Syiar Khilafah dalam Perspektif Hukum Positif
Oleh: Muhammad Nur Rakhmad, S.H. (LBH PELITA UMAT Korwil Jatim)
Hari ini pembahasan khilafah menjadi arus wacana yang semakin membesar di tengah publik. Wajar, mengingat sejarah umat Islam yang tersebar ke seluruh dunia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Khilafah Islam. Keberadaan dan sumbangannya kepada umat ini tidak pernah diingkari oleh siapapun. Pro-kontra seputar wajib dan tidaknya kaum Muslim menegakkan Khilafah Islam justru baru muncul setelah Khilafah Islam itu sendiri—yakni Kekhilafahan Islam yang terakhir di Turki—dihancurkan oleh rezim Kemal Attaturk dengan dukungan dan rekayasa Inggris pada bulan tanggal 27 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924 M. Setelah itu, berbagai upaya untuk mengembalikannya pun diaborsi di tengah jalan.
Bagi pihak yang kontra tuduhan ketika perjuangan mengusung wacana khilafah itu dilekatkan dengan terorisme. Namun dibantah bagi yang pro, bahwa semestinya perjuangan menegakkan khilafah itu dilekatkan sebagaimana contoh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin yang jelas-jelas mendapatkan petunjuk dan ridha Allah SWT. Mereka bertanya kenapa khilafah dikaitkan dengan terorisme? Kenapa kok terorisme tidak pernah dikaitkan dengan kapitalisme yang jelas-jelas melakukan teror di seluruh dunia ini? Mengapa terorisme tidak dilekatkan kepada komunisme?
Sebuah Kajian Hukum
Saat ini pemerintah dinilai telah memainkan peran antisipatif untuk meredam segala bentuk kritik padahal kritik adalah membangun. Pemerintah menggunakan dalih “NKRI Harga Mati” yang sering berputar dalam retorika disintegrasi dan anti-Pancasila. Terlebih lagi dengan disahkannya Perppu 2/2017 terkait Ormas yang belakangan berubah menjadi UU No. 16 Tahun 2017 yang melewati proses alot karena menghilangkan fungsi peradilan dalam pencabutan badan hukum sebuah ormas yang beberapa korbannya HTI dan Iluni UI. Pada kasus HTI, pemerintah dinilai menafsirkan, memvonis, dan membubarkan Ormas yang menurutnya bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses pengadilan. Sebuah sikap yang subjektif otoriter. Ini mengingatkan kita pada masa Orde baru (Orba). Yang menegasikan asas kepastian hukum, due proses of law.
Khilafah ajaran Islam dituduh bertentangan dengan Pancasila, malah negara secara langsung membiarkan sistem kapitalisme yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pasca peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 berubah menjadi UU Ormas No. 16 Tahun 2017 menyasar gerakan dakwah Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pengacara HTI Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, perkara gugatan HTI terhadap pembubaran organisasi tersebut belum berakhir meski ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Hal itu dikarenakan masih adanya upaya hukum banding dan kasasi sampai putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kenapa khilafah dikaitkan HTI? Gerakan HTI dikenal luas sebagai salah satu organisasi yang memperjuangkan ajaran Islam khilafah tersebut. Adapun UU ormas sebagai landasan untuk pembubaran HTI tidak sesuai dengan prinsip negara hukum dan asas kepastian hukum sebagaimana Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Adapun HTI dan khilafah adalah dua hal yang berbeda. HTI sebagai gerakan Islam, tapi khilafah sebagai ajaran Islam, sebagai ide dan gagasan sistem politik dunia dan aspirasi politik Islam untuk mencari alternatif sistem politik baru tak akan pernah mati. Maka, setelah HTI bubar, tak demikian dengan khilafah karena khilafah bukan milik HTI.
