah untuk menjauhkan dari persoalan dan perhatian terhadap keridhaan dan ketenteraman kaum Muslim. Tetapi tidak adanya pengadopsian (tabanni) dalam akidah dan ibadah itu tidak bermakna bahwa haram bagi khalifah mengadopsi dalam akidah dan ibadah itu. Tetapi maknanya adalah bahwa khalifah memilih untuk tidak mengadopsi dalam akidah dan ibadah. Sebab khalifah boleh mengadopsi dan juga boleh tidak mengadopsi, lalu khalifah memilih tidak mengadopsi. Olehnya itu di dalam Pasal tersebut digunakan ungkapan “tidak mengadopsi –lâ yatabannâ-”, dan tidak digunakan ungkapan “tidak boleh mengadopsi –lâ yajuzu an yatabannâ-”, yang menunjukkan bahwa khalifah memilih untuk tidak mengadopsi].

3- Dinyatakan di dalam Nasyarah Tabanni yang dikeluarkan pada 14/7/1998 sebagai berikut:

(… Tegaknya partai di atas ide dengan semua perbedaaan pendapat padanya dalam ushul dan furu’ merupakan perkara yang tidak mungkin, dan tidak sesuai dengan sebutan partai secara bahasa. Hizbu ar-rajuli, mereka adalah teman-teman orang itu yang berada di atas pendapatnya. Dari sini maka ide tabanni menjadi keharusan untuk Hizb. Karena itulah, di antara sifat terdepan Hizbut Tahrir sebagai partai ideologis adalah tabanni. Tabanni ini lah yang menjadikan Hizbut Tahrir sebagai sebuah partai. Sebab Hizb tidak menjadi sebuah partai sampai memiliki pandangan yang satu pada setiap pemikiran, pandangan atau hukum syara’ yang mengikatnya. Sebab jika tidak ada pada Hizb kesatuan pemikiran maka tidak akan ada kesatuan entitas yang padu… (20 Rabi’ul Awwal 1419 H/14 Juli 1998 M).

Ketiga: sebagaimana yang Anda lihat dari apa yang telah disebutkan di atas, seorang muslim harus mengadopsi pada setiap apa yang dia perlukan baik dia seorang khalifah, ketua partai atau individu. Ini dari sisi asal pada setiap perkara. Hal itu sesuai hukum syara’ berkaitan dengan kewenangannya dan batas-batas tabanni yang diizinkan untuknya … Tetapi, Hizb berpandangan setelah kejadian al-Ma’mun, untuk tidak mengadopsi dalam akidah dan ibadah dengan pengecualian beberapa keadaan … Kemudian Hizb menjadikan tabanni pada perkara-perkara dan tidak mengadopsi dalam perkara-perkara karena sebab-sebab yang telah disebutkannya …

Keempat: dan pertanyaan Anda tentang ijtihad Ali pada topik had peminum khamr, hal itu terjadi pada masa para shahabat. Mereka berijtihad dengan ijtihad yang syar’iy pada segala perkara. Ketika Umar meminta pendapat mereka tentang had tertinggi pada kasus minum khamr, dinyatakan ijtihad-ijtihad ini dan di antaranya ijtihad Ali yang disebutkan … Dan masalah tersebut telah kami jelaskan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I. Di situ dinyatakan: ( … dan ini yang tawatur kepada kita dari mereka secara tawatur tidak ada keraguan di dalamnya. Di antara hal itu, ucapan Abu Bakar ketika ditanya tentang al-kalâlah. Abu Bakar berkata: “saya katakan tentangnya dengan pendapatku. Jika benar maka itu berasal dari Allah, dan jika keliru maka itu berasal dariku dan dari setan, sementara Allah bebas darinya. Al-kalâlah adalah orang yang tidak punya anak dan bapak”. Dan ucapan Abu Bakar “aku katakan tentangnya dengan pandanganku” bukan bermakna bahwa pendapat ini berasal dari dirinya sendiri. Tetapi maknanya, saya katakan apa yang saya pahami dari lafal kalâlah di dalam ayat tersebut …

Dan di antara ijtihad itu, dikatakan kepada Umar bahwa Samurah mengambil khamr dari para pedagang Yahudi pada ‘usyur dan menjadikannya cuka dan dia jual. Maka Umar berkata: “semoga Allah membinasakan Samurah, Tidak kah dia tahu bahwa Nabi sw bersabda:

«لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمُ فَجَمَلُوْهَا فَبَاعُوْهَا» رواه مسلم من طريق ابن عباس

“Allah melaknat Yahudi, telah diharamkan bagi mereka lemak (gajih) lalu mereka cairkan dan mereka jual” (HR Muslim dari jalur Ibnu Abbas).

Jadi Umar mengqiyaskan khamr terhadap lemak (gajih) dan bahwa pengharamannya adalah pengharaman harganya.

Di antara ijtihad itu adalah ucapan Ali ra tentang had minum khamr.

«مَنْ شَرِبَ هَذَى وَمَنْ هَذَى اِفْتَرَى فَأَرَى عَلَيْهِ حَدُّ الْمُفْتَرِيْ»

“Siapa yang minum (khamr) dia mengigau bicara tidak karuan dan siapa yang mengigau bicara tidak karuan maka dia membuat kebohongan, maka saya berpandangan terhadapnya (dijatuhkan) had orang yang membuat kebohongan”.

