Rabu, 19 Juli 2017, oleh wartawan senior, Asyari Usman, disebut sebagai “Hari Tersuram Indonesia”. Pada hari itu, Pemerintah RI, melalui siaran pers yang dikeluarkan oleh Kementrian Hukum dan HAM, menyatakan pencabutan SK Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia [HTI], sebagai ormas dan perkumpulan. Meski sejak lama HTI dibidik, tetapi mereka yang membidik HTI kesulitan mencari kesalahan HTI. Karena selama ini HTI tidak mempunyai rekam jejak pelanggaran hukum. Karena semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ditaati. Bahkan, HTI pun tidak jarang mendapatkan penghargaan dari pemerintah sendiri.
Satu-satunya kesalahan HTI adalah karena dakwahnya. Iya, dakwah yang mengajak kepada Islam. Bukan Islam abu-abu, tetapi Islam yang sebenarnya. Islam yang benar-benar Islam. Bukan Islam yang diklaim Islam, tetapi sejatinya bukan Islam yang diridhai oleh Allah Ta’ala. Sebaliknya, Islam yang diridahi oleh musuh-musuhnya.
Islam yang diemban oleh HTI dibangun dengan akidah yang kokoh, sumber yang kokoh, dengan hukum, pandangan dan pemikiran Islam yang benar, jernih, bersih dan kuat. Tidak hanya itu, Islam yang diemban oleh HTI adalah solusi dari berbagai masalah yang menjerat umat, baik di negeri ini maupun di negeri kaum Muslim yang lain. Karena memang begitulah Islam. Karena itu, berbagai tuduhan dan fitnah yang dialamatkan kepada HTI tidak pernah bisa meruntuhkan keyakinan umat kepadanya.
Karena keistiqamahannya itu, maka HTI pun benar-benar diterima dan dicintai oleh umat. Bahkan, ketika pemerintah mengumumkan hendak membubarkan HTI pun, bukannya umat menjauh, justru sebaliknya mereka melindungi HTI, dan berdiri bersama mereka. Dukungan dari berbagai kalangan, mulai dari intelektual, ulama’, pengusaha, advokat, mahasiswa hingga rakyat jelata begitu luar biasa. Mengalir bagaikan air bah. Pendek kata, HTI seperti kata pendirinya sendiri, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, “Fi Hadhanati al-Ummah” [dalam buaian umat].
Sejak awal, Kapolri mengatakan, “Sulit membubarkan HTI, kecuali ada legitimasi sosial.” Meski penggalangan sudah dilakukan, dengan melibatkan beberapa oknum ormas tertentu dan Banom-nya, bahkan kemudian harus mencatut nama organisasi lain, ternyata tetap tidak bisa. Jalur hukum pun sulit, sebagaimana yang disampaikan Jaksa Agung. Maka, yang paling gampang adalah dikeluarkannya Perpu no 2/2017. Vonis sumir, “Anti-Pancasila”, “Anti-NKRI”, dan “Anti-Kebinekaan” pun dijatuhkan sepihak oleh pemerintah, tanpa proses pengadilan.
Pemerintah pun mentahbiskan dirinya sebagai penuduh dan pemvonis. Sementara pihak yang dituduh tidak diberi kesempatan membela diri. Maka, Fadli Zon, Wakil Ketua DPR, pun menyebut pemerintah sebagai diktator baru. Demokrat pun menyatakan hal yang sama, “Inilah diktator pertama sejak Reformasi.” Banyak kalangan pun memberikan dukungan kepada HTI, baik sebelum “dibunuh” dengan Perpu, maupun setelahnya.
HTI pun benar-benar “dibunuh” oleh rezim diktator yang zalim ini, tanpa kesalahan yang bisa dibuktikan. Kesalahan HTI satu-satunya, karena Islam yang diembannya. Persis seperti hadits Nabi:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ وَمَنْ قَامَ أَماَمَ إِمَامٍ فَاجِرٍ فَنَصَحَهُ، فَقَتَلَهُ
“Penghulu para syahid adalah Hamzah, dan siapa saja yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim, kemudian menasihatinya, lalu dia membunuhnya.” [Hr al-Hakim, dalam al-Mustadrak, disahihkan oleh al-Khathib dan al-Albani]
Secara hakiki hadits ini memang untuk manusia, meski secara majaz [metafor] bisa juga digunakan untuk menjelaskan “kesyahidan” HTI. Terlebih, lafadz “Man Qama” itu kalau menurut teori Nahwu dan Balaghah-nya bersifat umum. Bisa untuk yang berakal maupun tidak. Bisa untuk manusia [syakhsiyyah badaniyah], juga bisa untuk badan hukum [syakhsiyyah ma’nawiyah].
Bagi para jagal HTI dan pendukungnya, mereka telah dicatat oleh Allah. Allah pulalah yang akan membuat perhitungan dengan mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Tetapi, apakah “syuhada’” itu benar-benar telah mati? Pada titik ini, Allah memberikan jawaban:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali mengira, bahwa orang-orang yang dibunuh di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati. Sebaliknya, (sebenarnya) mereka itu hidup di sisi Tuhannya, dimana mereka diberi rizki.” [Q.s. Ali Imran: 169]
Ayat ini memang menjelaskan masalah gaib. Hakikatnya seperti apa, kita tidak tahu. Hanya dalam kontek “syahidnya” HTI, saya ingin menggunakan penjelasan ayat ini dengan makna majaz. Bahwa, mereka yang telah syahid tidak pernah mati di sisi Allah. Allah tetap menghidupkan mereka. Bagaimana caranya, Allah Maha Tahu. Untuk membuktikan, bahwa mereka tetap hidup, Allah pun menyatakan, “Mereka diberi rizki.”
Kisah HTI dengan syariah dan Khilafahnya mengingatkan kita pada Masyumi, dengan syariah Islamnya. Keduanya sama-sama telah dibunuh oleh rezim yang sama, like father like son. Keduanya dibunuh pada hari yang sama, Rabo. Entah kebetulan atau tidak. Tetapi, begitulah faktanya. Namun, Masyumi yang telah dibunuh puluhan tahun yang lalu Ruh-nya tetap hidup. Meski Masyumi telah “syahid” di tangan Soekarno, tetapi tetap “diberi rizki” oleh Allah. Dengan kata lain, Allahlah yang menghidupkannya. Allah yang terus menjaga Ruh-nya.
Begitu juga HTI yang telah “syahid” di tangan Jokowi, Ruh-nya akan tetap hidup. Karena Allah yang menghidupkan, dan berjanji memberikan rizki kepadanya. Bagaimana caranya, itu urusan Allah. Itu pekerjaan Allah. Karena itu, jangan heran, meski di beberapa negara yang diperintah tiran, Hizbut Tahrir “dibunuh”, dan “syahid” di tangan penguasa tiran itu, tetapi dengan izin Allah, Ruh-nya tidak pernah mati. Karena Allahlah yang menghidupkan, dan terus memberinya rizki.
Syariah dan Khilafah bukanlah ruh HTI. Karena itu, salah, jika para jagal dan pendukungnya itu membidik syariah dan Khilafah. Bahkan, ketika Khilafah telah “dibunuh” oleh negara Kafir penjajah pun, ternyata ruh-nya juga tidak pernah mati. Karena ruhnya itu ada pada Islam itu sendiri. Karena itu, mereka boleh saja membuat “Islam Moderat”, “Islam Liberal”, “Islam Nusantara”, di satu sisi ada “Islam Ekstrim”, “Islam Fundamentalis”, “Islam Radikal” dan sebagainya, tetapi Islam yang mereka ciptakan ini akan gagal.
Karena Allahlah yang menjaga ruh itu. Allahlah yang memberinya rizki, sehingga ia tetap hidup. Bagaimana caranya, itu urusan Allah. Itu pekerjaan Allah. Karena itu, Nabi bersabda:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan selalu ada sekelompok dari umatku, yang tetap teguh memegang kebenaran. Tidak akan memudaratkan mereka siapa saja yang mencela mereka, hingga datang keputusan Allah [yang memenangkan kebenaran itu], sementara mereka tetap seperti itu.” [Hr. Muslim]
Generasi ini akan tetap ada. Merekalah generasi yang Allah berikan kepercayaan untuk menjaga dan menghidupkan ruh itu, sampai akhirnya kemenangan Islam itu pun tiba. Kalau bukan kita, Allah pasti akan pilih orang lain yang lebih pantas untuk mengembannya. Wallahu a’lam.[]