Kalau dipertentangkan, pesaing khilafah itu bukan NKRI tapi kapitalisme dan komunisme. Mempertentangkan NKRI dengan khilafah itu tak sebanding. Yang satu sistem politik regional (nasionalisme), satu lagi sistem politik global (internasionalisme). Sebagaimana sistem khilafah dulu membawahi negara-negara Muslim, demokrasi juga membawahi negara-negara bangsa. Bedanya, internasionalisme khilafah dikonsolidasikan oleh institusi yang solid dan terpusat, internasionalisme demokrasi dikonsolidasikan oleh nilai-nilai. Tetapi keduanya adalah sistem politik dunia yang ke depannya mungkin akan terus bersaing.
Disayangkan lagi, sebelumnya pernyataan Kapolri Tito Karnavian berstatemen negara akan terpecah belah karena paham khilafah sebagaimana dialami Uni Soviet. Pernyataan Kapolri bukan pernyataan hukum yang seharusnya keluar dari pejabat pimpinan Polri. Pernyataan yang sepatutnya tidak keluar dari seseorang yang beragama Islam, yang justru berpotensi mendeskreditkan ajaran Islam yakni khilafah yang diwariskan Rasulullah Muhammad SAW.
Secara historis tidak ada satu pun peran khilafah dalam kejatuhan Uni Soviet. Khilafah diruntuhkan oleh Musthafa Kemal Attarturk agen Inggris pada tahun 1924, jauh sebelum kejatuhan Soviet pada tahun 1991. Artinya, tidak ada andil Khilafah yang menyebabkan pecahnya Soviet. Soviet runtuh atas konspirasi Barat kapitalis, setelah sebelumnya Barat kapitalis mampu meruntuhkan institusi Khilafah sebagai representasi ideologi Islam.
Realitas sejarah menunjukkan negeri ini telah terpecah belah dengan lepasnya Timor Timur, Sipadan dan Ligitan, bukan karena khilafah. Tidak ada satu pun argumen yang membenarkan alasan Timor Timur lepas karena Khilafah. Timor Timur lepas disebabkan pengkhianatan penguasa antek, kegagalan penguasa menyejahterakan rakyat, korupsi yang akut, gerakan sparatisme Fretilin serta intervensi Amerika dan Australia. Artinya, tuduhan Khilafah akan memecah belah berdasarkan kajian historis adalah pernyataan yang tidak berdasar. Negeri ini justru terpecah belah oleh ilusi demokrasi liberal, keran kebebasan demokrasi liberallah yang bertanggung jawab penuh atas bencana kemanusiaan dan disintegrasi yang melanda negeri ini. Bukan Khilafah
Adapun potensi sebagian wilayah bereaksi jika ada konsepsi ideologi atau negara yang menjalankan syariat Islam secara kaffah juga hanya sebuah asumsi, tidak ada fakta konkret yang dapat dijadikan rujukan. Reaksi atas sebuah ikhtiar perubahan adalah hal yang biasa. Tidak bisa disimpulkan setiap reaksi akan berujung pada perpecahan. Karena dalam teori perubahan tidak selamanya juga berujung pada tindakan kekerasan bahkan bisa secara sukarela karena nilai luhur dinisbatkan ke pancasila adalah Islam dan syariatnya.
Walhasil…
Saatnya masyarakat untuk bersatu padu dan bersinergi membangun kekuatan dan soliditas dalam rangka memperjuangkan kebenaran. Ketika kondisi negara sedang dalam keadaan darurat hukum, langkah yang diperlukan untuk segera dan serta merta diambil tindakan kongkrit menyelamatkan negara dari upaya oknum dan sekelompok individu yang hendak menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan untuk merealisir tujuan politik dan kepentingannya. Dan hentikan tudingam yang tidak berdasar karena hanya Islam dan syariatnya yang bisa memberikan solusi tuntas untuk negeri Ini dan seluruh dunia. Solusi rahmat bagi seluruh alam yang bahkan tidak akan memaksakan agama di luar Islam tanpa kesadaran dan keyakinannya.[]