 

Ali mengqiyaskan minum khamr terhadap qadzaf sebab minum khamr dapat mengantarkan kepada qadzaf. Hal itu memperhatikan bahwa syara’ menjadikan hal yang dapat mengantarkan kepada sesuatu pada posisi sesuatu itu sendiri, sebagaimana syara’ menempatkan tidur pada posisi hadats, dan sebagaimana syara’ menempatkan hubungan badan dalam mewajibkan ‘iddah pada posisi hakikat sibuknya rahim. Semua ini merupakan ijtihad dari para shahabat ridhwanullâh ‘alayhim dan merupakan ijmak dari para shahabat atas ijtihad …) selesai.

Seperti yang Anda lihat, seseorang harus mengadopsi pada setiap yang dia perlukan … Tetapi, berdasarkan pemahaman kami terhadap kejadian pada masa al-Ma’mun, kami berpandangan untuk tidak mengadopsi dalam perkara-perkara dan kami mengadopsi dalam perkara-perkara lainnya … dan topik ijtihad Ali ra yang Anda tanyakan, adalah terjadi pada masa para shahabat, yakni sebelum kejadian al-Ma’mun.

Adapun masalah had orang yang minum khamr, maka di situ ada dalil-dalil dari as-Sunnah dan Ijmak bahwa hadnya 40 kali dera atau 80 kali dera, dan itu ditetapkan dengan dalil-dalil yang shahih hingga bahwa telah shahih dari Ali ra sebagaimana yang ada di riwayat Ibnu Abiy Syaibah dari Abu Abdurrahman as-Sulami dari Ali, ia berkata:

شَرِبَ نَفَرٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ اْلْخَمْرَ وَتَأَوَّلُوْا اْلآيَةَ الْكَرِيْمَةَ، فَاِسْتَشَارَ فِيْهِمْ (يَعْنِي عُمَرٌ) فَقُلْتُ: أَرَىْ أَنْ تَسْتَتِيْبَهُمْ، فَإِنَّ تَابُوْا ضَرَبْتَهُمْ ثَمَانِيْنَ، وَإِلَّا ضَرَبْتَ أَعْنَاقَهُمْ لِأَنَّهُمْ اِسْتَحَلُّوْا مَا حُرِّمَ، فَاِسْتَتَابَهُمْ فَتَابُوْا، فَضَرَبَهُمْ ثَمَانِيْنَ ثَمَانِيْنَ

“Sekelompok orang dari penduduk Syam minum khamr dan mereka menakwilkan ayat yang mulia, lalu Umar meminta pendapat tentang mereka, maka aku katakan: “saya berpandangan, engkau minta mereka bertaubat, jika mereka bertaubat maka engkau dera mereka 80 kali dan jika tidak (bertaubat) maka engkau penggal leher mereka sebab mereka telah menghalalkan apa yang telah diharamkan. Maka Umar meminta mereka bertaubat dan mereka pun bertaubat dan Umar mendera mereka (masing-masing) 80 kali, 80 kali”.

 

Demikian juga, imam Muslim telah mengeluarkan di dalam hadits Hudhayn bin al-Mundzir tentang jilid al-Walid bahwa Ali bin Abiy Thalib ra berkata:

جَلَدَ النَّبِيُّ ﷺ أَرْبَعِيْنَ، وَأَبُوْ بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ، وَعُمَرٌ ثَمَانِيْنَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ

Nabi saw mendera 40 kali, dan Abu Bakar mendera 40 kali dan Umar mendera 80 kali, dan semuanya adalah sunnah.

Kedua had ini merupakan had orang yang minum khamr. Dan tidak boleh selain kedua had ini secara mutlak. Sebab tidak ada dari Nabi saw dan tidak pula dari para shahabat ridhwanullâh ‘alayhim bahwa beliau mendera selain 40 kali dan 80 kali … Namun, bahwa boleh bagi khalifah untuk mewajibkan salah satunya. Yakni khalifah boleh memerintahkan salah satunya secara mengikat dan menjadikannya wajib. Sebab jika dia mewajibkan 80 kali maka yang 40 kali yang ditetapkan degan as-sunnah tercakup di dalamnya dan tambahan itu boleh dengan penilaian apa yang disepakati para shahabat adalah 80 kali. Dan jika khalifah mewajibkan 40 kali dera maka itu telah ditetapkan dengan as-Sunnah. Dan tambahan atas hal itu adalah boleh untuk imam, dan bukan wajib baginya. Maka tidak ada masalah baginya mewajibkan 40 kali dera saja.

Kelima: adapun pertanyaan Anda yang lain: (dan jika syara’ telah menjadikan tidur membatalkan wudhu dan menempatkannya pada posisi hadats karena dapat mengantarkan kepada hadats … Lalu apakah mungkin kita qiyaskan atasnya, tertutup akal, mabuk dan gila karena semuanya itu mengantarkan kepada hadats, padahal ini semua termasuk bagian dari ibadah? …). Jawabannya, bahwa di sini kita tidak mengqiyaskan, tetapi kita jawab sebagaimana yang ada di Ahkâm ash-Shalâh: (dan juga membatalkan wudhu adalah tidur, dan tertutup akal dengan selain tidur … Adapun hilangnya akal dengan selain tidur maka itu adalah gila, tertutup akalnya, mabuk, atau sakit sehingga hilang akalnya sehingga wudhunya batal … Dalil atas hal itu adalah Ijmak sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir) selesai.

Ini yang saya rajihkan dalam masalah-masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

27 Rabi’ul Awwal 1443 H

03 November 2021 M

 

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/78530.html

 

Share artikel ini: