Syariah Islam Itu Canggih, Berbeda Dengan Peradaban Sekuler
Oleh: Eko Susanto
Sebagian kalangan merespon tumbuhnya kesadaran umat Islam untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dengan tuduhan primitif dan “kaum onta”. Kembali kepada syariat Islam dianggap kembali ke zaman unta bahkan sebagian dicemooh dengan sebutan kadrun. Hal ini menggambarkan ketakpahaman mereka yang menuding terhadap syariat Islam. Disangkanya menerapkan syariat Islam berarti tidak boleh menggunakan pesawat, mobil, motor, komputer baju necis, dan sebagainya. Sebaliknya, haruslah lusuh, ke mana-mana berjalan kaki, tak tersentuh teknologi. Padahal, pandangan demikian merupakan cara untuk menghalangi umat dari Islam. Siapa pun yang paham akan syariat Islam akan menyatakan bahwa Islam itu membentuk masyarakat modern yang beradab.
Islam tidak menolak modernisasi, bahkan bila dirunut dalam sejarah, justru Islam-lah yang mengajari Barat yang sekarang dianggap sebagai kiblat modernisasi, ketika mereka tengah hidup di abad kegelapan, menemukan dasar-dasar kehidupan modern. Melalui pengembangan sains dan teknologi yang berkembang pesat di masa kejayaan Islam, peradaban Islam telah memberikan kontribusi luar biasa bagi kemajuan Barat.
Islam melalui syariatnya bukan akan menghentikan modernisasi, melainkan meletakkan modernisasi agar tetap dalam kerangka pengabdian kepada Allah. Bila modernisasi diartikan sebagai pengembangan madaniah, yakni produk-produk teknologi yang bersifat material guna peningkatan mutu, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam kehidupan manusia, baik dalam bidang komunikasi, transportasi, produksi, kesehatan, pendidikan, perumahan, makanan, maupun pakaian dan sebagainya, Islam sama sekali tidak keberatan. Hal itu akan diteruskan, bahkan akan ditingkatkan oleh Islam. Artinya, manusia boleh saja menggunakan semua perangkat hasil pengembangan sains dan teknologi. Hanya saja, pola kehidupannya, baik dalam konteks kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat haruslah tetap dalam koridor syariat. Bukan modernisasi yang justru mempurukkan derajat manusia sebagaimana kini terlihat dalam kehidupan Barat, yang telah menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya.
Barat telah salah mengartikan modernisasi. Apakah sebuah kemodernan (ataukah justru primitif) bila wanita yang seharusnya dimuliakan justru dijadikan sebagai objek seksual, berjalan melenggak lenggok memperagakan model rancangan baju yang nyaris telanjang di bawah tatapan ratusan pasang mata dan sorotan kamera atau dipajang dalam ruang kaca untuk kemudian dinikmati kemolekan tubuhnya dengan imbalan sekian lembar uang? Apakah juga sebuah kemodernan (ataukah justru primitif) bila laki-laki dan perempuan berhubungan seksual tanpa ikatan pernikahan dengan alasan suka sama suka atau “pernikahan” tapi antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan? Apakah sebuah kemodernan, membiarkan sistem ekonomi berkembang liar ketika pemilik modal tak ubahnya seperti lintah yang menghisap darah manusia lain, atau orang mendapatkan keuntungan tanpa kerja sama sekali sebagaimana tampak dalam pembungaan uang? Apakah sebuah kemodernan (atau justru primitif) tindakan menjual barang-barang milik umum yang bukan milik negara kepada sekelompok swasta, baik pribumi maupun asing hingga rakyat sebagai pemiliknya yang sah tak mendapatkan apa-apa? Apakah sebuah kemodernan (atau justru primitif) demi menguasai negara lain dua negara yang berdekatan diprovokasi secara halus dan licik untuk berperang satu sama lain, lalu senjata kedua belah pihak dipasok olehnya? Ini adalah sebagian contoh yang akan diluruskan oleh syariat dalam proses modernisasi masyarakat.[]